Menyoal Utang Finansial dan Ekologis Kereta Whoosh
Oleh: Alfi Ummuarifah
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Pembangunan infrastruktur seringkali terlihat sebagai upaya positif yang membawa kemajuan. Namun, tidak jarang di baliknya terdapat dampak serius yang muncul. Hal ini karena pembangunan hari ini banyak didasarkan pada paradigma kapitalistik, sehingga dampak finansial, psikologis, maupun ekologis sangat nyata dan tidak dapat disembunyikan.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengusulkan agar pemerintah Indonesia menagih utang pendanaan iklim kepada berbagai negara maju, termasuk China, karena pembangunan Kereta Whoosh menimbulkan kerusakan lingkungan. Usulan tersebut juga berlaku untuk negara-negara yang memperoleh keuntungan dari investasi dan eksploitasi sumber daya alam di Indonesia dalam satu dekade terakhir. Bentuknya dapat berupa debt relief (keringanan utang), moratorium, atau renegosiasi pinjaman yang membebani APBN. Hal ini disampaikan Bhima di Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), yang kini bernama Kereta Whoosh sebagai bagian dari kerja sama Belt and Road Initiative (BRI) Indonesia-China, terbukti menimbulkan berbagai kerusakan lingkungan yang seharusnya dihitung sebagai bagian dari utang ekologis. Kerusakan lingkungan akibat deforestasi, pertambangan nikel, dan pembangunan smelter harus mulai dikalkulasikan. Maka, China bukan lagi menagih utang kereta cepat, tetapi seharusnya membayar karena Indonesia memberikan surplus keuntungan kepada mereka (inilah.com, 19/11/2025).
Faktanya, berbagai pertemuan internasional termasuk Conference of the Parties (COP) belum menunjukkan komitmen nyata negara maju dalam pendanaan iklim untuk membantu negara berkembang. Komitmen tersebut banyak yang melenceng dari kesepakatan Paris, yang menyebutkan bahwa negara maju memiliki mandat memberikan bantuan pendanaan, bukan sekadar akses.
Sejak revolusi industri pertama, negara maju sudah memanfaatkan PLTU batu bara dan berbagai sumber emisi lain seperti pabrik gula, yang memicu krisis iklim. Dosa iklim ini seharusnya ditebus, bukan dibiarkan.
Temuan Reuters menunjukkan negara maju justru mengambil keuntungan melalui mekanisme utang negara berkembang. Kepentingan bisnis bahkan masuk ke dalam agenda iklim sehingga menciptakan privatisasi iklim—di mana solusi diarahkan demi keuntungan swasta dan negara maju. Karenanya, negara investor juga harus bertanggung jawab atas krisis iklim.
Biaya pembangunan Kereta Whoosh telah mencapai US$7,27 miliar atau setara Rp120 triliun (kurs Rp16.500/US$). Sebanyak 75 persen pendanaan berasal dari utang China Development Bank (CDB) dengan bunga 2 persen per tahun, setara dengan Rp90 triliun—termasuk pembengkakan biaya cost overrun sebesar US$1,2 miliar. Utang tersebut harus ditanggung PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), yang 60 persen sahamnya dimiliki konsorsium BUMN melalui PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI). Artinya, sekitar Rp54 triliun dibebankan ke PSBI dan sisanya Rp36 triliun kepada konsorsium China.
Di dalam PSBI terdapat empat BUMN: KAI, Jasa Marga, Wijaya Karya, dan PTPN VIII. Utang dilakukan dengan skema bunga tetap selama 40 tahun pertama. Bunga utang Kereta Whoosh jauh lebih tinggi dibandingkan proposal Jepang yang hanya 0,1 persen per tahun, sedangkan cost overrun dikenakan bunga 3,4 persen. Lebih dari separuh cost overrun ditutup dengan tambahan utang CDB, dan sisanya dari patungan modal BUMN Indonesia dan pihak China. Terlihat jelas bahwa jejak utang semakin menumpuk dan menggurita. Lalu siapa yang akhirnya membayar semua dosa utang dan dampak ekologis ini? Generasi masa depan kah?
Seharusnya pembangunan infrastruktur dilakukan sesuai kebutuhan dan menggunakan APBN, bukan utang karena ambisi semata. Dalam perspektif pembangunan Islam, fasilitas dibangun karena kebutuhan mendesak, dan ada awlawiyat (skala prioritas) yang mengukur manfaat, bukan keinginan. Alasan investasi sosial tidak relevan bila masyarakat masih dapat menggunakan fasilitas lama.
APBN yang terbatas harus digunakan secara bijak dan tepat sasaran. Penguasa tidak boleh membuat kebijakan yang membahayakan masyarakat dengan utang berbunga yang kelak akan dibebankan pada generasi mendatang. Nasib generasi Alpa, Z, bahkan Beta bisa tergadaikan akibat ego kekuasaan. Padahal pemimpin seharusnya melindungi, bukan merusak masa depan rakyat.
Sistem kapitalis memberi celah bagi penguasa untuk membangun atas dasar ambisi tanpa pertimbangan kebutuhan. Karena itu, mengganti sistem kapitalisme adalah keharusan agar pembangunan benar-benar menyejahterakan rakyat. Masyarakat membutuhkan sistem pembangunan yang melayani, bukan sistem yang hanya menguntungkan penguasa dan pengusaha.
Umat menanti hadirnya pemimpin yang taat kepada Allah Swt. dan mengurus rakyat berdasarkan sistem pembangunan dari Sang Pencipta alam. Sistem itu adalah sistem pembangunan Islam. Wallahu a’lam bish-shawab. [Hz]
Baca juga:
0 Comments: