Oleh: Pudji Arijanti
(Pegiat Literasi untuk Peradaban)
SSCQMedia.Com—Kasus bullying (perundungan) kembali menjadi sorotan. Seorang santri di Aceh Besar sengaja membakar asrama Pondok Pesantren Babul Maghfirah lantaran sakit hati karena sering dihina oleh teman-temannya. Tekanan mental yang ia pendam mendorongnya melakukan aksi balas dendam dengan membakar asrama agar barang-barang teman yang mem-bully ikut musnah. Ia akhirnya dijerat Pasal 187 KUHP. Namun, karena masih di bawah umur, proses hukum dilakukan melalui Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) (BeritaSatu, 8 November 2025).
Di Jakarta, seorang siswa SMA Negeri 72 juga ditetapkan sebagai tersangka kasus ledakan di lingkungan sekolah. Polisi mendalami bahwa tindakannya berkaitan dengan tekanan sosial yang ia alami, termasuk dugaan bullying. Siswa tersebut dikenal pendiam dan tertutup. Hal ini menunjukkan karakter umum korban perundungan yang memendam luka psikologis dalam waktu lama.
Fakta Mengerikan
Dua kasus ini menunjukkan bahwa bullying bukan sekadar persoalan individual, tetapi telah menjadi problem sistemik dalam dunia pendidikan. Lingkungan sekolah gagal membina akhlak, abai terhadap kekerasan sosial, serta membiarkan tumbuh budaya saling merendahkan. Akhirnya melahirkan generasi yang rapuh secara mental dan emosional. Remaja yang terus menerus menerima tekanan akhirnya meledak dalam bentuk tindakan destruktif karena tidak menemukan ruang aman untuk perlindungan dan pembinaan karakter.
Media sosial juga turut memperburuk keadaan. Kekerasan verbal dan fisik dinormalisasi sebagai candaan, sehingga remaja terbiasa menjadikan penghinaan sebagai bahan lucu-lucuan. Pada saat yang sama, platform digital dipenuhi konten pembalasan dan kekerasan serius yang dapat ditiru oleh remaja yang terluka secara emosional. Mereka melihat aksi negatif sebagai solusi ketika tidak punya tempat untuk mengadu atau tidak dibina dengan nilai moral yang benar.
Jika demikian, sistem pendidikan hari ini telah gagal membentuk kepribadian Islam pada generasi. Sebab, sistem pendidikan diarahkan untuk mengejar target materi, kompetisi akademik, dan tuntutan pasar. Adab dan akhlak hanya menjadi jargon sambil lalu, bukan fondasi pembentukan insan mulia. Akibatnya, generasi tumbuh tanpa fondasi ruhiyah yang kokoh, sehingga mudah terombang-ambing oleh budaya permisif dan tekanan sosial.
Karakteristik Pendidikan Islam
Dalam Islam, pendidikan bertujuan membentuk kepribadian Islam (syakhsiyah islamiyah). Proses pendidikan dijalankan melalui pembinaan intensif guna membentuk pola pikir dan pola sikap islami. Terdapat keseimbangan antara nilai materi berupa pengetahuan, nilai maknawi berupa hikmah dan tujuan belajar, serta nilai ruhiyah yakni kesadaran bahwa seluruh aktivitas manusia berada dalam pengawasan Allah.
Tentu saja tujuan ini tidak mungkin terwujud apabila sistem yang menaungi masyarakat tetap sekuler, karena orientasinya pragmatis dan materialistik.
Sebaliknya, dalam sistem Islam, negara (Khilafah) wajib menjadi penjamin utama pendidikan, pembinaan moral umat, serta perlindungan generasi dari kezaliman sosial. Negara bertugas mencetak manusia bertakwa, berilmu, dan beradab, bukan sekadar tenaga kerja murah untuk kebutuhan pasar. Kurikulum, guru, suasana sekolah, hingga regulasi negara semuanya disinergikan untuk menjaga kemurnian akidah dan membentuk karakter generasi yang kokoh secara intelektual maupun emosional.
Secara hakiki, pendidikan Islam menekankan pembinaan intensif, bukan sekadar transfer pengetahuan. Pembinaan ini membangun aqliyah dan nafsiyah Islamiyah sehingga cara berpikir, memandang masalah, dan merespons realitas selalu terikat pada syariat.
Pendek kata, kurikulum pendidikan dalam sistem Khilafah wajib berbasis akidah Islam. Dengan akidah sebagai asas, seluruh mata pelajaran diarahkan untuk memperkuat iman dan membentuk pola pikir syar‘i. Adab menjadi dasar pendidikan, bukan pelengkap. Inilah yang membuat generasi memiliki kemuliaan akhlak, stabilitas emosi, dan keteguhan karakter.
Selama pendidikan berada dalam kerangka kapitalisme sekuler, kasus bullying dan tindakan destruktif remaja akan terus berulang. Islam menawarkan solusi komprehensif melalui kurikulum berbasis akidah, pembinaan karakter yang terintegrasi dengan keimanan, serta negara yang bertanggung jawab menjaga moral dan akhlak masyarakat.
Kini saatnya umat kembali kepada Islam sebagai sistem kehidupan paripurna. Sistem wahyu yang telah diperjuangkan Rasulullah dan dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin. Hanya dengan kembali pada aturan Allah, generasi dapat diselamatkan dari krisis moral yang mengkhawatirkan dan diarahkan menuju peradaban mulia nan agung.
Wallahu a‘lam bishshawab. [ry]
Baca juga:
0 Comments: