Headlines
Loading...

Oleh: Purwanti
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Islam yang Allah Swt. bawa melalui Nabi Muhammad saw membawa seperangkat aturan yang lengkap. Aturan ini mencakup hubungan manusia dengan Allah Swt., hubungan manusia dengan sesama manusia, serta hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Semua aturan tersebut diperuntukkan demi kemaslahatan manusia secara menyeluruh. Dalam Islam, Allah Swt. mengatur urusan makanan sebagai bagian dari aturan terhadap diri manusia. Makanan dalam Islam tidak hanya sekadar kebutuhan untuk bertahan hidup.

Lebih dari itu, makanan merupakan bagian dari pelaksanaan perintah Allah, upaya menjaga kesehatan, serta faktor pembentuk karakter dan perilaku manusia. Oleh karena itu, Islam memberikan perhatian serius terhadap apa yang masuk ke dalam tubuh seseorang, baik dari sisi sumber mendapatkannya, kualitasnya, maupun adab saat mengonsumsinya.

Di dalam Al-Qur’an al-Karim, Allah Swt. memerintahkan:
Wahai manusia! Makanlah dari apa yang ada di bumi yang halal lagi baik (thayyib)…” (TQS Al-Baqarah ayat 168).

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini merupakan seruan umum bagi seluruh manusia, sebagaimana ditandai dengan awal ayat yang berbunyi ya ayyuhannas. Ini menunjukkan bahwa hukum mengenai makanan halal dan baik merupakan kebutuhan universal yang tidak terbatas bagi umat Islam saja.

Lebih lanjut, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa halal adalah sesuatu yang diperbolehkan dan tidak dilarang oleh syariat. Sedangkan baik (thayyib) adalah sesuatu yang bersih, tidak merusak tubuh, dan tidak membahayakan. Oleh karena itu, tidak semua yang halal otomatis thayyib, dan tidak semua yang tampak baik otomatis halal. Contohnya adalah ayam goreng yang dimasak menggunakan minyak jelantah. Minyak jelantah mengandung radikal bebas dan karsinogen yang berbahaya bagi tubuh. Walaupun ayam goreng tersebut halal, jika dimasak dengan bahan yang membahayakan tubuh maka tidak boleh dikonsumsi.

Benarlah ungkapan bahwa kualitas hidup dimulai dari apa yang kita masukkan ke dalam tubuh. Bagi seorang muslim, doa adalah senjata terkuat. Ketika seorang muslim berdoa, ia sedang memohon pertolongan Dzat Yang Maha Kuasa. Namun bagaimana mungkin Allah mengabulkan doa seseorang bila yang ia konsumsi justru menjadi penghalangnya?

Nabi saw. pernah bersabda tentang seorang musafir yang memohon kepada Allah Swt., “Ya Rabb, Ya Rabb,” tetapi ia makan dan minum yang haram, memakai pakaian yang haram, dan tumbuh dari sesuatu yang haram. Maka Nabi saw bersabda:
Bagaimana mungkin doanya dikabulkan?” (HR Muslim).

Tidak hanya itu, makanan yang tidak halal dan tidak thayyib dapat menggelapkan hati. Ia menutup pintu taufik, mengeraskan hati, dan melemahkan iman.

Namun realitas hari ini menunjukkan bahwa banyak anak lebih menyukai makanan cepat saji dibandingkan makanan rumahan. Ditambah lagi maraknya iklan produk makanan instan dan perang budaya yang menyasar kaum muslim, membuat konsep halal dan thayyib tidak bisa dipisahkan. Standar halal saja tidak cukup untuk melindungi umat. Prinsip thayyib menjadi batas moral dan kesehatan.

Tanpa kita sadari, makanan cepat saji sering menawarkan tampilan menarik tetapi tidak menunjang kesehatan. Misalnya, viralnya mie instan Indomie Carbonara, yaitu mie yang dilengkapi saus creamy carbonara (campuran susu, keju, dan telur atau sosis). Makanan ini viral di media sosial sebagai camilan cepat dan kekinian. Banyak orang mengikuti tren FOMO tanpa mempertimbangkan apakah makanan tersebut baik bagi tubuh.

Maka di tengah gempuran junk food yang tiada henti, orang tua dan keluarga harus menjadi filter dalam membentuk karakter makan anak. Tidak cukup hanya mengejar sertifikat halal pada kemasan, tetapi juga memilih makanan yang sehat, bersih, bergizi, aman, dan membawa kebaikan.

Wallahualam bissawab. [US]

Baca juga:

0 Comments: