Mengakhiri Bullying dengan Pendidikan Berbasis Takwa
Oleh: Nurul Lailiya
(Aktivis Muslimah)
SSCQMedia.Com—Sebuah peristiwa yang menyayat hati terjadi di asrama putra Dayah (Pesantren) Babul Maghfiroh yang dipimpin oleh Tgk. Masrul Aidi di Kecamatan Kita Baro, Aceh Besar. Pada 31 Oktober 2025 lalu, asrama tersebut dibakar oleh santrinya sendiri yang masih di bawah umur sebagaimana disampaikan oleh Kapolresta Banda Aceh, Kombes Pol Joko Heri Purwoko, pada Kamis, 6 November 2025 (kumparannews, 7/11/2025).
Polisi menyita jaket hitam dan rekaman CCTV setelah memeriksa sepuluh saksi termasuk pengasuh dan orang tua pelaku. Menurut Joko, pelaku menggunakan korek api untuk membakar kabel di lantai dua hingga api menyebar. Akibat kejadian itu, pondok pesantren mengalami kerugian sebesar Rp2 miliar. Polisi menerapkan Pasal 187 KUHP dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Namun karena pelaku masih di bawah umur, sanksinya disesuaikan dengan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Membakar asrama adalah kejahatan besar. Kita tidak menyangka kejahatan semacam itu bisa terlintas di pikiran seorang santri, bahkan menjadi pilihan untuk membalas teman-teman yang selama ini merundungnya. Kejadian tersebut menjadi cambuk bagi kita untuk memberantas budaya bullying di mana pun berada.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bullying adalah tindakan mengganggu atau mengusik secara terus-menerus dan menyusahkan seseorang baik secara fisik maupun psikis. Pelakunya biasanya merasa memiliki kelebihan dibandingkan korbannya, baik karena senioritas, kekayaan, pengaruh, maupun faktor lain.
Tindakan perundungan dapat berupa ejekan, kekerasan fisik, hingga pengucilan yang dilakukan terus-menerus. Meskipun demikian, korban perundungan biasanya tidak membalas pelaku. Ia tampak pasrah karena merasa lemah dan tidak mampu melawan. Jika pun membalas, hampir pasti pelaku tetap menang berkat kekuatan dan dukungan yang dimilikinya.
Namun sebagai manusia, korban juga memiliki naluri untuk menjaga kehormatan dirinya (gharizah baqa'). Tekanan sosial yang diterimanya dapat memantik rasa marah.
Amarah adalah bisikan setan. Akan tetapi, alih-alih meredam amarahnya, santri korban bullying itu justru meluapkannya dengan membakar asrama agar barang-barang milik pelaku ikut terbakar. Keputusan tersebut lahir dari pemikiran yang dangkal.
Pemikiran dangkal seperti itu tidak dapat dilepaskan dari sistem pendidikan yang berjalan saat ini. Pendidikan sekuler kapitalistik telah mencetak generasi yang mudah merendahkan orang lain. Mereka menganggap yang layak dihargai hanyalah mereka yang kaya, berpenampilan menarik, atau memiliki pengaruh. Mereka yang berasal dari keluarga sederhana dan tidak memiliki kekuasaan mudah diperlakukan semena-mena.
Pelajaran agama yang menyebut bahwa manusia paling mulia adalah yang bertakwa kepada Allah Swt. memudar dari ingatan dan hati para siswa. Bagi mereka, pelajaran itu hanya materi hafalan menjelang ujian. Pendidikan agama Islam dalam sistem sekuler kapitalistik berhenti di kertas ujian dan tidak terwujud dalam kehidupan sehari-hari.
Alih-alih berlomba menjadi manusia bertakwa, mereka justru bangga merendahkan orang lain yang mungkin jauh lebih mulia di hadapan Allah Swt.
Fokus pelajar kini lebih banyak pada kesenangan pribadi. Mereka tidak peduli pada perasaan orang yang mereka sakiti dan tidak menyadari bahwa di tangan mereka terdapat masa depan umat. Seharusnya mereka memperbaiki diri sebagai bekal berjuang demi kemuliaan umat Islam, bukan merendahkannya dengan perilaku yang bertentangan dengan fitrah manusia.
Jelas bahwa akar dari semua masalah ini adalah ketidakmampuan umat Islam untuk berpegang teguh pada agamanya, termasuk dalam dunia pendidikan.
Budaya perundungan bukan ajaran Islam. Allah Swt. tidak mengunggulkan seseorang karena wajahnya, hartanya, kedudukannya, keturunannya, atau pangkat duniawi lainnya. Dalam QS. Al Hujurat ayat 13 Allah Swt. berfirman bahwa manusia paling mulia adalah mereka yang paling bertakwa.
Sistem pendidikan Islam yang serius menanamkan nilai ketakwaan hanya dapat terwujud dalam negara yang menjadikan Islam sebagai dasar, yaitu Daulah Khilafah Islamiah.
Dalam Daulah, pendidikan bertujuan membentuk kepribadian Islam. Para siswa diajarkan pola pikir dan pola sikap sesuai ajaran Islam. Proses pendidikannya tidak hanya mengejar nilai materi, tetapi juga nilai ruhiyah. Siswa dibekali keterampilan hidup sekaligus disadarkan bahwa belajar adalah kewajiban sebagai hamba Allah Swt., sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Ibnu Majah, “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”
Kurikulumnya berbasis akidah Islam dan menempatkan adab sebagai fondasi utama. Siswa dididik untuk menghormati orang tua, guru, dan sesama teman, serta menyayangi yang lebih muda. Nilai-nilai itu bukan sekadar slogan, tetapi terwujud dalam kehidupan sehari-hari.
Orang tua, guru, dan masyarakat dalam naungan Daulah saling menghormati. Khalifah Mu'tasim bahkan pernah mengirim pasukan untuk memerangi orang Yahudi yang melecehkan seorang muslimah dengan menyingkap pakaiannya. Daulah melindungi hak korban perundungan atau pelecehan untuk melapor kepada khalifah. Berbeda dengan kondisi saat ini, ketika korban sering mendapat ancaman dari pelaku bila berani melapor sehingga kejahatan terus berulang.
Hukum Islam berlaku bagi seluruh warga Daulah baik muslim maupun non muslim. Hukum ini sangat manusiawi dan adil karena bersumber dari Zat yang Maha Adil.
Dalam kasus ini tampak ketidakadilan ketika pelaku pembakaran yang merupakan korban bullying terancam hukuman 15 tahun penjara, sementara pelaku bullying tidak dikenai hukuman. Dalam Islam, pelaku bullying juga dikenakan sanksi dan standar umur tidak digunakan dalam penjatuhan hukuman. Hukum berlaku bagi seorang muslim ketika ia telah baligh dan berakal. Jika standar dewasa sistem sekarang adalah 17 tahun, maka dalam Islam siapa pun yang telah baligh sebelum usia itu tetap dikenai hukum. Inilah keadilan Islam yang tidak dapat ditiru oleh sistem buatan manusia. Masihkah kita meragukannya [An]
Baca juga:
0 Comments: