Islam Menjaga Kehormatan Remaja: Solusi Nyata Kekerasan Seksual dan Pergaulan Bebas
Oleh: Shafna Aulia Yardha, S.Pd
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Kementerian Agama (Kemenag) telah mengambil langkah proaktif dalam bidang pendidikan dengan meluncurkan Modul Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja (PKRR) pada 26 September 2025. Modul ini dikembangkan bersama Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI) dan ditujukan untuk mendukung pelatihan daring bagi guru madrasah di seluruh Indonesia.
Dengan laporan pendaftaran mencapai 40.086 guru hingga September 2025, peluncuran ini menunjukkan antusiasme tinggi, sejalan dengan harapan Kemenag untuk memperkuat literasi kesehatan reproduksi berbasis ajaran Islam. (Kemenag.go.id, 26 September 2025)
Tujuan utama modul ini adalah memberikan pemahaman tentang kesehatan reproduksi sekaligus menjadi benteng pencegahan terhadap berbagai masalah sosial kontemporer, seperti pernikahan dini, kekerasan seksual, serta fenomena takut menikah (fear of commitment) dan child free.
Potret Sosial dan Tantangan Generasi Muda
Upaya Kemenag ini dinilai relevan mengingat tantangan sosial yang dihadapi generasi muda. Data GoodStats (30 Oktober 2025) menunjukkan adanya penurunan signifikan angka pernikahan di Indonesia pada tahun 2024. Angka tersebut mencapai titik terendah dalam satu dekade terakhir, turun 6,3% menjadi 1,48 juta pernikahan.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengaitkan tren ini dengan faktor pendidikan, kondisi finansial, dan tempat tinggal. Peningkatan status sosial dan urbanisasi cenderung berkorelasi dengan usia pernikahan yang semakin mundur.
Selain itu, fenomena child free juga menjadi sorotan. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS yang dilansir dari bps.go.id (12 November 2024), tercatat 71.000 perempuan Indonesia memilih untuk tidak memiliki anak, dan persentase ini terus meningkat dalam empat tahun terakhir.
Meskipun sempat menurun di awal pandemi COVID-19, lonjakan berikutnya memunculkan dugaan bahwa kondisi finansial yang memburuk telah mendorong banyak perempuan, khususnya di Pulau Jawa, menunda atau memutuskan untuk child free.
Ironisnya, keputusan untuk menunda atau tidak menikah, bahkan memilih child free, tidak berbanding lurus dengan penurunan kasus kekerasan seksual.
Laporan terbaru Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama Komnas Perempuan melalui Simfoni PPA menunjukkan tingginya angka kekerasan: mencapai 14.039 kasus terhadap perempuan dan anak hingga 3 Juli 2025. Angka ini melonjak lebih dari 2.000 kasus hanya dalam waktu 17 hari dan diperkirakan jauh dari kenyataan sesungguhnya karena banyak korban memilih untuk tidak melapor.
Bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi pun beragam, mulai dari ancaman daring, pelecehan seksual, hingga penyebaran konten negatif dan pelanggaran privasi.
Akar Masalah yang Sebenarnya
Menyikapi kompleksitas masalah ini, sejumlah pihak menyoroti akar permasalahan yang lebih mendasar, yaitu penerapan sistem kehidupan sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan.
Pandangan kritis tersebut menilai bahwa pemberian pendidikan kesehatan reproduksi, meskipun berlabel Islami, akan sulit memecahkan masalah sosial jika tidak dibarengi dengan penanaman akidah yang kuat serta pengenalan hukum syara (halal dan haram) sebagai standar perbuatan. Tanpa itu, dikhawatirkan apa yang diajarkan hanya akan menjadi teori belaka.
Cukupkah Modul sebagai Solusi?
Kekerasan seksual dan masalah sosial lainnya niscaya akan terus bertambah selama media-media yang mengandung pornografi, pornoaksi, dan pergaulan bebas dibiarkan subur oleh negara.
Karena itu, modul kesehatan reproduksi yang Islami saja dinilai tidak cukup untuk membendung arus kerusakan sosial yang masif saat ini.
Solusi tuntas atas masalah sosial sejatinya telah disediakan secara sempurna oleh syariat Islam. Islam mengatur berbagai aturan pergaulan yang bertujuan menjaga kehormatan remaja dan menjauhkan mereka dari rangsangan seksual yang tidak pada tempatnya.
Aturan tersebut mencakup pelarangan tegas terhadap hubungan seksual sebelum pernikahan (QS Al-Isra [17]: 32 dan QS An-Nur [24]: 2), perintah menundukkan pandangan bagi laki-laki dan perempuan (QS An-Nur [24]: 30–31), kewajiban menjaga kesucian diri (iffah) (QS An-Nur [24]: 33), kewajiban menutup aurat dan mengenakan pakaian sempurna (QS An-Nur [24]: 31 dan QS Al-Ahzab [33]: 59), serta larangan khalwat (berdua-duaan).
Melalui penerapan hukum-hukum pergaulan Islam yang jelas inilah, peluang pergaulan bebas dan kekerasan seksual dapat ditutup rapat. Islam hanya membolehkan rangsangan seksual muncul dalam ikatan pernikahan yang sah.
Posisi Strategis Guru dan Tantangan Pendidikan Sekuler
Dalam konteks pendidikan, guru memiliki posisi strategis sebagai ujung tombak yang bersentuhan langsung dengan remaja. Seharusnya, mereka mampu mengarahkan generasi pada ketaatan dan kesadaran moral yang kokoh.
Namun, sistem pendidikan sekuler-kapitalistik saat ini menciptakan dilema bagi guru. Mengajar sering kali hanya dianggap tuntutan profesi, sementara peran mereka dibatasi oleh aturan, administrasi, atau tekanan dari pihak orang tua dan peserta didik.
Guru juga tidak memiliki jaminan negara untuk menjalankan perannya tanpa intimidasi, khususnya ketika berhadapan dengan pihak berkuasa atau pemilik modal.
Hal ini kontras dengan sistem Islam yang menjamin keamanan, kesejahteraan, dan penghargaan tinggi bagi para guru, mengingat posisi mulia mereka sebagai pihak yang berperan besar dalam membangun kemaslahatan umat, sebagaimana diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali.
Oleh karena itu, guru diharapkan tetap bersemangat dan ikhlas dalam mengemban amanah ini, konsisten memberikan pengaruh baik, serta memastikan pendidikan kesehatan reproduksi yang diberikan, baik di sekolah maupun keluarga, dibarengi dengan pemahaman Islam yang utuh agar tidak terjadi salah kaprah. [My]
Baca juga:
0 Comments: