Headlines
Loading...
Kasus Bullying Makin Merinding, Cermin Rusaknya Sistem Sekuler

Kasus Bullying Makin Merinding, Cermin Rusaknya Sistem Sekuler

Oleh: Verawati, S.Pd
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Akhir-akhir ini masyarakat dihebohkan oleh maraknya kasus kekerasan yang melibatkan pelajar. Mulai dari kasus bunuh diri pelajar, penganiayaan, pembunuhan, hingga peristiwa bom rakitan di SMA Negeri 72. Bahkan pada Jumat, 31 Oktober 2025, asrama putra Dayah Babul Maghfirah di Aceh Besar terbakar. Setelah dilakukan penyelidikan, pelakunya adalah seorang santri yang masih di bawah umur (kumparannews.com, 7 November 2025). Rangkaian kejadian ini menggemparkan publik sekaligus memunculkan pertanyaan besar: apa yang sebenarnya terjadi dengan generasi kita?

Jika ditelusuri, hampir semua kasus tersebut berakar pada bullying, baik verbal, fisik, maupun digital. Budaya mengolok-olok, merendahkan, dan mempermalukan kini menjadi kebiasaan sebagian pelajar. Ironisnya, tindakan yang seharusnya dikutuk ini dianggap sebagai candaan atau hiburan. Padahal bagi korban, bullying meninggalkan luka mental yang membekas, bahkan dapat berujung pada tindakan ekstrem seperti bunuh diri. Sekolah yang seharusnya menjadi ruang aman dan nyaman justru berubah menjadi tempat penuh tekanan dan ancaman.

Dalam pandangan Islam, bullying jelas merupakan perbuatan haram. Allah SWT berfirman:
Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, boleh jadi mereka yang diperolokkan lebih baik daripada mereka yang mengolok-olok.”
(QS. Al Hujurat: 11)

Ayat ini menjelaskan bahwa merendahkan martabat seseorang, mengejek, maupun melakukan kekerasan verbal adalah tindakan yang dibenci Allah.

Namun kemerosotan moral generasi hari ini tidak muncul begitu saja. Mereka dibentuk oleh sistem kehidupan kapitalisme sekuler, sistem yang menyingkirkan agama dari ruang publik dan menjadikan hawa nafsu sebagai penentu arah hidup. Ketika nilai agama dijauhkan dari pendidikan, keluarga, dan lingkungan, maka runtuhlah kontrol diri. Anak-anak kehilangan pegangan, kehilangan teladan, dan akhirnya kehilangan batas antara benar dan salah.

Sangat berbeda dengan generasi muda pada masa Rasulullah saw. Lihatlah sosok Mus’ab bin Umair. Beliau adalah pemuda tampan, cerdas, dan berasal dari keluarga terpandang. Setelah masuk Islam, Mus’ab dibina dengan akidah yang kuat dan akhlak mulia. Rasulullah saw mengutusnya menjadi duta dakwah pertama ke Madinah. Berkat kecerdasan, kelembutan, dan keteguhannya, hampir seluruh masyarakat Madinah masuk Islam sehingga pintu hijrah terbuka. Mus’ab bahkan dipercaya sebagai panglima dalam Perang Uhud, amanah besar yang menunjukkan kualitas kepemimpinannya.

Pertanyaannya, bagaimana generasi seperti Mus’ab dapat lahir? Jawabannya adalah karena pembinaan Islam berjalan menyeluruh melalui tiga pilar penting, yaitu keluarga, lingkungan masyarakat, dan negara. Tiga pilar ini justru mengalami kerusakan serius dalam sistem sekuler hari ini.

Pertama, keluarga. Banyak keluarga kehilangan fungsinya sebagai madrasah pertama. Orang tua sibuk bekerja, banyak yang bercerai, dan tidak sedikit anak tumbuh tanpa sentuhan kasih sayang. Fenomena fatherless semakin nyata ketika sosok ayah tidak hadir membimbing anak secara emosional maupun spiritual. Padahal Allah Swt. menegaskan peran kepala keluarga dalam QS. At Tahrim: 6:
Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
Ayat ini menunjukkan bahwa ayah adalah pemimpin, penjaga, dan pelindung.

Kedua, lingkungan masyarakat. Lingkungan kini tidak lagi ramah bagi perkembangan moral generasi muda. Tawuran pelajar meningkat, narkoba merajalela, pergaulan bebas menjadi umum, dan konten berbahaya mudah diakses. Bahkan sekolah sering menjadi tempat lahirnya kekerasan. Masyarakat tidak lagi saling mengingatkan, tetapi justru mengabaikan penyimpangan.

Ketiga, negara. Negara tampak tidak mampu menyelesaikan persoalan. Kebijakan publik memberatkan rakyat, sedangkan pendidikan hanya diarahkan mencetak tenaga kerja. Kurikulum tidak dirancang untuk membentuk pemimpin berakhlak dan bertakwa, tetapi sekadar lulusan siap kerja.

Berbeda dengan sistem Islam yang menyatukan peran keluarga, masyarakat, dan negara dalam membentuk generasi. Dalam Islam, orang tua dimudahkan memenuhi kebutuhan hidup sehingga punya waktu membina anak. Masyarakat hidup dengan budaya amar makruf nahi mungkar sehingga penyimpangan dapat ditekan. Negara memberikan pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis dan berkualitas. Sekolah dirancang mencetak generasi berkepribadian islami dengan kurikulum, proses, dan fasilitas yang mendukung lahirnya pemimpin umat.

Karena itu solusi persoalan bullying tidak dapat dibebankan kepada individu semata. Dibutuhkan perbaikan sistem secara menyeluruh. Keluarga harus kembali menjadi madrasah utama, masyarakat harus kembali saling menjaga, dan negara harus menjalankan peran sebagai pengurus rakyat.

Hanya dengan mengembalikan tiga pilar ini pada nilai-nilai Islam, kita dapat berharap melahirkan generasi hebat seperti Mus’ab bin Umair, yaitu generasi cerdas, berakhlak, pemberani, dan siap memimpin dunia. [An]

Baca juga:

0 Comments: