Headlines
Loading...
KDRT dan Kekerasan Remaja: Buah dari Negeri Salah Arah

KDRT dan Kekerasan Remaja: Buah dari Negeri Salah Arah

Oleh: Ummu Amar Ma'ruf
(Peneliti dan Pengembang Masyarakat)

SSCQMedia.Com—Kekerasan dalam rumah tangga kian marak terjadi. Hal ini mencerminkan rapuhnya ketahanan keluarga Indonesia. Sistem kapitalisme memiliki andil besar dalam fenomena KDRT. Hanya sistem yang sahih yang mampu menghadirkan keluarga bahagia dan bertakwa.

KDRT tidak sekadar berupa kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan psikis, seksual, dan ekonomi. KDRT dapat memperburuk kesehatan mental dan fisik korban serta mengganggu perkembangan anak yang pada akhirnya memengaruhi keharmonisan keluarga (Goodstats.id, 14 September 2025).

Temuan Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) menunjukkan bahwa kasus KDRT dari Januari hingga September 2025 mengalami peningkatan. Lebih dari seribu kasus terlapor setiap bulan. Angka tersebut hanya yang tercatat; boleh jadi lebih banyak kejadian yang tidak diketahui atau tidak dilaporkan.

Meskipun negara telah menetapkan sanksi pelanggaran tindak kekerasan dalam keluarga melalui UU PKDRT, aturan tersebut belum menimbulkan efek jera maupun mencegah kekerasan serupa terulang. Bahkan, kasusnya semakin menjamur dalam bentuk yang makin beragam.

Pangkal Kerapuhan Keluarga

Dilihat dari fakta yang terjadi, kekerasan dalam rumah tangga kerap dilakukan oleh ayah sebagai kepala keluarga, meskipun sebagian kasus juga dilakukan oleh ibu bahkan anak. Hal ini disebabkan lemahnya kondisi individu, mulai dari lemahnya pemahaman tentang benar dan salah hingga lemahnya keimanan dan ketakwaan.

Sekularisme—paham yang memisahkan agama dari kehidupan—dan liberalisme—yang menjunjung kebebasan mutlak—menjadikan manusia tidak memahami hakikat hidup: dari mana ia berasal, untuk apa ia hidup, dan ke mana ia akan kembali. Akibatnya, rumah yang seharusnya menjadi tempat saling menjaga justru berubah menjadi tempat saling melukai.

Paham materialistis, buah dari sistem kapitalistis, menjadikan materi sebagai standar utama. HAM sering dijadikan tameng untuk berbuat semaunya. Di sisi lain, pendidikan Islam sebagai kebutuhan dasar dalam membangun keluarga justru dipinggirkan dan digantikan oleh pendidikan bercorak Barat yang tampak modern tetapi meruntuhkan pondasi keimanan.

Seharusnya masyarakat menyadari bahwa apa yang terjadi hari ini merupakan akibat dari gaya hidup rusak yang dihasilkan oleh sistem hidup yang menjunjung tinggi kebebasan dan memisahkan agama dari kehidupan.

Sistem Rusak Menghasilkan Manusia Rusak

Sangat miris hidup di alam sekuler-liberal-kapitalis hari ini. Selain menghasilkan individu yang apatis dan bermental rapuh, masyarakat dipaksa meyakini bahwa uang adalah sumber kebahagiaan. Masalah ekonomi kerap disinyalir sebagai faktor dominan penyebab banyaknya kasus kekerasan. Padahal, banyak persoalan masih dapat diselesaikan dengan cara baik-baik.

Benarlah perkataan Imam Ali ra., “Sungguh kemiskinan mendekati kekufuran.” Kemiskinan di sini bukan hanya miskin harta, tetapi juga miskin ilmu yang jauh lebih berbahaya. Semua ini berakar dari hilangnya peran agama sebagai pedoman hidup individu dan keluarga sehingga tindakan manusia makin jauh dari fitrahnya.

Kehidupan kapitalis-sekuler ibarat bom waktu yang meledak dan menjalar bak kanker yang menggerogoti fitrah dan keimanan manusia. Meskipun negara tampak hadir melalui UU PKDRT, sanksi tersebut tidak menimbulkan efek jera karena lemahnya pengawasan negara dan kurangnya kepedulian masyarakat. Akibatnya, kasus KDRT terus berulang dalam berbagai bentuk.

Keimanan sebagai Fondasi Perilaku

Dalam Islam, pendidikan merupakan hak dasar setiap individu. Seharusnya negara menjadikan penanaman akidah yang benar dan pendidikan syariat sebagai fondasi pembentuk kepribadian takwa yang mengharap rida Allah semata.

Rasulullah saw. mencontohkan hal ini ketika memberikan guru bagi para tawanan perang, sehingga banyak dari mereka akhirnya masuk Islam. Pada masa peradaban Islam, banyak ilmuwan, ulama, dan cendekiawan lahir sebagai mercusuar keilmuan.

Syariat Islam telah terbukti menjadi benteng pertahanan keluarga yang kuat. Salah satunya tampak dalam kisah gadis yang dipinang Umar bin Khattab untuk anaknya. Ketika sang ibu hendak mencampur susu dengan air, sang anak menegurnya, “Takutlah kepada Allah. Meskipun khalifah tidak melihat, tetapi Allah Maha Melihat.” Umar yang saat itu sedang berkeliling memastikan rakyatnya tidak kelaparan kagum terhadap kejujuran gadis tersebut. Inilah potret keluarga saleh sebagaimana perintah Allah dalam Surah At-Tahrim ayat 6 agar menjaga diri dan keluarga dari api neraka dengan saling menasihati dalam kebenaran dan mencegah kemungkaran.

Negara dalam Islam memastikan rakyat mendapatkan hak-haknya dan mampu melaksanakan kewajibannya. Hal ini terbukti dari eksistensi Khilafah selama berabad-abad dengan minimnya tindakan pelanggaran. Sanksi dalam Islam juga menimbulkan efek jera karena terbentuknya ketakwaan individu, kepedulian masyarakat, serta pengawasan tegas dari negara.

Wallahualam bissawab. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: