Headlines
Loading...
MBG dan Gagalnya Negara Melindungi Generasi

MBG dan Gagalnya Negara Melindungi Generasi

Oleh. Fata Vidari, S.Pd.
(Guru dan Aktivis Peduli Generasi Banyuwangi)

SSCQMedia.Com—Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai salah satu janji kampanye presiden terpilih, kini tengah menjadi sorotan publik. Padahal, sejak awal program ini diharapkan menjadi solusi untuk meningkatkan kualitas gizi anak sekolah dan menekan angka stunting, namun justru menimbulkan kasus keracunan massal di berbagai daerah. Berdasarkan pemberitaan, para siswa mengalami gejala mual, muntah, hingga harus dilarikan ke rumah sakit usai mengonsumsi makanan yang dibagikan melalui program MBG ini.

Dilansir dari regional.kompas.com, 5/09/2025, sebanyak 4000 siswa dilaporkan menjadi korban keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) dalam delapan bulan terakhir, menurut data dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef). 

Sungguh ironis ketika kita berharap program yang seharusnya menjadi bentuk perhatian pemerintah terhadap masa depan generasi penerus, malah menimbulkan ancaman baru terhadap kesehatan mereka. Fakta ini tidak hanya menyayat hati publik, tetapi juga menggambarkan adanya ketidakseriusan negara dalam merancang dan menjalankan program yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Tidak Menyentuh Akar Persoalan

Sejak awal, program MBG telah dikritik oleh berbagai kalangan karena dinilai hanya sebagai pencitraan politik dan tidak berakar pada solusi tuntas atas persoalan gizi buruk dan stunting di Indonesia.

 Beberapa pengamat kebijakan memandang bahwa program ini hanyalah tambal sulam yang dibalut narasi populis, namun minim perencanaan dan pengawasan. Pengamat Kebijakan Sosial, Sirojudin Abbas, berpendapat bahwa langkah Presiden Prabowo yang memilih membagikan makanan bergizi langsung ketimbang menciptakan industri dan lapangan kerja supaya rakyat punya income dirasa kurang tepat. Beliau melanjutkan, kalau mau memberikan anak-anak makanan bergizi, maka seharusnya berikan orang tuanya pekerjaan, membangun industri, dan memberantas korupsi. Karena itu lebih cocok dijadikan kebijakan yang lebih menyentuh skala makro (kedaipena.com, 18/02/2025).

Persoalan gizi buruk dan stunting di Indonesia bukan semata akibat kurangnya asupan makanan, tetapi lebih luas lagi adalah buah dari sistem yang gagal menjamin kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Tingginya angka kemiskinan, rendahnya edukasi gizi, mahalnya harga pangan bergizi, serta buruknya sanitasi adalah faktor-faktor struktural yang tak disentuh oleh program MBG. 

Dengan demikian, menjadikan program MBG sebagai solusi utama untuk menyelesaikan persoalan gizi pada anak sekolah, apalagi mencegah stunting, adalah bentuk ketidaktepatan mengidentifikasi masalah serta tidak menyentuh akar persoalan. Ini adalah pendekatan pragmatis yang justru berpotensi memperburuk keadaan jika tidak dilakukan dengan perencanaan secara menyeluruh dan sistemik.

Dan saat ini terbukti dengan minimnya perencanaan dan pengawasan tersebut, program MBG mulai terlihat menimbulkan permasalahan baru. Makanan yang seharusnya menjadi sumber energi dan nutrisi justru menyebabkan keracunan, itu menunjukkan lemahnya sistem pengaturan yang dibuatnya. Di antaranya aspek distribusi, kontrol kualitas, hingga ketidaksiapan para pelaksana di lapangan, belum lagi upaya-upaya untuk mendapatkan keuntungan pribadi di tengah pelaksanaan program pemerintah.

Kegagalan ini menjadi sinyal bahwa negara telah lalai dalam menjamin hak kesehatan rakyat, khususnya anak-anak. Padahal, perlindungan terhadap generasi muda bukan sekadar soal teknis penyediaan makanan, tetapi menyangkut visi dan tanggung jawab negara dalam membangun manusia yang sehat dan cerdas.

Pandangan Islam

Dalam pandangan Islam, tanggung jawab atas kesejahteraan dan kesehatan rakyat berada di pundak penguasa sebagai ra’in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung mereka). Penguasa bukan sekadar administrator program-program teknis, melainkan penanggung jawab utama dalam memastikan kebutuhan dasar rakyat—termasuk pangan, kesehatan, dan pendidikan––terpenuhi dengan layak. Sistem Islam, sebagaimana yang diterapkan dalam masa kekhilafahan, menjadikan Baitulmal sebagai institusi keuangan negara yang membiayai seluruh kebutuhan rakyat.

Dalam hal gizi dan kesehatan, negara tidak hanya menyediakan makanan bergizi, tetapi juga memastikan masyarakat memiliki akses terhadap pendidikan gizi yang memadai, pelayanan kesehatan berkualitas, serta lingkungan yang sehat.

 Sejarah mencatat bagaimana pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, hampir tidak ditemukan rakyat miskin yang membutuhkan bantuan, karena negara hadir sepenuhnya dalam memenuhi kebutuhan mereka. 

Negara tidak sekadar memberi "ikan", tetapi juga menciptakan sistem yang memungkinkan rakyat sejahtera dan mandiri sehingga bisa memenuhi kebutuhan gizi keluarganya.

Kasus keracunan dalam program MBG bukanlah insiden biasa, melainkan alarm keras bahwa sistem hari ini telah gagal melindungi generasi. Sistem kapitalisme yang melahirkan penguasa-penguasa yang tunduk pada pemilik modal akan senantiasa menciptakan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan mereka. Program-program pragmatis yang mereka buat bukan benar-benar untuk pelayanan terbaik kepada rakyat tetapi hanya menjadi kosmetik politik yang tidak menjawab akar masalah. Mereka butuh sarana pencitraan dengan berbagai macam cara untuk bisa terpilih dan duduk di kursi kekuasaan, bukan untuk membuat kebijakan sesuai aturan Allah namun untuk memuaskan nafsu keserakahan.

Oleh karenanya, dibutuhkan sistem yang berlandaskan ideologi yang benar, yang menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama suatu negara. Ideologi yang benar hanya datang dari Sang Maha Pencipta, sebagai Zat yang paling memahami baik buruknya ciptaan-Nya.

 Islam telah menetapkan bahwa negara harus menjalankan fungsinya sebagai pengurus rakyat melalui mekanisme syariat Allah. Hanya dengan penerapan sistem Islam secara kafah, kesejahteraan akan tercapai, dan hak-hak dasar rakyat—termasuk gizi dan kesehatan anak-anak—dapat dijamin secara menyeluruh dan berkelanjutan. [An]

Baca juga:

0 Comments: