Oleh: Sri Mulyani
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Di zaman ketika cahaya dunia terasa lebih terang daripada cahaya hati, menjaga iman bukan perkara mudah. Kita hidup di tengah hiruk-pikuk yang menjanjikan segalanya, kemajuan, kebebasan, kebahagiaan, tetapi sering kali mengikis rasa tunduk kepada Sang Pencipta. Dalam kesunyian batin, banyak dari kita berjuang diam-diam menegakkan salat di sela kesibukan, menundukkan pandangan di tengah godaan, menolak kezaliman meski dianggap aneh. Di sinilah sabar menjadi bentuk jihad yang paling sunyi, dan keteguhan menjadi tanda bahwa iman masih hidup di tengah dunia yang kian melupakan Allah.
Aku pernah berpikir bahwa menjaga iman itu mudah: cukup salat, cukup membaca Al-Qur’an, cukup menjauhi yang dilarang. Namun aku baru benar-benar memahami makna sabar ketika harus menjalaninya di tengah dunia yang tidak lagi menempatkan Tuhan di pusat kehidupan.
Hidup di masyarakat yang masih kental dengan tradisi dan gempuran sistem sekuler, aku sering merasa asing. Orang-orang berbicara tentang ambisi, target, dan kesenangan hidup dengan semangat yang menggebu, tetapi syariat Allah minim diterapkan. Bagi sebagian orang, agama hanyalah urusan pribadi, bukan bagian dari pola pikir dan cara hidup.
Ketika aku menolak ikut dalam hal-hal yang tidak sesuai dengan keyakinanku, beberapa memandang aneh dan sebagian lain tersenyum sinis. “Islamnya beda,” kata mereka, seolah keteguhan hati adalah tanda keterbelakangan dan kepatuhan kepada Allah terasa asing.
Awalnya aku terbawa arus kehidupan masyarakat. Aku takut dianggap menyendiri, menghindar, dan tidak bisa menyesuaikan diri.
Dalam kesunyian batin, aku mulai bertanya: mungkinkah tetap berpegang pada nilai-nilai Islam di tengah dunia yang memuja materi dan tradisi yang telah mendarah daging? Saat itulah Allah menuntunku kepada ayat yang sederhana namun dalam:
“Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 153)
Ayat itu terasa seperti bisikan lembut yang menenangkan hati di tengah kebisingan dunia. Aku sadar, sabar bukan berarti diam atau menyerah. Sabar adalah kekuatan untuk tetap teguh ketika lingkungan menekan, ketika prinsip diuji, dan ketika kebenaran terasa sunyi serta asing.
Setiap hari aku belajar bahwa sabar bukan hanya menahan amarah, tetapi juga menahan godaan untuk menjadi seperti yang dunia inginkan. Sabar berarti menolak kompromi terhadap hal-hal yang bertentangan dengan iman, meski risikonya adalah diasingkan atau dicemooh. Sabar berarti tetap berbuat baik meski tidak selalu dihargai. Sabar berarti tetap berdoa, meski hasilnya belum tampak.
Dalam perjalanan ini, aku belajar menata ulang makna ketaatan dan kesuksesan. Dunia mengajarkan bahwa sukses adalah tentang posisi dan pengakuan, tetapi sabar mengajarkan bahwa sukses adalah tentang ketenangan batin. Dunia berkata, “Cepatlah mengejar mimpi,” tetapi sabar berbisik, “Berjalanlah bersama aturan Allah.” Dunia menuntut hasil instan dan tergesa-gesa, tetapi iman mengajarkan bahwa setiap proses harus berdasarkan syariat Allah Swt.
Aku pernah ingin hidup bahagia dengan segala aktivitas duniawi yang mudah terpenuhi. Tetapi semakin aku mendekat pada dunia, hatiku semakin resah dan aku merasa jauh dari diriku sendiri. Hanya ketika aku menunduk dalam sujud, aku merasa pulang. Aku sadar, kesabaran tidak membuat hidup lebih mudah, tetapi membuat hati lebih kuat dan tenang.
Imam Al-Ghazali pernah berkata, “Sabar adalah separuh dari iman, karena iman terdiri dari sabar dan syukur.” Ucapan itu kini terasa nyata. Dalam dunia yang serba cepat, sabar menjadi bentuk ibadah yang paling sunyi. Ia tidak terlihat, tetapi terasa. Ia tidak dipuji, tetapi dihargai oleh langit.
Hidup di lingkungan sekuler memang menuntut keteguhan luar biasa. Kadang aku merasa sedih, seolah tak dianggap, terasing, dan memikul sorotan sinis. Tetapi setiap kali rasa itu datang, aku mengingat janji Allah dalam ayat tadi: bahwa Allah bersama orang-orang yang sabar. Bersama bukan sekadar memberi pahala, tetapi menemani, menjaga, dan menenangkan.
Karena itu, aku mulai memandang sabar bukan sebagai beban, melainkan sebagai hadiah. Lewat sabar, aku mengenal diriku sendiri dan menjadi lebih dekat kepada Allah Swt. Lewat sabar pula aku belajar bahwa iman tidak diukur dari banyaknya kata “percaya”, tetapi dari kemampuan untuk tetap istiqamah ketika keyakinan diuji oleh dunia yang tidak peduli pada nilai-nilai suci.
Kini aku tidak lagi menyesali jika harus berjalan sendirian. Dalam kesendirian itulah aku merasa paling dekat dengan Allah. Sabar mengajarkanku bahwa tidak semua perjuangan harus disaksikan orang lain, dan tidak semua kebenaran harus dibela dengan suara keras. Kadang cukup dengan hati yang tetap tenang, tetap yakin, dan tetap berpaut pada-Nya.
Hidup di zaman sekuler membuatku mengerti bahwa menjaga iman bukan tentang melawan dunia, tetapi melawan diri sendiri agar tidak hanyut dalam arusnya. Sabar menjadi jangkar yang menahan jiwa di tengah lautan modernitas yang bergelombang.
Dan pada akhirnya, aku percaya: siapa pun yang bersabar di jalan Allah, meski tampak sendirian, sesungguhnya tidak pernah benar-benar sendiri. Karena Allah telah berjanji untuk selalu bersama orang-orang yang sabar, dan janji itu cukup untuk membuatku bertahan.
Alhamdulillah, akhirnya Allah mempertemukanku dengan sahabat-sahabat yang satu pemahaman. Allah hadirkan seseorang yang mengajakku bergabung dengan komunitas dakwah. Dengan bimbingan dan halaqah rutin, hatiku semakin kuat dan imanku semakin teguh. Kini aku yakin bahwa selama kita sungguh-sungguh ingin taat kepada Allah Swt., Allah pasti memberikan petunjuk dan pertolongan.
Keterasingan yang dulu kurasa bukan lagi beban, tetapi menjadi tantangan untuk mendekati mereka dan memberikan pencerahan sesuai syariat. Ada yang berkata, “Mengislamkan orang Islam", dan kini itulah jalan hidupku. Semoga Allah Swt. meridai langkah ini, memudahkan, dan meneguhkan aku di jalan dakwah. Aamiin.
Klaten, November 2025
Baca juga:
0 Comments: