Negara Absen dalam Mengurus Transportasi Umum
Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Miris, di tengah gencarnya investasi infrastruktur, jaminan keselamatan berlalu lintas justru menurun. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyoroti fakta memilukan: jumlah korban kecelakaan lalu lintas di wilayahnya mencapai 3.300 jiwa, jauh lebih tinggi dibandingkan korban bencana alam. Data ini mencengangkan sekaligus menampar nurani kita. Pemerintah Provinsi Jawa Barat kini tengah menyiapkan pos layanan jalan terpadu sebagai langkah antisipatif. Fasilitas itu akan dilengkapi mobil derek, mobil pemadam, patroli penerangan jalan umum (PJU), tim medis, dan tim keamanan. (jabarnews.com, 07/11/2025)
Pemerhati kebijakan publik, Iin Eka Setiawati, menilai pemerintah terlalu sibuk mencari penyebab teknis kecelakaan, bukan membenahi sistem keselamatannya. Negara, kata Iin, justru menganut konsep reinventing government, sebuah tata kelola yang menjauhkan pemerintah dari fungsi pelayanan publik. Akibatnya, urusan keselamatan transportasi diserahkan kepada operator swasta. Padahal, operator berorientasi pada keuntungan, bukan keselamatan publik. (muslimahnews.com, 11/05/2025)
“Bagi operator, yang penting kendaraan bisa beroperasi meski tidak memenuhi standar. Maka perjudian nyawa di perjalanan pun terus berlanjut,” tegasnya. Pernyataan ini menohok dan menyadarkan bahwa hilangnya nyawa bukanlah sekadar statistik, melainkan cermin dari sistem yang abai terhadap kemanusiaan.
Pemerintah membangun jalan, jembatan, dan tol megah, tetapi lupa pada riayah, yaitu tanggung jawab untuk memelihara keselamatan publik. Akibat model tata kelola berbasis kapitalisme-sekularisme dan good governance, negara hanya berperan sebagai regulator, bukan pelindung. Operator terbatas kemampuan dan dananya, sementara masyarakat menjadi pihak yang paling menderita.
Kapitalisasi dan Krisis Integritas
Kecelakaan lalu lintas memang bisa disebut musibah. Namun, jika jumlahnya ribuan setiap tahun, itu bukan lagi takdir, melainkan akibat dari sistem yang rusak. Mayoritas korban adalah pengendara sepeda motor. Fenomena ini tak lepas dari kapitalisasi sektor otomotif yang menggoda masyarakat dengan cicilan murah, meski sering dibungkus praktik riba. Akibatnya, siapa pun mudah memiliki kendaraan tanpa diimbangi kesadaran berlalu lintas yang baik.
Lebih jauh, wajah buruk manajemen lalu lintas juga menjadi rahasia umum. Dari pungutan liar dalam pembuatan SIM hingga lemahnya pengawasan di lapangan, semuanya menunjukkan krisis integritas aparat. SIM bahkan dijadikan pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Padahal, sejatinya SIM adalah fasilitas negara untuk menjamin keselamatan warga, bukan ladang pungutan. Jika aturan dasar saja sudah menyimpang, bagaimana mungkin keselamatan bisa ditegakkan?
Islam Menawarkan Sistem yang Menyelamatkan
Hanya ada satu jalan untuk mencegah tragedi berulang: negara harus hadir dengan tulus untuk mengurusi urusan rakyatnya. Pemerintah bukan sekadar regulator, tetapi pelindung dan penanggung jawab keselamatan publik. Islam mengajarkan bahwa pemimpin adalah raa’in, yakni penggembala dan penanggung jawab rakyatnya.
Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam Islam, keselamatan transportasi menjadi bagian dari riayah syu’unil ummah (pemeliharaan urusan umat). Negara wajib menyediakan moda transportasi publik yang aman, teknologi transportasi terkini, serta pengemudi profesional. Jika dana negara tidak cukup, Islam mewajibkan negara mencari sumber daya hingga terpenuhi, sebab melindungi nyawa rakyat hukumnya wajib.
Rasulullah saw. juga bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan Ad-Daraquthni)
Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), keselamatan publik tidak pernah dibiarkan menjadi urusan pasar. Negara membangun tata kota yang terencana agar masyarakat tidak harus menempuh perjalanan jauh dan berisiko tinggi. Transportasi disediakan sesuai kondisi geografis: kapal untuk daerah pesisir, kereta untuk dataran rendah, dan helikopter untuk wilayah pegunungan.
Sarana publik dibuat aman dan nyaman karena negara memiliki kemandirian finansial melalui pengelolaan sumber daya alam yang halal dan berkeadilan. Lebih dari itu, Khilafah mendidik rakyat untuk taat aturan serta mengawasi aparat agar amanah. Integritas mereka menjadi benteng dari pungutan liar dan korupsi. Hasilnya, lalu lintas aman, transportasi teratur, dan rakyat hidup tenang tanpa rasa cemas di jalan raya.
Penutup
Tragedi demi tragedi di jalan raya bukan sekadar masalah teknis, tetapi krisis kepemimpinan dan sistem. Islam menempatkan keselamatan rakyat sebagai amanah agung yang tidak bisa dinegosiasikan.
Selama negara berlepas tangan dan menyerahkan urusan rakyat pada logika pasar, jalan raya akan tetap menjadi ladang kematian yang sepi doa. Sudah saatnya kita kembali pada sistem yang benar-benar memuliakan nyawa manusia—sistem yang hadir untuk menjaga, bukan sekadar mengatur. []
Baca juga:
0 Comments: