Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — Pemerintah Provinsi Jawa Barat berencana menerbitkan Surat Edaran (SE) yang menegaskan agar para guru tidak memberikan hukuman fisik kepada siswa. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyampaikan bahwa pemberian hukuman fisik berpotensi melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
“Saya telah menerbitkan surat edaran kepada seluruh guru di Jawa Barat agar dalam menegur atau membina siswa dilakukan dengan cara yang mendidik, bukan melalui hukuman fisik, karena tindakan tersebut dapat berdampak pada aspek hukum,” ujar Dedi. Selain itu, Pemprov Jawa Barat telah menyiapkan 200 pengacara untuk mendampingi guru SMA dan SMK jika menghadapi masalah hukum. (metrotvnews.com, 07/11/2025)
Langkah ini sontak mengundang perhatian publik. Di satu sisi, kebijakan ini menunjukkan kepedulian terhadap hak anak dan perlindungan guru. Namun di sisi lain, kebijakan ini membuka pertanyaan mendalam: ke mana arah pendidikan kita sebenarnya?
Kebijakan ini menjadi langkah penting, tetapi belum menyentuh akar masalah. Surat edaran itu baik, tetapi baru menambal luka di permukaan, bukan menyembuhkan sumber penyakitnya.
Dari sini tampak jelas bahwa sistem pendidikan kita kehilangan kehangatan nilai. Guru dibatasi oleh hukum, murid dilindungi oleh regulasi, tetapi hubungan kemanusiaan di antara keduanya kian menipis. Inilah titik krisis moral yang perlu kita benahi bersama.
Arah Pendidikan yang Kabur
Kebijakan tanpa hukuman fisik memang tampak manusiawi, tetapi mengandung risiko lain, yakni hilangnya wibawa guru dan kaburnya arah pendidikan. Guru kini dihadapkan pada rasa takut: salah menegur bisa dilaporkan, salah membimbing bisa dipidana. Akibatnya, semangat mendidik berubah menjadi sekadar “mengajar agar aman”.
Lebih jauh, pendidikan kita kehilangan arah karena tidak ada kesatuan konsep antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keluarga ingin anak berprestasi, sekolah ingin anak patuh, masyarakat ingin anak siap kerja. Sementara itu, negara mengukur keberhasilan dengan angka dan statistik. Semuanya terjebak dalam logika “mencetak tenaga kerja”, bukan membangun manusia beradab.
Saat negara sibuk mengatur tata cara guru mendidik, peran orang tua justru semakin memudar. Padahal keluarga adalah madrasah pertama tempat anak belajar nilai, disiplin, dan empati. Ketika tanggung jawab ini berpindah ke sekolah dan sistem hukum, anak kehilangan figur teladan. Tidak mengherankan jika banyak anak tumbuh tanpa arah moral, kendali emosi, dan rasa tanggung jawab.
Ini adalah akibat dari sistem pendidikan yang terlalu teknis dan legalistik, bukan ideologis dan spiritual. Sistem seperti ini hanya mencetak generasi yang pandai tetapi tidak bijak; berpengetahuan tetapi tidak berakhlak.
Solusi Islam: Mendidik dengan Cinta dan Ketegasan
Islam memiliki konsep pendidikan yang seimbang: menanamkan kasih sayang, tetapi tetap memberi ruang bagi ketegasan. Rasulullah saw. mencontohkan bahwa mendidik anak bukan dengan amarah, melainkan dengan hikmah dan kelembutan. Beliau mencium anak-anak kecil, mengusap kepala mereka, dan memuji yang berbuat baik.
Dalam hadis Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a., Rasulullah bersabda, “Aku tidak punya daya apa-apa bilamana Allah telah mencabut rasa kasih sayang dari dalam hatimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun, Islam tidak meniadakan hukuman. Hukuman ada dalam konteks ta’dib, yaitu pendisiplinan dengan kasih. Rasulullah saw. bersabda:
“Perintahkan anak-anakmu salat saat mereka berusia tujuh tahun. Jika mereka berusia sepuluh tahun belum melakukannya, maka pukullah mereka (dengan pukulan yang tidak menyakiti) dan pisahkan tempat tidurnya.” (HR. Abu Dawud dan Hakim)
Dari sinilah Islam mengajarkan tahapan pendidikan: nasihat, keteladanan, pemberian waktu, kemudian disiplin ketika semua usaha dilakukan tanpa hasil.
Para khalifah setelah Rasulullah pun meneruskan teladan tersebut. Umar bin Khattab tegas tetapi penuh kasih, menegur keras pejabat yang lalai, namun memeluk rakyat kecil yang menangis. Ali bin Abi Thalib menegaskan bahwa pendidikan tanpa kasih akan melahirkan kebencian, sementara kasih tanpa disiplin akan melahirkan kelemahan.
Maka, pendidikan dalam Islam adalah perpaduan antara kasih sayang dan ketegasan—bukan penghapusan hukuman, melainkan mengembalikan makna hukuman kepada tujuannya: mendidik, bukan menyakiti.
Khatimah
Surat edaran Pemprov Jawa Barat hendaknya menjadi titik tolak, bukan titik henti. Ia bisa menjadi pintu refleksi untuk meninjau ulang arah pendidikan bangsa ini.
Pendidikan bukan hanya soal larangan memukul, melainkan tentang bagaimana menumbuhkan kasih, ketegasan, dan tanggung jawab moral dalam mendidik generasi.
Islam telah memberi jalan terang. Jika pendidikan kembali kepada nilai-nilai wahyu, maka guru tidak akan takut mendidik, murid tidak akan takut belajar, dan orang tua tidak akan lalai membimbing. Pada akhirnya, pendidikan sejati bukan tentang siapa yang berkuasa, tetapi siapa yang berakhlak.
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka sebagaimana mereka telah mendidikku ketika kecil.” (QS. Al-Isra: 24). [ry]
Baca juga:
0 Comments: