Headlines
Loading...

Oleh: Emniswati
(Kontributor SSCQMedia.Com)

Bismillahirrahmānirrahīm.
Segala puji bagi Allah Swt., Tuhan semesta alam, Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dialah yang menciptakan manusia dalam bentuk paling sempurna, melimpahkan kasih sayang tanpa batas, serta mengajarkan makna syukur melalui setiap peristiwa kehidupan.

Dari sekian banyak ayat dalam Al-Qur’an, ada satu ayat yang selalu membuat hati saya bergetar setiap kali membacanya. Ayat itu terdapat dalam Surah Ar-Rahman, surah yang begitu lembut dan sarat kasih sayang. Surah ini berulang kali menegaskan pertanyaan Ilahi yang mengguncang nurani manusia:

“Fabiayyi ālā’i rabbikumā tukażżibān.”
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Ayat ini sederhana, tetapi maknanya sangat dalam. Pengulangan ayat tersebut sebanyak tiga puluh satu kali bukanlah tanpa maksud. Allah menegaskannya agar manusia tidak lagi menutup mata dari betapa banyak nikmat yang telah Ia karuniakan.

Saya memilih ayat ini karena setiap kali mendengarnya, seolah ada getaran lembut yang menyentuh hati. Kalimatnya seperti teguran halus dari Allah, namun juga pelukan kasih yang menenangkan. Saya terlahir lengkap tanpa cacat sedikit pun. Kedua mata dapat melihat, telinga mendengar, kaki melangkah, tangan bekerja, dan hati masih bisa merasakan. Betapa besar nikmat itu.

Kini, di usia yang telah melewati lima puluh tahun, saya masih diberi kesehatan dan kekuatan. Masih memiliki orang tua, meski telah menjadi ibu dari tiga anak. Betapa bahagianya masih bisa mencium tangan ayah dan ibu, mendengar suara mereka, serta menyaksikan senyum yang selalu meneduhkan. Banyak orang yang tak lagi merasakan nikmat itu, sementara saya masih diberi kesempatan oleh-Nya.

Setiap kali membaca ayat ini, saya seakan ditanya langsung oleh Allah, “Masihkah kamu berani mengingkari nikmat-Ku?” Saat itu hati saya tertunduk. Air mata mengalir, bukan karena sedih, tetapi karena haru dan syukur yang tak terlukiskan.

***

Ketika menoleh ke belakang, saya menyadari betapa lembutnya cara Allah menuntun langkah hidup ini. Dari kecil hingga kini, nikmat-Nya tidak pernah putus. Saya tidak dilahirkan di keluarga kaya, tetapi Allah mencukupkan dengan cara-Nya. Saya diberi tubuh yang sehat, akal yang waras, dan hati yang kuat untuk bertahan dalam setiap keadaan.

Saya memahami bahwa nikmat tidak selalu berupa harta atau jabatan. Nikmat adalah napas yang masih berhembus, langkah yang masih kuat, dan iman yang tetap tumbuh di dalam dada. Bahkan kemampuan untuk bersyukur pun adalah nikmat yang amat besar. Setiap detik kehidupan adalah karunia. Tidak ada satu pun nikmat Allah yang kecil, karena semua adalah tanda cinta dari-Nya.

***

Beberapa tahun lalu, saya bertemu seorang wanita buta. Ia tidak bisa melihat sejak lahir, namun hafalan Al-Qur’annya begitu lancar dan suaranya sangat merdu. Saya menatapnya dengan kagum. Dalam hati saya bertanya, bagaimana mungkin seseorang yang tak bisa melihat huruf-huruf Al-Qur’an mampu membacanya dengan begitu indah?

Ketika saya menanyakan hal itu, ia tersenyum lembut dan berkata, “Allah mengambil penglihatanku, tetapi Ia menggantinya dengan mata hati yang bisa membaca cahaya firman-Nya.”

Saya terdiam lama. Kata-katanya menusuk hingga ke relung hati yang paling dalam, seolah membangunkan jiwa yang lama terlelap. Ia, yang tidak memiliki penglihatan, justru lebih melihat makna kehidupan daripada saya yang diberi mata sempurna. Ia mengajar anak-anak mengaji, bekerja dari rumah, bahkan membantu perekonomian keluarga. Semuanya dilakukan dengan semangat dan rasa syukur yang luar biasa.

Melihatnya membuat saya malu. Saya yang memiliki tubuh lengkap terkadang masih suka mengeluh. Sementara ia, dengan segala keterbatasannya, mampu bersujud penuh cinta kepada Allah.

Saya pun pernah melewati masa-masa yang berat. Setelah menamatkan pendidikan di SMA, saya belum memiliki pekerjaan tetap. Ada rasa malu kepada orang tua, tetapi saya tidak ingin menyerah. Saya berusaha dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Apa pun yang bisa dikerjakan, akan saya lakukan dengan niat yang baik.

Saya pernah bekerja di sawah milik orang lain, membuat kerupuk ubi, menjahit bordir pesanan, hingga membantu di ladang dan kebun. Semua saya jalani dengan hati yang ikhlas dan penuh rasa syukur.

Atas izin Allah, usaha dan doa itu mengantarkan saya bekerja di Malaysia selama kurang lebih empat setengah tahun. Di negeri orang, saya belajar banyak hal—tentang kesabaran, kejujuran, dan menjaga kehormatan diri sebagai muslimah. Meski bekerja di lingkungan yang beragam agama dan budaya, saya tetap berusaha menjaga iman dan identitas diri dengan berpakaian muslimah dan memelihara akhlak.

Setelah kembali ke tanah air, saya menikah atas pilihan dan restu orang tua. Saya ikhlas menerima segala ketentuan Allah. Bersama suami, saya menetap di Pelalawan. Dua tahun kemudian, saya mendapat kesempatan menjadi Guru Bantu Sekolah (GBS). Dari sanalah jalan hidup semakin terbuka. Saya melanjutkan pendidikan di bidang keguruan hingga meraih gelar Magister Pendidikan (S-2). Alhamdulillah, kini telah menjadi seorang ASN yang mengabdi di dunia pendidikan.

Saya percaya, selama kita tidak malu untuk berusaha dan tidak lupa berdoa, Allah akan selalu memberi jalan. Kadang jalannya berliku, tetapi ujungnya selalu indah. Saat tangan terasa lelah, hati selalu berbisik, “Allah melihat perjuanganmu.” Kalimat itu menjadi sumber kekuatan.

Kini, saat mengingat kembali masa-masa itu, hati saya hanya mampu berucap syukur. Setiap kesulitan yang dulu terasa berat ternyata adalah tangga menuju kematangan jiwa.

Bersyukur bukan hanya sekadar mengucapkan alhamdulillah, tetapi juga tentang bagaimana kita menggunakan setiap nikmat untuk mendekat kepada Allah. Waktu digunakan untuk beribadah, rezeki digunakan untuk berbagi, ilmu digunakan untuk mengajar, dan tenaga digunakan untuk membantu sesama. Itulah hakikat syukur yang sesungguhnya.

Saya belajar bahwa syukur sejati tidak selalu lahir di tengah kemudahan. Kadang justru dari kesempitan, dari air mata, dari kehilangan, barulah kita memahami betapa berharganya nikmat yang dulu sering dianggap biasa. Dari sakit kita belajar menghargai sehat, dari kesedihan kita mengenal makna sabar, dan dari kekurangan kita memahami arti kecukupan.

Syukur harus hadir di setiap denyut kehidupan—saat senang maupun susah, lapang maupun sempit.

Kini, di usia yang semakin matang, saya semakin menyadari bahwa hidup ini bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa dalam kita menghargai setiap pemberian Allah. Kesehatan, keluarga, orang tua, anak-anak, waktu, dan iman—semuanya adalah karunia yang harus dijaga.

Saya ingin terus belajar menjadi hamba yang pandai bersyukur, bukan hanya di lisan, tetapi juga dalam tindakan. Sebab janji Allah begitu jelas dan pasti.

Semoga Allah menjadikan hati ini lembut untuk selalu mengingat-Nya, lidah ini ringan untuk memuji-Nya, dan langkah ini istikamah di jalan-Nya. Karena sejatinya, setiap nikmat akan kembali kepada-Nya, dan hanya syukur yang menjadikannya berarti. [US]


Baca juga:

0 Comments: