Headlines
Loading...

Oleh: Muslihah
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—“Maling!”

“Pencuri!”

“Pukul! Biar kapok!”

Warga berteriak ketika sebuah sepeda motor matic dicuri dari sebuah rumah kos. Malang bagi sang pencuri, ia tertangkap warga. Mereka beramai-ramai menghajarnya dengan pukulan sampai tak mampu berdiri.

“Woi! Kalian jangan main hakim sendiri!” terdengar seseorang memperingatkan.

Tiba-tiba seseorang menyiramkan cairan sambil berteriak keras:

“Bakar!”

Entah siapa yang melempar api, seketika tubuh pencuri itu dilalap api besar. Semua orang mundur menghindari panasnya.

“Gila! Matikan api!”

“Air, air!”

“Panggil pemadam kebakaran!”

Teriakan terdengar bersahutan. Beberapa orang mencoba menyiramkan air, tetapi api malah semakin membesar.

“Goblok! Basahi kain tebal! Handuk!”

Ketika petugas pemadam kebakaran tiba, api telah padam. Sayangnya, pencuri itu sudah tidak bernapas dalam keadaan sangat mengenaskan.

Polisi datang, tetapi semua telah terlambat. Mereka hanya memasang garis polisi berupa pita kuning mengelilingi lokasi. Warga segera bubar. Tak satu pun berkenan memberikan keterangan. Semua takut menghadapi risiko harus bolak-balik ke kantor polisi. Jenazah korban amuk massa dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara untuk visum sambil menunggu kedatangan keluarga.


Budi menangis meratapi anak bungsunya. Sejak kecil, Raffi tumbuh cerdas dan tidak banyak menuntut. Sejak lulus SD, ia membantu ekonomi keluarga dengan berjualan sempol sepulang sekolah. Setiap hari ia membawa donat buatan ibunya untuk dititipkan di kantin sekolah. Walaupun serba terbatas, ia selalu mendapatkan nilai terbaik. Raffi juga pandai bergaul, sehingga memiliki banyak teman.

Air mata Budi tak henti mengalir mengenang masa hidup putranya. Dirinya yang hanya seorang satpam dengan gaji kecil menggantungkan harapan masa depan pada buah hatinya.

Mahasiswa Bidikmisi semester kedua itu mengalami nasib tragis, dituduh mencuri motor hingga meninggal mengenaskan. Padahal ia tidak bermaksud mencuri. Raffi hanya meminjam motor milik Agus, teman sekelasnya. Pemuda delapan belas tahun itu mengenakan hoodie dan masker karena akan bepergian. Sayangnya, Agus hanya memberikan kunci kontak tanpa mengantar. Sementara itu, dua hari terakhir wilayah itu memang sedang marak pencurian motor.

Tak ayal, warga yang tidak mengenal Raffi, apalagi melihat wajahnya tertutup, langsung menuduh dan meneriakinya. Kemarahan mereka akibat kejadian sebelumnya membuat mereka tidak mau mendengar penjelasan apa pun. Tak sepatah kata pun diberi kesempatan kepada Raffi untuk membela diri.

Budi tidak tahu harus mengadu kepada siapa. Siapa yang bertanggung jawab atas kematian putranya? Betapa besar kezaliman yang harus ia terima. Rasa marah, sedih, dan tidak terima bercampur menjadi satu dan hanya tersisa air mata. Ketika pemakaman, Budi menerima jenazah anaknya di sisi liang lahat. Dengan ketegaran yang dipaksakan, ia menurunkan jasad sang putra sambil menyerahkannya kepada Sang Pemilik Sejati.

“Allah, Gusti, telah Kau panggil pulang putra bungsuku lebih dulu. Ampuni hamba, ampuni dia. Kini hamba kembalikan ia kepada-Mu. Beri hamba kekuatan menerima ketetapan-Mu,” bisiknya lirih.


Malam hari, rumah Budi ramai oleh tetangga yang datang mengirim doa untuk almarhum Raffi. Pada penghujung acara, sebagai pemimpin doa, Pak Rasyid menyampaikan tausiyah.

“Bapak-bapak, ini peristiwa yang wajib kita jadikan pelajaran. Kematian bisa datang kapan saja dan di mana saja. Ia tidak menunggu tua, tidak harus didahului sakit, bahkan terkadang datang pada tubuh yang sehat. Semoga Pak Budi diberi kekuatan dan kesabaran.”

“Saya ikhlas jika ini ketentuan Allah, Pak,” ucap Budi dengan suara serak. “Yang saya sesalkan bukan umurnya yang pendek, tetapi cara matinya. Mengapa harus dalam keadaan terfitnah dan terhina, sementara aparat dan hukum seolah buta? Bagaimana sebenarnya syariat Islam menangani perkara seperti ini?”

Pak Rasyid menjawab dengan membaca ayat-ayat dari Surah An-Nisa’ ayat 92 dan 93, kemudian berkata:

“Demikianlah hukum dan ketentuan Allah. Sayangnya, hari ini hanya tersimpan rapi dalam Al-Qur’an tanpa dilaksanakan. Harus kita akui, hukum kita saat ini jauh dari kata baik.”

Pak Bambang, salah satu jamaah, bertanya, “Bagaimana jika dilakukan oleh orang banyak seperti yang menimpa Raffi?”

“Semua yang terlibat tetap wajib dihukum qishash,” jawab Pak Rasyid. “Tidak ada pengecualian.”

“Lalu bagaimana jika mereka tidak dihukum? Jangankan diqishash atau membayar denda, diproses pun tidak,” tanya Pak Bambang lagi.

“Azab Allah di neraka menanti, kecuali jika mereka menyesal dan bertobat dengan sungguh-sungguh. Allah Maha Pengampun dan Maha Penerima tobat.”

“Bagaimana dengan aparat yang membiarkan dan tidak memproses peradilan? Tidak bertanggung jawabkah mereka?” tanya Pak Bambang lagi.

“Tentu saja mereka juga akan mendapat azab dari Allah, cepat atau lambat. Di akhirat, neraka yang membakar telah menanti. Bukan hanya aparat di polsek ini, tetapi juga atasannya hingga kepala negara. Semua bertanggung jawab di hadapan Allah.”

Hening. Tak ada yang kembali berbicara. Hanya isak tangis Budi yang terdengar tipis di antara doa yang kembali dibacakan.

Sidoarjo, 16 November 2025


Baca juga:

0 Comments: