Oleh. Embun Cattleya
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Penat ini telah berbisik lirih
Menyentuh relung yang nyaris kering makna
Langkah menapak terlalu jauh
Tawa dan air mata pun kehilangan warna
Barangkali, bahagia telah memilih jalan lain
Cukup sudah pantai tak lagi merayu ombak
Matahari meredup bagai lampu yang lelah berjuang
Awan dengan rakus yang sopan menelan bulan
Bintang pun bersembunyi di baliknya, malu dan takut
Betapa ganjil, matahari yang perkasa pun bisa redup
Bintang gemerlap kini takut bersinar
Bulan yang lembut malah rela dimakan kelam
Hai, matahari,
mana janjimu untuk setia menerangi bumi?
Wahai, bulan,
masihkah mampu menjaga indah malam tenteram?
Mengapa bintang pun tetiba kehilangan keberanian?
Bahkan sekadar berkedip pun enggan
Rupanya alam sedang bersedih
Atau barangkali malu melihat manusia mengaku bijak, namun gemar menistakan yang suci
Nyatanya, nista bukan untuk dipamerkan
Cukup ditutup dengan marwah
Diperindah dengan kesetiaan iman
Lalu, datanglah sunyi
Sepi menyelimuti ruang batin
Kosong menjadi teman paling jujur
Malam pun berubah menjadi kanvas hitam
Tempat setiap doa dan kecewa dilukis tanpa warna
Diri gentar kehilangan rasa
Jiwa perlahan terkulai oleh sombong yang samar
Iman retak di antara riuh dunia
Namun, naluri masih mencoba menggapai
remah kemurahan Ilahi yang berserak di antara takdir
Di situlah diri menegur alam dengan nada pasrah
Bukan lagi dengan amarah
Melainkan dengan rindu ingin dimengerti
Sebab, bahagia bukan hasil perlawanan
Melainkan buah kepasrahan
Ketika diri tenggelam dalam hening menuju-Nya
Segala teguran berubah menjadi tasbih
Setiap kelam menjadi cahaya yang pulang pada sumbernya
Bandung, 13 Oktober 2025
[CF]
Baca juga:
0 Comments: