Headlines
Loading...
Lingkungan Tanpa Perlindungan: Batam dan Bahaya Limbah B3 Impor

Lingkungan Tanpa Perlindungan: Batam dan Bahaya Limbah B3 Impor

Oleh: Iin Mutmainah
(Aktivis Muslimah Kepri)

SSCQMedia.Com—Kasus impor limbah B3 elektronik asal Amerika ke Batam kembali menguatkan dugaan bahwa Indonesia masih dianggap sebagai tempat pembuangan oleh negara-negara maju. Temuan kontainer berisi limbah elektronik berbahaya membuka pertanyaan besar: siapa yang berada di balik praktik kotor yang merusak lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat ini? Laporan media menunjukkan fakta yang mengejutkan dan tidak dapat diabaikan (Batamnews, 6 November 2025).

Menurut investigasi lebih lanjut, penanganan kasus ini masih belum jelas dan menyisakan banyak tanda tanya. Proses hukum berjalan lambat dan koordinasi antarlembaga tidak menunjukkan kemajuan signifikan. Kondisi ini menyiratkan adanya celah kelembagaan yang membuat Indonesia rentan terhadap masuknya limbah berbahaya dari luar negeri (Mongabay.co.id, 7 November 2025).

Masuknya limbah elektronik dalam jumlah besar tentu membawa ancaman serius bagi lingkungan. Limbah jenis ini mengandung logam berat dan zat beracun yang dapat mencemari air, tanah, dan udara. Jika terhirup atau masuk ke tubuh manusia, bahan-bahan tersebut dapat memicu penyakit kronis, gangguan saraf, bahkan kanker. Dampaknya bukan hanya hari ini, tetapi dapat diwariskan kepada generasi berikutnya.

Salah satu penyebab utama masalah ini adalah lemahnya pengawasan di wilayah Free Trade Zone (FTZ) Batam. Kontainer keluar-masuk dengan mudah, sementara pemeriksaan fisik tidak selalu berjalan ketat. Kebijakan FTZ yang seharusnya mendorong investasi justru dimanfaatkan sebagian pihak untuk memasukkan barang ilegal, termasuk limbah berbahaya. Hal ini menjadi bukti bahwa sistem pengawasan tidak mampu menutup celah yang ada.

Selain itu, lemahnya penegakan hukum semakin memperburuk situasi. Ada peraturan, tetapi tidak dilaksanakan secara tegas. Ada pelaku, tetapi tidak segera dihadapkan ke pengadilan. Ketika hukum tidak berjalan, kejahatan lingkungan akan terus terjadi. Masyarakat akhirnya menjadi korban yang harus menanggung akibatnya.

Fakta ini memperlihatkan watak asli sistem kapitalisme, yaitu menjadikan keuntungan sebagai satu-satunya tolok ukur tindakan. Selama menghasilkan profit, aspek moral, sosial, dan ekologis dapat dinegosiasikan atau bahkan diabaikan. Limbah berbahaya dari negara kaya dialihkan ke negara berkembang karena dianggap lebih murah, lebih mudah, dan tidak menimbulkan konsekuensi berarti bagi mereka.

Ironisnya, aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi pelindung rakyat tidak jarang justru membuka jalan bagi kepentingan asing, baik karena kelalaian maupun kompromi tertentu. Akibatnya, kepentingan rakyat dikorbankan, sementara asing dan pelaku bisnis menikmati keuntungan tanpa memedulikan kerusakan yang ditinggalkan.

Dalam kondisi seperti ini, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa kerusakan lingkungan bukan sekadar isu teknis, tetapi persoalan peradaban. Ketika alam dirusak, manusia akan menanggung akibatnya. Ketika aturan dilanggar, keadilan tidak berjalan. Dan ketika negara tidak tegas, kedaulatan akan tergerus perlahan.

Maka solusi tidak boleh parsial. Negara harus menegakkan hukum dengan tegas, memastikan seluruh kontainer limbah ilegal dikembalikan ke negara asal, dan menghukum para pelaku dengan hukuman seberat-beratnya. Tidak boleh ada kompromi dan tidak boleh ada tawar-menawar. Lingkungan bukan lahan bisnis, tetapi amanah yang harus dijaga.

Islam menawarkan mekanisme komprehensif dalam mengatur persoalan lingkungan. Syariat menegaskan bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi dan tidak boleh melakukan kerusakan. Pelaku pencemaran lingkungan wajib diberi sanksi ta’zir yang keras sesuai kadar kerusakan yang ditimbulkan agar menimbulkan efek jera.

Lebih jauh lagi, dalam sistem Islam, kerja sama dengan negara lain diatur secara ketat dan hanya boleh dijalin jika membawa maslahat nyata bagi umat. Islam melarang bentuk kerja sama yang merugikan, mengeksploitasi, atau merusak negeri Muslim. Karena itu, praktik memasukkan limbah B3 dari negara lain jelas bertentangan dengan prinsip siyasah luar negeri dalam Islam yang menjaga kehormatan, kedaulatan, dan keselamatan rakyat.

Pada akhirnya, kasus impor limbah B3 ini harus menjadi alarm bagi bangsa. Batam tidak boleh menjadi tempat pembuangan limbah dunia. Indonesia tidak boleh tunduk pada kepentingan asing. Dan umat harus memperjuangkan sistem yang mampu melindungi manusia dan alam secara menyeluruh. Hanya dengan pendekatan tegas, adil, dan berlandaskan nilai Ilahi, yaitu sistem Khilafah, krisis ekologis ini dapat diselesaikan hingga ke akar-akarnya.

Wallahu a’lam.


Baca juga:

0 Comments: