Headlines
Loading...
Murahnya Harga Nyawa, Cermin Krisis Umat di Era Modern

Murahnya Harga Nyawa, Cermin Krisis Umat di Era Modern

Oleh: Arini Hidayati
(Mahasiswi, Aktivis Dakwah)

SSCQMedia.Com—Beberapa waktu lalu, dua anak ditemukan meninggal dunia di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, yang diduga bunuh diri. Kasus ini mengungkap kerentanan kesehatan mental anak-anak generasi sekarang yang semakin terbebani oleh tekanan emosi dan lingkungan. Fenomena tragis ini menunjukkan bahwa bahkan di usia belia, rasa putus asa dapat tumbuh ketika dukungan sosial, kasih sayang, dan arah hidup kehilangan maknanya (Kompas.id, 31/10/2025).

Kejadian dua anak yang bunuh diri ini bukan hanya sebuah tragedi individual—ia adalah alarm besar bagi umat Islam yang hidup di tengah perubahan cepat zaman. Kita melihat bagaimana tekanan sosial, ketidakpastian ekonomi, isolasi digital, sistem pendidikan yang menuntut tanpa kesiapan, serta hilangnya sistem nilai yang kuat dapat mendorong anak-anak ke tepi keputusasaan.

Anak-anak zaman ini tumbuh di dunia yang serba terhubung namun terasa sepi. Mereka bisa berbicara dengan ribuan orang di dunia maya, tetapi tak memiliki satu pun telinga yang benar-benar mendengar. Banyak orang tua terjebak dalam kesibukan ekonomi, sementara sekolah sering kali lebih menilai angka daripada perasaan. Media sosial memperkuat perbandingan dan citra semu tentang “kebahagiaan”, sehingga membuat anak-anak merasa hidup mereka tidak cukup berharga.

Krisis ini sejatinya bukan semata-mata tentang lemahnya mental anak, melainkan tentang sistem yang membentuk mereka. Sistem sekuler–kapitalis menjadikan manusia sebagai roda produksi: nilai diukur dari prestasi, daya saing, dan materi. Ketika gagal memenuhi standar itu, manusia kehilangan harga dirinya. Dalam kondisi seperti ini, anak-anak—yang hatinya masih lembut dan jiwanya belum kokoh—mudah terhempas.

Keluarga yang semestinya menjadi tempat paling aman justru ikut rapuh, sebab mereka pun hidup dalam tekanan sistem yang sama. Sementara masyarakat yang dulunya hangat dan saling peduli kini berubah menjadi ruang yang individualistis dan sibuk dengan urusannya masing-masing. Ketika iman tidak lagi menjadi pusat pendidikan dan kehidupan, manusia—sekecil apa pun—kehilangan jangkar yang membuatnya tetap ingin hidup.

Allah Ta‘ala telah mengingatkan:
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
(QS. An-Nisa [4]: 29)

Ayat ini menegaskan bahwa setiap nyawa berharga di sisi Allah, dan hilangnya makna hidup hingga memilih jalan bunuh diri merupakan akibat dari jauhnya manusia dari kasih sayang dan petunjuk-Nya.

Bagi umat Islam, fenomena ini adalah cermin dari krisis peradaban: umat yang memiliki kekayaan nilai, tetapi kehilangan mekanisme untuk menghidupkannya dalam sistem kehidupan modern. Anak-anak yang seharusnya merasa aman, dicintai, dan dihargai justru merasa kesepian, tak punya harapan, dan akhirnya memilih jalan tragis. Ini bukan hanya persoalan psikologis—ini persoalan sistem. Sistem kehidupan yang tidak memelihara manusia sebagai khalifah yang bermartabat, melainkan menempatkan manusia sebagai objek statistik dan komoditas.

Untuk menjawab persoalan ini secara tuntas, umat Islam harus berani beralih dari solusi parsial menuju solusi sistemik. Kita membutuhkan sistem Islam kaffah—yang tidak hanya fokus pada ritual, tetapi juga pada struktur kehidupan: pendidikan, teknologi, ekonomi, sosial, dan pengasuhan.

Dalam sistem Islam, anak bukan sekadar aset atau konsumsi prestasi—anak adalah amanah yang harus dijaga. Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, melainkan pembentukan karakter, penguatan iman, serta penyadaran bahwa hidup bermakna bukan karena apa yang diraih, tetapi karena siapa yang dituju: Allah. Teknologi bukan alat yang mengasingkan, melainkan instrumen untuk memperkuat ukhuwah, komunitas, dan tanggung jawab sosial.

Persatuan umat Islam juga merupakan hal penting. Anak-anak kita mendapat luka bukan hanya dari lingkungan lokal, tetapi dari sistem global yang memecah belah, mengalienasi, dan mengeksploitasi. Ketika umat bersatu, akan terbangun institusi dan lingkungan yang mendukung kestabilan emosional, spiritual, dan sosial anak-anak. Kekuatan komunitas yang hidup dalam nilai Islam mampu menutup celah-celah kerentanan yang tidak mampu diatasi oleh sistem sekuler.

Akhirnya, akar semua ini adalah iman—kesadaran bahwa hidup adalah amanah dan bahwa kita saling bertanggung jawab sebagai umat. Ketika umat Islam bangkit dengan sistem yang diridai Allah, maka luka-luka seperti tragedi dua anak di Jawa Barat ini bukan hanya dapat dicegah, tetapi dikelola dalam lingkungan yang penuh rahmat, cinta, dan perlindungan.

Wallahu a‘lam. []


Baca juga:

0 Comments: