Izin Tambang Terbit, Siapa yang Diuntungkan?
Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Pemerintah Provinsi Jawa Barat kembali memberikan izin usaha pertambangan (IUP) setelah melewati tahapan evaluasi yang mendalam dan proses yang cukup panjang. Total ada 76 IUP yang dikeluarkan oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Barat. Sebagian besar merupakan izin perpanjangan, bukan izin baru.
Langkah ini mendapat apresiasi dari Anggota Komisi IV DPRD Jawa Barat, Uden Dida Efendi, yang juga tergabung dalam Panitia Khusus (Pansus) Pertambangan. Ia menilai, penerbitan izin tersebut menunjukkan kemajuan dalam penataan sektor pertambangan di Jawa Barat (detik.com, 31 Oktober 2025).
Namun di balik kabar gembira itu, muncul pertanyaan besar. Apakah penambangan ini benar-benar akan membawa kesejahteraan rakyat, atau justru memperpanjang derita bagi bumi dan manusia yang tinggal di atasnya?
Langkah pemerintah memperpanjang izin tambang memang terlihat sebagai upaya penataan dan kepastian hukum. Namun bagi rakyat yang tinggal di sekitar area tambang, ini kerap berarti ancaman baru bagi ruang hidup mereka.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menegaskan bahwa baik tambang legal maupun ilegal sama-sama membawa malapetaka bagi penduduk setempat. Mereka menilai, hampir semua perusahaan tambang di Indonesia melakukan praktik yang merugikan rakyat, merampas tanah tanpa izin, menebangi hutan, mencemari sungai, dan merusak ekosistem.
“Masalah bukan semata legal atau ilegal, tetapi watak predatoris industri tambang yang mendapat perlindungan negara,” tegas Jatam dalam pernyataannya (MuslimahNews.net, 10 Oktober 2025).
Dari sini jelas bahwa legalitas tidak selalu berarti keadilan. Kadang, surat izin hanyalah lembar sah pembenaran atas eksploitasi yang dilegalkan.
Tambang dalam Bayang Kapitalisme
Dalam sistem kapitalisme, tambang tidak lagi dilihat sebagai sumber daya milik rakyat, melainkan komoditas bisnis. Negara bukan pelindung, melainkan fasilitator kepentingan korporasi. Sumber daya alam yang sejatinya milik bersama berubah menjadi ladang cuan bagi segelintir pemodal.
Sejarah mencatat, akar liberalisasi tambang di Indonesia tumbuh subur sejak masa Orde Baru. Beberapa regulasi menjadi pintu masuknya, antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, dan Ketetapan MPRS Nomor XXIII Tahun 1966 tentang Pemanfaatan Modal dan Teknologi Asing.
Dari sinilah lahir praktik yang mengubah orientasi negara. Negara menjadi penjaga kepentingan investor, bukan pengurus kemakmuran rakyat.
Banyak tambang legal justru meninggalkan luka. Sungai mengering, tanah longsor, udara penuh debu batu bara. Di satu sisi rakyat kehilangan lahan dan sumber air, di sisi lain laporan keuangan perusahaan justru membubung.
Seketat apa pun pengawasan dan sebanyak apa pun izin yang diterbitkan, jika sistem ekonomi kapitalistik tetap digunakan, hasilnya sama saja. Alam dieksploitasi, rakyat dikorbankan.
Selama sistem ini berdiri, predator tambang akan terus beregenerasi, berganti nama, dan bersembunyi di balik janji pembangunan. Di mana ada potensi cuan, di situ moral dan ekologi sering dikorbankan.
Islam, Paradigma Keadilan Alam dan Rakyat
Islam memandang tambang sebagai harta milik umum yang wajib dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan tambang kepada swasta, apalagi asing.
Rasulullah saw. bersabda
“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.”
(HR Abu Dawud)
Hadis ini menjadi fondasi kuat bahwa kekayaan alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak boleh dimonopoli oleh individu. Negara berkewajiban mengelolanya dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat.
Ketika Abu Dzar al-Ghifari memprotes para pejabat yang menimbun emas dan perak, ia mengingatkan firman Allah Swt.
“Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritakanlah kepada mereka azab yang pedih.”
(QS. At-Taubah: 34–35)
Inilah prinsip keadilan Islam bahwa kekayaan adalah amanah, bukan alat eksploitasi.
Negara dalam sistem Islam tidak memberi izin kepemilikan atas tambang besar kepada individu. Negara hanya memberi izin pengelolaan terbatas bagi tambang kecil.
Syekh Abdul Qadim Zallum dalam Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah menjelaskan bahwa seluruh hasil tambang besar harus diserahkan ke baitulmal untuk dikelola bagi kepentingan umat.
Prinsip ini memastikan tidak ada kesenjangan antara penguasa dan rakyat, antara pemilik modal dan buruh tambang. Hasil kekayaan alam diputar untuk kemaslahatan bersama, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur rakyat.
Allah Swt. berfirman
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.”
(QS. Al-A‘raf: 56)
Pengelolaan tambang dalam bingkai Islam bukan hanya bicara keuntungan ekonomi, tetapi juga keberlanjutan dan kemaslahatan. Negara wajib menindak tegas siapa pun yang merusak alam dan mengkhianati amanah publik.
Sistem kapitalistik mungkin bisa memberi izin dan membangun gedung tinggi, tetapi hanya Islam yang mampu menegakkan keadilan sejati, yakni menjaga bumi, memuliakan manusia, dan menegakkan amanah atas kekayaan yang dititipkan Allah Swt.
Kini bumi menunggu bukan sekadar pengawasan, tetapi pertobatan sistemik.
Pertobatan dari keserakahan menuju keadilan. Pertobatan dari kapitalisme menuju Islam kaffah. [My]
Baca juga:
0 Comments: