Headlines
Loading...

Oleh: Alfi Ummuarifah
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Desa kini dilirik pemerintah untuk semakin ditingkatkan perekonomiannya melalui program Koperasi Desa Merah Putih. Namun, langkah ini memicu pro dan kontra. Pemerintah akan menggelontorkan dana desa senilai Rp40 triliun untuk pembangunan 80 ribu Koperasi Desa atau Kelurahan (Kopdes) Merah Putih di seluruh Indonesia. Menurut beberapa pakar, kebijakan ini dinilai dapat menghambat program pembangunan di desa.

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengatakan bahwa bila porsi dana desa diarahkan ke Kopdes Merah Putih dalam jumlah besar, maka akan menghimpit ruang fiskal desa untuk menyesuaikan program sesuai kebutuhan lokal. Menurutnya, gelontoran dana besar secara tiba-tiba dapat mendorong kenaikan harga tanah, sewa kios, serta biaya bahan bangunan di desa, sehingga memunculkan inflasi lokal yang justru merugikan warga miskin (Antara, 18/11/2025).

Penyaluran dana seharusnya dilakukan bertahap berdasarkan kesiapan masing-masing desa agar dapat meredam distorsi penyaluran dana. Prioritas perlu diberikan kepada desa yang telah memiliki rekam jejak kelembagaan yang baik, pengurus berpengalaman, dan ekosistem usaha yang jelas, misalnya di sektor pangan, perikanan, atau usaha mikro yang telah berjalan.

Menurut Josua, pendanaan idealnya tidak sepenuhnya bersumber dari dana desa, tetapi dikombinasikan dengan pembiayaan perbankan, lembaga penjaminan, dan kemitraan dengan sektor swasta, sehingga risiko tidak sepenuhnya ditanggung anggaran publik.

Artinya, bila pemerintah memangkas anggaran dana desa sebesar Rp40 triliun untuk Kopdes Merah Putih, maka dana desa yang tersisa untuk tahun 2026 hanya Rp20 triliun. Lantaran alokasi dana desa tahun 2026 sebesar Rp60 triliun, maka pengalihan anggaran ini akan menggerus dana untuk program sosial dan pembangunan infrastruktur. Selama ini banyak desa menggunakan dana desa untuk pembangunan jalan usaha tani, irigasi kecil, sarana air bersih, posyandu, dan bantuan langsung bagi rumah tangga rentan.

Jika porsi dana desa untuk program nonkoperasi menyusut, maka akan muncul trade-off berupa kepala desa dipaksa memilih antara membiayai pelayanan dasar atau mengikuti program koperasi yang didorong pemerintah pusat.

Sebenarnya, kebijakan pemerintah membangun Kopdes Merah Putih dalam skala nasional bisa menjadi terobosan penting bagi penguatan ekonomi desa dan kemandirian pangan. Namun, bila desain pendanaan terlalu mengandalkan dana desa dengan porsi yang sangat besar, hal ini berpotensi menimbulkan berbagai risiko. Di antaranya terdesaknya belanja infrastruktur dan sosial, meningkatnya risiko fiskal jika koperasi gagal, pemborosan dan salah kelola akibat kapasitas yang belum siap, munculnya ketergantungan terhadap dana negara, serta distorsi ekonomi di tingkat lokal.

Sebelumnya, Sekjen Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi), Muksalmina, mengatakan bahwa pengalihan anggaran Rp40 triliun ini akan memberatkan kinerja keuangan pemerintah desa. Selama ini dana desa memiliki peran penting bagi pembangunan desa, sehingga jika anggaran dialihkan, banyak program yang terancam dihentikan.

Saat ini banyak program di desa tidak dapat dijalankan kembali, terutama pada belanja pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Dengan sisa dana desa sebesar Rp20 triliun, maka rata-rata dana desa akan berada di bawah Rp200 juta per desa. Jumlah ini sangat kecil dan semakin terasa kecil karena alokasinya dialihkan paksa untuk koperasi merah putih.

Kuncinya di APBN

Sebenarnya apa yang dipersoalkan para ekonom sesuai dengan kegelisahan para pejabat desa. Dana desa yang seharusnya besar menjadi berkurang karena diambil untuk koperasi desa. Kekhawatiran ini wajar karena pembangunan desa membutuhkan anggaran yang besar. Jika dana yang tersedia saja tidak mencukupi, apalagi jika masih dipotong untuk kebutuhan lain. Belum lagi potensi korupsi anggaran. Jika dana sudah berkurang dan masih dikorupsi, maka tersisa semakin sedikit.

Inilah karut-marut penggunaan anggaran negara. Hal seperti ini terjadi karena negara tidak memiliki pos pemasukan yang memadai. Tiga sumber pemasukan dari pajak, nonpajak, dan utang tidak cukup untuk membiayai seluruh pengeluaran negara. Seharusnya negara memiliki lebih banyak sumber pemasukan.

Sebagai contoh, sistem pemerintahan Islam pada masa Nabi di Madinah hingga masa Turki Utsmani memiliki banyak pos pemasukan, seperti kharaj, fai, ghanimah, kekayaan kepemilikan umum, kepemilikan negara, tambang logam dan nonlogam, zakat, jizyah, wakaf, rikaz, dan pos pemasukan lainnya. Pemasukan ini lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan negara hingga wilayah terkecil. Tidak seperti kisruh dana Kopdes hari ini yang diambil dari dana desa.

Setiap desa atau kota memiliki kebutuhan dan besaran belanja yang berbeda. Negara Islam ketika itu mengalokasikan anggaran sesuai kebutuhan wilayah. Para pakar (khubara) menghitung masing-masing daerah tanpa menyamakan nominal, karena kondisi wilayah pun berbeda. Anggaran negara yang melimpah membuat pemerintahan Islam mampu memenuhi kebutuhan rakyat per individu, bukan secara kumulatif.

Dengan sistem berbasis syariah, kisruh seperti Kopdes tidak akan terjadi. Pemimpin bekerja melayani karena diperintahkan Allah, bukan berorientasi bisnis sebagaimana sistem kapitalis. Hari ini para pejabat memandang program sebagai proyek yang harus menghasilkan keuntungan. Jika dananya kecil, dari mana cuan bisa dipotong. Karena itu program ditolak jika tidak menguntungkan.

Koperasi Merah Putih diambil sebagai langkah melaksanakan janji politik kampanye. Karena sudah terucap, maka harus diwujudkan, meski menuai kritik. Solusi pragmatis Kopdes ini akan tetap dijalankan meski ada penolakan, karena dianggap sebagai bukti janji kampanye.

Tidak ada solusi yang benar-benar solutif kecuali mengambil sistem baru yang pro rakyat dan berorientasi menyejahterakan rakyat, bukan hanya segelintir elite.

Wallahualam bissawab. [US]

Baca juga:

0 Comments: