Headlines
Loading...
Normalisasi: Perangkap Perpanjangan Penjajahan

Normalisasi: Perangkap Perpanjangan Penjajahan

Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com – Turki mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan sejumlah pejabat lainnya atas tuduhan kejahatan terhadap warga sipil di Gaza. Langkah ini memperlihatkan memanasnya hubungan antara Ankara dan Tel Aviv. (tvonenews.com, 09/11/2025)

Beberapa negara terus menormalisasi hubungan dengan Israel. Terbaru, Kazakhstan diumumkan bergabung dalam Abraham Accords, sebuah langkah yang menuai kecaman dari pihak perlawanan Palestina. (antaranews.com, 08/11/2025)

Sementara itu, pemerintah Indonesia menyatakan sikapnya terkait penempatan pasukan perdamaian setelah Israel menolak keterlibatan pasukan Turki di Gaza. Pernyataan ini memicu perdebatan tentang mandat PBB dan independensi misi perdamaian. (cnnindonesia.com, 06/11/2025)

Normalisasi terlihat sebagai manuver politik yang mengaburkan keadilan bagi Palestina. Normalisasi dalam kondisi tidak adil justru memperkokoh posisi penjajah.

Aktivis dakwah Mohammad Amin Yıldırım mengkritik sejumlah rencana politik yang dinilainya melucuti hak-hak rakyat Palestina dan memaksa penghentian perlawanan. Ia menilai beberapa pasal rencana tersebut pada dasarnya melemahkan posisi perlawanan dan membuka celah bagi kontrol penuh pihak penjajah. (muslimahnews.net, 12/10/2025)

Normalisasi tanpa solusi akhir yang adil membuat pendudukan tampak “diatur” secara diplomatik. Negara-negara besar, terutama Amerika Serikat, sering menempatkan normalisasi sebagai alat untuk melegitimasi status quo. Akibatnya, tekanan terhadap aktor lokal yang berjuang berubah menjadi tuntutan agar mereka melepaskan senjata dan instrumen perundingan. Sementara itu, isu inti seperti hak kembali, penarikan pasukan, dan akuntabilitas kejahatan kemanusiaan tetap kabur.

Lebih jauh, normalisasi memberi keuntungan politik dan ekonomi bagi entitas penjajah. Bantuan kemanusiaan dan rekonstruksi bisa berubah menjadi instrumen kontrol, bukan pemulihan hak. Inilah yang dikecam para aktivis sebagai “pembenaran agresi”.

Pengkhianatan Elite dan Krisis Kepercayaan

Salah satu bahaya nyata adalah pengkhianatan elite politik di negara-negara mayoritas Muslim. Ketika pemimpin bertemu aktor-aktor besar demi legitimasi politik sesaat, mereka berisiko mengorbankan posisi rakyat yang mereka wakili. Tekanan diplomatik untuk “mendamaikan” tanpa syarat sering menenggelamkan tuntutan keadilan.

Kenyataannya, beberapa pemimpin lebih memilih legitimasi internasional daripada menuntut pertanggungjawaban atas kejahatan kemanusiaan. Akibatnya, solidaritas rakyat terhadap Palestina melemah, sementara mekanisme internasional yang adil sering tidak berjalan.

Normalisasi tanpa jaminan keadilan adalah perangkap. Ia memberi ruang bagi penjajahan untuk terus beroperasi dalam selubung diplomasi. Umat dan para pemimpin yang berintegritas harus menolak normalisasi yang meminggirkan hak dasar rakyat Palestina.

Solusi Islam

Normalisasi, lemahnya hukum internasional, serta dominasi kekuatan Barat dalam setiap arena diplomasi menjadi bukti bahwa sistem dunia saat ini tidak berpihak pada umat Islam. Tatanan sekuler-kapitalistik hanya melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan yang semakin dalam.

Sejak dahulu, bangsa Yahudi dikenal kerap mengingkari perjanjian. Allah Swt. telah menegaskan dalam firman-Nya, “Kemudian kamu berpaling (melanggar janji itu), padahal kamu telah berjanji, dan kamu adalah orang-orang yang selalu melanggar janji.” (QS Al-Baqarah: 84)

Ayat ini menunjukkan bahwa pengkhianatan telah menjadi tabiat mereka sepanjang sejarah. Maka, berharap lahirnya perdamaian sejati melalui diplomasi yang diatur oleh Barat hanyalah angan-angan kosong.

Sejarah Islam mencatat bagaimana Rasulullah saw. bersikap tegas terhadap kaum Yahudi yang berkhianat. Ketika Bani Qainuqa’ melecehkan kehormatan seorang muslimah di pasar Madinah, Rasulullah saw. segera menindak mereka.

Demikian pula terhadap Bani Nadhir dan Bani Quraizhah yang mengkhianati perjanjian saat perang. Beliau tidak membiarkan kezaliman itu tanpa balasan. Ketegasan tersebut bukan karena kebencian etnis, melainkan karena prinsip keadilan Islam yang menjaga kehormatan umat.

Ketegasan serupa juga ditunjukkan oleh Khalifah Abdul Hamid II yang menolak keras tawaran Theodor Herzl untuk menjual tanah Palestina kepada kaum Yahudi sebagai imbalan bantuan finansial. Sang khalifah menegaskan bahwa tanah Palestina adalah milik umat Islam dan tidak akan diserahkan walau sejengkal pun. Ketegasan seorang pemimpin dalam bingkai Khilafah Islamiyah mampu menahan ambisi Zionis selama puluhan tahun hingga Khilafah diruntuhkan.

Penghentian total agresi Zionis tidak akan pernah terwujud tanpa kekuatan nyata dari negeri-negeri Muslim yang bersatu. Hanya kekuatan politik dan militer di bawah kepemimpinan Khilafah yang mampu menghentikan penjajahan di Palestina. Khilafah bukan sekadar struktur politik, tetapi sistem pemerintahan Islam yang menegakkan keadilan dan memimpin jihad fi sabilillah untuk melindungi umat.

Sudah saatnya dunia Islam berhenti menaruh harapan pada normalisasi atau diplomasi yang digerakkan para penjajah. Setiap tetes darah di Gaza menanti keberanian untuk bersatu di bawah kepemimpinan yang menegakkan hukum Allah. Hanya dengan kembalinya Khilafah, lembaran kelam penjajahan akan tertutup dan fajar kemenangan umat Islam akan terbit kembali. Bukan hanya bagi Palestina, tetapi bagi seluruh dunia.

Wallahu a‘lam bish-shawab. [ry]

Baca juga:

0 Comments: