Headlines
Loading...
Pelajar Bunuh Diri, Gambaran Rapuhnya Generasi Stroberi

Pelajar Bunuh Diri, Gambaran Rapuhnya Generasi Stroberi

Oleh: Najah Ummu Salamah
(Komunitas Penulis Peduli Umat)

SSCQMedia.Com—Akhir-akhir ini angka bunuh diri di kalangan pelajar mengalami peningkatan. Yang terbaru adalah kasus bunuh diri yang dilakukan oleh tiga pelajar usia belasan tahun pada Oktober 2025. Kasus pertama terjadi di Sukabumi, Jawa Barat; seorang remaja perempuan berusia 14 tahun mengakhiri hidupnya diduga gara-gara mendapat kekerasan verbal dari teman-temannya. Dua pelajar lainnya ditemukan bunuh diri di daerah Sawahlunto, Sumatra Barat, bahkan tempat kejadian perkaranya berada di lingkungan sekolah.

Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), selama awal tahun 2025 hingga Oktober terjadi 25 kasus bunuh diri pada remaja.

Sebagian besar menyebut kasus bunuh diri banyak dilatarbelakangi oleh asmara ABG, ekonomi, broken home, serta bullying atau perundungan, baik di lingkungan sekolah maupun di media sosial (BBC News, 3/11/2025).

Rapuhnya Mental Generasi Stroberi

Fenomena bunuh diri di kalangan pelajar menunjukkan bahwa ada kerapuhan mental generasi hari ini, generasi yang banyak disebut sebagai “generasi stroberi”.

Generasi stroberi adalah istilah untuk menggambarkan generasi muda saat ini. Mereka umumnya penuh ide dan kreativitas, tetapi mudah goyah di bawah tekanan, layaknya buah stroberi yang tampak indah namun mudah hancur jika diinjak. Bahkan, ada yang memilih bunuh diri sebagai jalan keluar. Mereka beranggapan bahwa mengakhiri hidup adalah solusi untuk mengakhiri masalah. Padahal, hal ini menunjukkan ketidakmampuan mental pelaku dalam menghadapi persoalan kehidupan.

Perasaan putus asa, terisolasi dari lingkungan pergaulan, sikap menutup diri, dan merasa tidak ada harapan dapat menyebabkan gangguan mental dan depresi. Puncaknya adalah tindakan bunuh diri.

Berdasarkan survei yang dilakukan I-NAMHS (Indonesia National Adolescent Mental Health Survey) tahun 2022, sebanyak 15,5 juta atau sekitar 34,9% remaja mengalami masalah kesehatan mental. Secara global, WHO juga menemukan 1 di antara 7 anak berusia 10–19 tahun mengalami gangguan kesehatan mental (Kemenkes, 28/11/2024).

Faktor Penyebab Gangguan Mental

Kerapuhan generasi hari ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:

Pertama, pola asuh keluarga yang jauh dari nilai-nilai agama. Tidak ada penanaman akidah dan qudwah (teladan) dari orang tua. Hilangnya nilai-nilai ruhiyah dalam keluarga membuat remaja tumbuh hanya dengan nilai-nilai materi tanpa iman dan takwa. Mereka tumbuh tanpa memahami jati diri sebagai hamba Allah Swt., sehingga rawan mengalami gangguan mental.

Selain itu, paradigma batas usia anak juga berpengaruh pada pola asuh. Barat menyebut seseorang baru dianggap dewasa pada usia 18 tahun. Padahal, dalam Islam, seseorang dikatakan dewasa ketika telah akil baligh. Sejak dini anak harus disiapkan menghadapi tanggung jawab sebagai manusia dewasa agar siap mengatasi berbagai masalah hidup di kemudian hari.

Kedua, adanya tekanan ekonomi dan pergaulan yang serba hedonis ala kapitalis, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Hal ini berpengaruh pada standar nilai yang hanya sebatas materi dalam berinteraksi sehingga perundungan sering terjadi.

Kebebasan pergaulan juga menimbulkan konflik antarlawan jenis yang sering berakhir pada tindakan bunuh diri. Ditambah sikap individualistis yang mengikis rasa simpati dan empati, membuat remaja merasa terisolasi dan sulit mencari bantuan. Belum lagi maraknya konten dan komunitas berbagi kisah bunuh diri di media sosial yang memicu tindakan serupa.

Ketiga, sistem pendidikan yang berasas sekuler. Kurikulum kita lebih berfokus mencetak generasi yang memiliki nilai akademis dan keahlian teknis. Peserta didik disiapkan menjadi sumber daya manusia (SDM) yang siap terserap secara ekonomi. Sementara itu, nilai-nilai agama hanya diajarkan sebagai formalitas. Tidak heran jika kesehatan mental generasi hari ini sangat rapuh dan rawan bunuh diri.

Semua faktor di atas adalah faktor nonklinis yang tak tampak kasatmata. Namun, dampaknya jelas terasa. Berbagai pemicu kasus bunuh diri muncul akibat penerapan sistem kehidupan kapitalis, sebuah tatanan yang berlandaskan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang menyebabkan berbagai problematika, termasuk meningkatnya kasus bunuh diri pelajar akhir-akhir ini.

Khatimah

Maka, sudah saatnya umat Islam menyadari pentingnya kembali kepada tatanan kehidupan yang syar‘i, yaitu sistem kehidupan sesuai syariat Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah.

Khilafah akan menciptakan suasana kehidupan yang lekat dengan penanaman akidah Islam. Masyarakat juga senantiasa didorong untuk beramar makruf nahi mungkar dengan semangat dakwah. Negara akan menerapkan sistem pendidikan, pergaulan, ekonomi, dan sanksi yang sesuai dengan hukum Islam. Semua ini menjadi langkah preventif sekaligus kuratif untuk mencegah kasus bunuh diri.

Dengan demikian, kehidupan yang aman, sejahtera, damai, dan penuh keberkahan akan terwujud ke seluruh penjuru dunia.
Wallahu a‘lam bis-shawab. []

Baca juga:

0 Comments: