Headlines
Loading...
Fenomena Bunuh Diri Pelajar, Buah Pahit dari Sistem Sekuler

Fenomena Bunuh Diri Pelajar, Buah Pahit dari Sistem Sekuler

Oleh: Verawati, S.Pd.
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com — Ibarat bunga yang baru mekar, anak-anak usia SMP berada pada masa peralihan. Masa ketika mereka mulai mengenal dunia luar, menjalin pertemanan baru, dan membangun jati diri. Namun, siapa sangka di usia seindah itu ada anak-anak yang justru memilih mengakhiri hidupnya? Pilihan tragis yang seharusnya tidak pernah terlintas di benak mereka. Bukankah pikiran seperti itu biasanya muncul pada orang dewasa yang kelelahan oleh beratnya hidup?

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Seberapa berat kehidupan yang baru mereka jalani hingga mereka merasa tidak sanggup melanjutkannya?

Pertanyaan itu menggantung, sementara fakta berbicara: kasus bunuh diri di kalangan pelajar terus meningkat. Dalam sepekan terakhir, dua siswa SMP di Jawa Barat ditemukan meninggal dunia diduga akibat bunuh diri, masing-masing di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi (kompas.com, 30/10/2025). Fenomena ini menjadi alarm serius bagi orang tua, sekolah, dan masyarakat untuk lebih peka terhadap kondisi psikologis anak-anak.

Kasus serupa juga terjadi di Sawahlunto, Sumatra Barat. Dalam waktu sebulan, dua pelajar SMP melakukan hal yang sama. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa kondisi mental generasi muda kita tidak sedang baik-baik saja.

Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengungkapkan bahwa dua juta anak Indonesia mengalami gangguan mental. Data ini diambil dari hasil pemeriksaan kesehatan jiwa gratis pemerintah dalam rangka Hari Kesehatan Jiwa Sedunia di Tangerang, Kamis (30/10) (antaranews.com). Angka tersebut bukan sekadar statistik, melainkan potret rapuhnya generasi yang sedang tumbuh di tengah tekanan kehidupan modern.

Akar Masalah: Sistem Hidup yang Salah Arah

Gangguan mental yang dialami anak-anak tidak muncul tiba-tiba. Ia merupakan buah dari sistem kehidupan yang salah arah, yang melahirkan ketimpangan, stres, dan kehampaan makna.

Sistem kapitalisme, demokrasi, dan liberalisme yang diterapkan saat ini menempatkan kebahagiaan pada ukuran materi. Akibatnya, lahir kesenjangan sosial yang lebar antara si kaya dan si miskin. Kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang yang menguasai sumber daya alam, sementara rakyat kecil terus berjuang sekadar untuk bertahan hidup.

Anak-anak tumbuh dalam lingkungan penuh tekanan: orang tua sibuk mencari nafkah, rumah kehilangan kehangatan, angka perceraian meningkat, dan gaya hidup konsumtif terus dipertontonkan. Di sisi lain, media sosial membanjiri mereka dengan konten berbahaya, termasuk konten yang menormalisasi bahkan mengajarkan cara bunuh diri. Ada pula komunitas daring yang mendorong “sharing bunuh diri”, ironi besar di era digital yang diklaim membawa kemajuan.

Pada saat yang sama, pendidikan yang diterapkan saat ini bersifat sekuler. Nilai-nilai agama hanya diajarkan sebatas dua jam pelajaran seminggu. Padahal, agama seharusnya menjadi fondasi pembentuk mental dan moral anak. Akibatnya, banyak anak kehilangan arah hidup dan makna keberadaannya.

Islam Menawarkan Solusi Menyeluruh

Islam memiliki cara pandang yang sangat berbeda terhadap manusia, kehidupan, dan kebahagiaan. Dalam Islam, keluarga adalah madrasah pertama bagi anak. Di sanalah anak belajar tentang kasih sayang, tanggung jawab, dan nilai-nilai kebenaran. Orang tua bukan sekadar penyedia kebutuhan materi, tetapi juga pendidik akhlak dan penuntun spiritual.

Selain keluarga, masyarakat dan negara memiliki peran besar dalam menjaga dan mengawasi generasi. Negara dalam sistem Islam (Khilafah) berkewajiban menciptakan lingkungan yang sehat, sistem pendidikan yang benar, serta menjamin pemenuhan kebutuhan dasar setiap warganya. Dengan demikian, anak-anak tumbuh dalam suasana yang stabil, penuh kasih, dan memiliki tujuan hidup yang jelas.

Sistem pendidikan Islam berfokus pada pembentukan pola pikir dan pola sikap Islami sehingga terbentuk kepribadian yang kokoh. Sejak kecil, anak diajarkan mengenal Sang Pencipta dan memahami makna kehidupan. Setelah balig, mereka diarahkan untuk menjadi pribadi yang akil—yakni dewasa dalam berpikir dan bertindak berdasarkan syariat.

Pendidikan dalam Islam bukan hanya mencetak manusia cerdas, tetapi juga berkepribadian Islam. Kurikulumnya memadukan penguatan karakter islami dengan penguasaan ilmu pengetahuan. Dengan cara ini, siswa mampu menghadapi persoalan hidup dengan pandangan syar‘i, bukan dengan keputusasaan.

Lebih dari itu, penerapan sistem Islam secara kafah dapat mencegah timbulnya gangguan mental. Islam menjamin kebutuhan pokok rakyat—pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan—sehingga tidak ada tekanan ekonomi berlebihan. Islam juga menjaga keharmonisan keluarga melalui aturan pernikahan dan peran ayah-ibu yang jelas. Selain itu, Islam memberikan arah hidup yang pasti, bahwa kehidupan dunia hanyalah ujian menuju kebahagiaan hakiki di akhirat.

Penutup

Fenomena meningkatnya kasus bunuh diri di kalangan pelajar bukan sekadar masalah individu, melainkan cerminan kerusakan sistemik dalam masyarakat. Selama sistem kapitalisme-sekuler tetap menjadi landasan hidup, generasi muda akan terus terancam kehilangan arah dan makna hidup.

Sudah saatnya kita kembali kepada sistem Islam, sistem yang menempatkan iman sebagai dasar berpikir, keluarga sebagai fondasi utama pendidikan, dan negara sebagai pelindung generasi. Hanya dengan cara itu kita mampu menyelamatkan anak-anak bangsa dari krisis mental yang kian mengkhawatirkan. Mereka adalah bunga bangsa, bukan korban dari sistem yang salah arah. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: