Headlines
Loading...
Kekayaan Intelektual Anak Negeri di Tengah Bayang Kapitalisme

Kekayaan Intelektual Anak Negeri di Tengah Bayang Kapitalisme

Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com — Pada Jumat, 24 Oktober 2025, jajaran Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat (Kanwil Kemenkum Jabar) bersama Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat (Disdik Jabar) menggelar rapat koordinasi strategis di Ruang Rapat PKLK Disdik Jabar, Bandung. Pertemuan ini bertujuan menyiapkan sosialisasi hak kekayaan intelektual (KI) secara masif yang menyasar 5.000 satuan pendidikan menengah (SMA/SMK) di Jawa Barat. (jabar.tribunnews.com, 24/10/2025)

Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah mulai menyadari pentingnya melindungi karya siswa, baik karya seni, ilmiah, maupun inovasi teknologi, agar tidak jatuh ke dalam zona abu-abu eksploitasi atau penjiplakan.

Gagasan perlindungan karya siswa ini merupakan hal yang positif. Namun, di balik niat baik tersebut terselip potensi perangkap. Ketika kreativitas siswa diperlakukan sebagai aset ekonomi terlebih dahulu, jiwa pendidikan bisa tergerus oleh logika pasar.

Akademisi dan pengamat sosial ekonomi, Yeni Asropi, Ph.D., menyampaikan kritik tajam, “Jika dikaji lebih mendalam, konsep hak kekayaan intelektual (HKI) yang bersumber dari peradaban Barat ini telah menyebabkan ilmu menjadi barang eksklusif karena tidak bisa diakses oleh semua orang, dan menjadi tambang uang bagi para pemodal.” (Muslimahnews.net, 23/05/2025)

Menurut Yeni Asropi, meskipun secara permukaan sistem HKI, yang mencakup paten dan hak cipta, tampak sebagai angin segar bagi penemu untuk mengamankan hasil pemikirannya, pada praktiknya justru kerap menjerumuskan ilmu ke dalam model komersial semata. Ia mencontohkan bagaimana alat kesehatan yang seharusnya dibutuhkan masyarakat justru dikembangkan oleh swasta dengan hak paten yang membuatnya mahal dan sulit diakses publik.

Dengan latar belakang tersebut, muncul pertanyaan: apakah program edukasi KI bagi siswa benar-benar melindungi, atau justru memperluas logika kapitalisme intelektual? Lalu, bagaimana solusi ideologis berdasarkan nilai Islam yang bisa ditawarkan?

Edukasi KI dan Dominasi Kapitalisme Intelektual

Program edukasi “KI untuk Sekolah” tampak seperti upaya melindungi karya intelektual siswa. Namun, ketika implementasinya tetap berada dalam kerangka pasar dan hak eksklusif, yang terjadi adalah dominasi intelektual ala kapitalisme. Karya siswa mulai dijaga dari penjiplakan, tetapi sekaligus berpotensi menjadi komoditas yang mengikuti mekanisme pasar.

Konsep Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sendiri didefinisikan sebagai hak eksklusif yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atas hasil olah pikirnya, misalnya karya cipta, penemuan, atau merek, untuk melindungi inovasi sekaligus mendorong kemajuan ekonomi. (legalitas.org, 14/06/2024)

Namun, dalam sistem kapitalisme, royalti yang seharusnya menjadi penghargaan bagi pencipta justru sering melahirkan ketidakadilan. Pencipta menerima bagian kecil, sementara industri, manajemen, dan platform digital meraup laba besar.

Di Indonesia, misalnya, regulasi seperti UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta telah dibuat, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan banyak pencipta karya justru kesulitan memperoleh haknya.

Kritik terhadap sistem royalti hanyalah satu sisi. Lebih jauh, sistem HKI yang lahir dari tradisi Barat melalui lembaga seperti World Intellectual Property Organization (WIPO) dan World Trade Organization (WTO) menempatkan karya sebagai harta komersial yang dapat diwariskan, diperjualbelikan, dan dimonopoli. Akibatnya, karya ilmiah atau seni kehilangan makna sosialnya dan lebih banyak dihargai karena nilai finansialnya.

Dalam konteks pendidikan, ketika sekolah diajak melindungi karya siswa dalam kerangka HKI tanpa kajian ideologis, maka kita bisa saja sedang menyiapkan generasi yang kreatif secara teknis, tetapi terikat pada logika pasar. Padahal, tujuan inti pendidikan adalah membebaskan jiwa, menumbuhkan kemanusiaan, dan membentuk karakter.

Jika karya siswa dibingkai sebagai aset bisnis terlebih dahulu, maka pendidikan terancam berubah menjadi roda bisnis, bukan sarana pembebasan.

Solusi Islam: Karya untuk Umat, Bukan untuk Monopoli

Dalam pandangan Islam, hak cipta dan karya intelektual memiliki dimensi yang berbeda. Karya intelektual dapat dibedakan menjadi dua kategori.

Pertama, kepemilikan berwujud seperti cap dagang, logo, atau desain barang, yang boleh dimiliki dan diperjualbelikan karena mengandung nilai materi.
Kedua, kepemilikan pemikiran atau ilmu. Selama ilmu itu tersimpan dalam kepala pemiliknya, maka haknya bersifat pribadi. Namun, ketika ilmu itu sudah diajarkan atau dijual, orang lain bebas memanfaatkannya tanpa harus meminta izin. Yang dilarang adalah mengklaim karya itu sebagai milik sendiri.

Tindakan tersebut didasarkan pada sabda Rasulullah saw., “Barang siapa menipu maka ia bukan termasuk golongan kami.” (HR Muslim)

Dan firman Allah Swt., “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil.” (QS Al-Baqarah: 188)

Dengan demikian, Islam memandang ilmu yang telah diajarkan sebagai manfaat umum, bukan barang yang harus selalu dilisensikan demi keuntungan terbatas.

Rasulullah saw. juga bersabda, “Barang siapa menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti orang yang melakukannya.” (HR Muslim)

Negara dalam pandangan Islam berperan sebagai raa‘in atau pengurus rakyat, bukan pedagang yang memperjualbelikan hasil karya rakyatnya.

Sebagai contoh historis, pada masa Abū al-‘Abbās al-Ma’mūn dari Dinasti Abbasiyah, para penerjemah karya kuno diberi gaji tinggi, sekitar 500 dinar per bulan, sebagai bentuk penghargaan negara terhadap karya ilmiah yang bermanfaat tanpa memonopoli aksesnya.

Begitu pula pada masa Abū Faraj al-Ashfahānī di Andalusia, ia menerima penghargaan besar, yaitu 1.000 dinar emas, atas karyanya Kitāb al-Aghānī.

Model seperti ini menunjukkan bahwa penghargaan terhadap karya tetap ada, namun akses masyarakat tetap terbuka. Karena itu, bagi siswa dan sekolah, penting memastikan bahwa perlindungan karya tidak berubah menjadi mekanisme eksklusif yang menjauhkan kemanfaatan bagi banyak orang.

Penutup

Kerja sama antara Kemenkum Jabar dan Disdik Jabar merupakan langkah awal yang patut diapresiasi. Namun, sekadar seminar atau sertifikasi KI tidaklah cukup. Yang lebih penting adalah menanamkan budaya penghargaan terhadap karya yang menghormati proses, manusia, dan kemanfaatan bersama.

Sekolah-sekolah perlu didorong untuk tidak hanya menghasilkan karya yang terlindungi secara hukum, melainkan karya yang terbuka untuk kemaslahatan. Beasiswa, pendampingan, publikasi, hingga kerja sama industri yang adil merupakan bagian dari ekosistem yang memuliakan kreator tanpa menjebak mereka dalam logika pasar semata.

Semoga langkah strategis ini tidak hanya menjadi simbol, tetapi benar-benar mengubah wajah pendidikan, dari sekadar kompetisi dan komoditas menjadi kolaborasi dan kemanusiaan.

Sesungguhnya, karya siswa adalah cermin masa depan bangsa, dan masa depan itu tidak boleh dilepaskan ke tangan yang hanya melihatnya sebagai aset laba semata. Mari kita jaga karya suci anak negeri dengan cinta, bukan hanya dengan peraturan. [An]

Baca juga:

0 Comments: