Headlines
Loading...

Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com — Air merupakan unsur yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Walaupun terlihat melimpah dan seolah tersedia tanpa biaya di alam, pengelolaannya ternyata tidaklah mudah.

Dalam video yang diunggah di kanal resminya, Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), menemukan bahwa air untuk produksi salah satu perusahaan besar ternyata berasal dari air tanah dalam yang diambil melalui pengeboran artesis lebih dari 100 meter, bukan dari mata air alami di permukaan. (metapos.id, 22/10/2025)

Dalam sidak tersebut, KDM mempertanyakan etika eksploitasi air tanah secara masif oleh perusahaan besar untuk kepentingan industri minuman kemasan. Temuan ini menimbulkan pertanyaan besar: siapa yang sebenarnya berhak atas air — rakyat atau korporasi?

KDM menilai, pengambilan air dalam jumlah besar dari sumur artesis dapat mengganggu ketersediaan air bagi warga sekitar. Fakta lapangan ini membuka mata bahwa pengelolaan sumber air di negeri ini belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan publik.

Air seharusnya menjadi milik bersama, bukan komoditas dagang. Namun, dalam sistem ekonomi saat ini, air telah dijadikan barang ekonomi. Privatisasi sumber daya air (SDA) membuat kendali atas air berpindah ke tangan pihak swasta. Akibatnya, air berubah dari hak publik menjadi objek bisnis yang berorientasi pada keuntungan.

Sementara itu, dampak privatisasi air terbukti fatal. Menurut data Tempo.co, privatisasi air di Jakarta menimbulkan kerugian negara hingga Rp1,4 triliun, dan berpotensi mencapai Rp18 triliun bila kontrak dijalankan penuh. Akibatnya, harga air melonjak tajam hingga mencapai Rp7.800 per meter kubik, padahal kualitasnya belum layak untuk diminum langsung.

Kenyataan ini mencerminkan kegagalan negara dalam menjalankan perannya sebagai pengurus kepentingan rakyat. Alih-alih melindungi hak dasar masyarakat, negara justru bertindak layaknya pedagang yang memperjualbelikan kebutuhan hidup orang banyak.

Paradigma Kapitalisme: Air Jadi Barang Ekonomi

Jika kita melihat kebijakan air di Indonesia, tampak jelas paradigma yang digunakan adalah paradigma kapitalisme. Pemerintah mengundang investor asing maupun domestik untuk mengelola air, seolah menyerahkan tanggung jawabnya.

Dalam logika kapitalisme, air dilihat sebagai komoditas ekonomi, bukan barang publik. Negara bahkan menjadikan krisis air sebagai peluang bisnis. Padahal, air bukan milik korporasi. Air adalah amanah publik.

Ketika perusahaan diberi izin menguasai sumber air, maka secara tidak langsung rakyat miskin kehilangan akses terhadap sumber kehidupan. Ini merupakan bentuk ketidakadilan struktural.

Pandangan dan Solusi Islam terhadap Pengelolaan Air

Dalam pandangan Islam, air merupakan hak umum yang tidak boleh diperdagangkan. Rasulullah saw. bersabda:

“Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.”
(HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Hadis ini menegaskan bahwa air tidak boleh dimiliki pribadi atau korporasi. Air adalah milik umum yang wajib dikelola negara demi kepentingan rakyat.

Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Anbiya [21]: 30:

“Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup.”

Ayat ini menegaskan bahwa air adalah sumber kehidupan, dan penguasa berkewajiban menjamin ketersediaannya.

Karena itu, negara seharusnya berperan sebagai raa‘in (pengurus rakyat), bukan sebagai pelaku bisnis. Kaidah fikih menyebutkan:

Mā lā yatimmu al-wājibu illā bihī fa huwa wājib
(Sesuatu yang menjadi sarana bagi terlaksananya kewajiban, maka hukumnya juga wajib).

Artinya, jika air dibutuhkan untuk kelangsungan hidup dan pelaksanaan kewajiban (seperti ibadah dan kesehatan), maka menyediakan air menjadi kewajiban negara.

Pada masa Rasulullah saw., pengelolaan sumber air dilakukan secara kolektif di bawah tanggung jawab negara agar seluruh masyarakat dapat menikmati hak mereka tanpa hambatan.

Penutup

Sidak KDM menjadi peringatan keras bahwa krisis air bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga soal moral dan paradigma pengelolaan.

Ketika air dipandang sebagai komoditas ekonomi, rakyat miskin akan terus kehilangan hak dasarnya. Namun, jika air dikelola dengan paradigma Islam yaitu sebagai amanah publik, maka keadilan dan keberlanjutan bisa tercapai.

Sudah saatnya negara kembali menjadi pengurus (raa‘in), bukan pedagang. Air adalah sumber kehidupan, bukan sumber keuntungan.

Wallahualam. [An]

Baca juga:

0 Comments: