Ketika Nyawa Tak Lagi Bermakna, Islam Datang sebagai Cahaya
Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Bandung kembali berduka. Jumat (30/10) menjadi saksi bisu ketika seorang remaja berusia 19 tahun ditemukan tewas gantung diri di Flyover Pasupati. Kepolisian Resor Kota Besar Bandung berhasil mengidentifikasi jasad tersebut sebagai KW, warga asal Jawa Barat.
Kapolsek Bandung Wetan, AKP Bagus Yudo, menegaskan pihaknya telah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) secara menyeluruh untuk memastikan penyebab kematian dan motif di balik tindakan tragis ini (Antaranews.com, 1/11/2025).
Namun di balik keterangan resmi itu, tersisa pertanyaan besar: mengapa anak muda berusia 19 tahun memilih mengakhiri hidup di usia semuda itu?
Aktivis muslimah muda, Nadira Aisyah, S.Pd., menyoroti meningkatnya kasus bunuh diri di Indonesia. Berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Bareskrim Polri, angka bunuh diri terus bertambah setiap tahun. Menurutnya, depresi menjadi penyebab utama yang kini menjelma menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius (MuslimahNews.net, 8 Januari 2025).
Fenomena ini menunjukkan betapa rapuhnya kondisi mental generasi muda saat ini. Banyak dari mereka merasa hampa di tengah gemerlap dunia digital, seolah tak punya tempat untuk bersandar ketika beban hidup menekan.
Masalah ini bukan sekadar soal kurangnya layanan konseling atau minimnya dukungan sosial. Lebih dalam dari itu, ini adalah buah dari sistem sekuler-kapitalistik yang menyingkirkan agama dari kehidupan.
Sistem ini mengajarkan bahwa nilai manusia diukur dari harta, penampilan, dan prestasi. Pendidikan yang materialistis membentuk generasi yang hanya mengejar nilai, bukan makna. Anak muda diajarkan cara menjadi sukses, tetapi lupa diajarkan mengapa mereka hidup.
Kapitalisme menanamkan pola pikir individualistis. Keluarga dan masyarakat menjadi longgar dalam ikatan emosional dan spiritual. Hidup sekadar tentang bertahan, bukan tentang beribadah. Akibatnya, saat tekanan datang, banyak yang kehilangan arah.
Buah Pahit dari Sistem Rusak
Kapitalisme menimbulkan jurang sosial yang lebar. Si kaya makin kaya, si miskin makin terpuruk. Pemerintah yang seharusnya melindungi rakyat justru sering terjebak dalam kepentingan korporasi.
Sumber daya alam dikuasai segelintir orang, sementara rakyat dicekik pajak dan kesulitan hidup. Beban hidup meningkat, harga pangan melonjak, lapangan kerja menyempit, dan kemiskinan meluas.
Di tengah situasi ini, negara seolah lepas tangan. Rakyat dibiarkan berjuang sendiri, tanpa perlindungan dan tanpa jaminan. Maka, jangan heran jika banyak jiwa muda yang menyerah. Mereka lelah bukan karena lemah, tetapi karena sistem membuat mereka tak berdaya.
Cahaya Islam
Islam memandang jiwa manusia sebagai amanah suci dari Allah Swt. Hanya Allah yang memiliki kuasa untuk memberikan dan mengambil kembali kehidupan. Karena itu, bunuh diri adalah dosa besar.
Allah Swt. berfirman:
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
(QS An-Nisa [4]: 29)
Rasulullah saw. bersabda:
“Barang siapa yang membunuh dirinya dengan besi, maka besinya itu akan berada di tangannya, menusuk perutnya di neraka Jahanam, kekal di dalamnya selama-lamanya.”
(HR Bukhari dan Muslim)
Islam juga melarang putus asa. Allah Swt. berfirman:
“Janganlah kalian berputus asa dari kasih sayang Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang kafir.”
(QS Yusuf [12]: 87)
Ayat dan hadis ini menegaskan bahwa setiap jiwa berharga dan memiliki tujuan ilahi. Akidah Islam mengajarkan bahwa segala kesulitan adalah ujian, bukan akhir dari segalanya.
Dalam pandangan Islam, penguasa adalah pelindung rakyat. Rasulullah saw. bersabda:
“Imam adalah gembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.”
(HR Bukhari dan Muslim)
Negara wajib menjamin kebutuhan dasar rakyat, berupa pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan, termasuk kesehatan mental. Dalam sistem Islam, kekayaan alam dikelola untuk kepentingan rakyat, bukan korporasi.
Khalifah Umar bin Khattab pernah berjalan malam memeriksa keadaan rakyatnya. Ketika menemukan seorang ibu yang kelaparan, ia sendiri memanggul gandum dari baitulmal. Itulah wujud nyata tanggung jawab pemimpin yang lahir dari akidah, bukan ambisi.
Aktivis muslimah muda Ayu Nailah menegaskan bahwa mengatasi bunuh diri membutuhkan peran negara yang serius, bukan sekadar program konseling atau slogan kesehatan mental. Ia menilai, sistem sekuler-kapitalistik membuat penderitaan rakyat menjadi keniscayaan karena nyawa manusia seolah tak berharga dibanding kepentingan ekonomi (MuslimahNews.net, 24 April 2025).
Berbeda dengan sistem Islam, dalam Islam satu nyawa saja bernilai sangat tinggi.
Allah Swt. berfirman:
“Barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan seluruh manusia.”
(QS Al-Maidah [5]: 32)
Negara dalam Islam menempatkan penyelamatan nyawa sebagai prioritas utama. Pemimpin adalah “perisai” bagi rakyatnya, sebagaimana sabda Nabi saw.:
“Sesungguhnya al-imam (pemimpin) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung dengannya.”
(HR Bukhari dan Muslim)
Penutup
Tragedi di Flyover Pasupati bukan sekadar kasus personal. Ia adalah cermin dari rusaknya sistem kehidupan modern yang kehilangan arah spiritual.
Selama manusia memisahkan agama dari kehidupan, tragedi serupa akan terus berulang, baik di jalan, di kamar kos, di kampus, maupun di rumah-rumah sunyi.
Islam datang membawa harapan. Harapan bahwa hidup bukan sekadar perjuangan mencari materi, tetapi perjalanan menuju ridha Ilahi. Harapan bahwa negara hadir bukan sebagai penguasa, melainkan pelindung jiwa rakyatnya.
Karena sejatinya, hanya dengan kembali kepada Islam secara kaffah, manusia akan menemukan ketenangan, keadilan, dan makna hidup yang sesungguhnya. []
Baca juga:
0 Comments: