Ketika ‘Bank Emok’ Jadi Jalan Pintas di Tengah Derasnya Gaya Hidup
Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Data terbaru menunjukkan Jawa Barat menempati posisi pertama tingkat aduan scam finansial di Indonesia. Fenomena ini mencakup praktik pinjaman ilegal, penipuan investasi, hingga rentenir berkedok “Bank Emok” yang masih menjadi favorit sebagian warga.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut Jawa Barat sebagai provinsi dengan aduan tertinggi kasus scam finansial. Ironisnya, masyarakat justru masih banyak yang bergantung pada sistem rentenir dan pinjaman berbunga tinggi, bahkan di tengah gencarnya kampanye literasi keuangan nasional.
(viva.co.id, 22 Oktober 2025)
Fenomena ini menjadi cermin kegelisahan sosial ekonomi yang mendalam.
Banyak warga, terutama di pedesaan, memilih “Bank Emok” karena aksesnya mudah, pencairannya cepat, dan tidak memerlukan jaminan. Namun di balik kemudahan itu, tersembunyi jerat riba yang perlahan mencekik kehidupan.
Sebagian besar masyarakat tak benar-benar memahami risiko pinjaman tersebut. Literasi finansial memang rendah, tetapi akar masalahnya lebih dalam, yakni sistem ekonomi yang membolehkan riba telah mengakar kuat.
Ironinya, solusi yang ditawarkan untuk memberantas pinjaman ilegal pun masih berbasis sistem riba. Akibatnya, masalah tidak terselesaikan, hanya berputar di lingkaran yang sama.
Gaya Hidup Konsumtif, Akibat Kapitalisme
Lebih jauh, gaya hidup konsumtif ikut memperparah keadaan. Kapitalisme modern mendorong manusia hidup untuk membeli, bukan sekadar memenuhi kebutuhan.
Dari makanan, fashion, hingga hiburan, semua dikemas agar tampak perlu. Iklan, influencer, dan budaya “pamer” di media sosial memperkuat dorongan itu.
Manusia akhirnya berlomba mengikuti tren tanpa peduli kemampuan finansial.
Bagi yang kaya, belanja hanyalah ekspresi. Bagi yang miskin, itu mimpi yang harus dikejar, walau lewat utang.
“Bank Emok”, paylater, hingga pinjol menjadi jalan pintas untuk menutupi gaya hidup semu. Namun di baliknya, banyak rumah tangga yang hancur, anak muda terjerat utang, bahkan rela berbuat nekat demi membayar cicilan. Kebiasaan ini bukan hanya persoalan ekonomi, melainkan krisis nilai.
Banyak anak muda terjerat judi online (judol) dan pinjol karena pengaruh selebgram. Mereka tertipu gaya hidup glamor yang ditampilkan di media sosial. Dari “cuan instan” ke “utang cepat”, semua terasa mudah hingga akhirnya menghancurkan diri sendiri.
Judol dan “Bank Emok” kini berjalan beriringan. Ketika kalah judi, orang meminjam. Ketika tak bisa membayar, mereka kembali berutang. Sebuah siklus tragis yang melahirkan generasi tanpa arah dan tanpa harapan.
Ketika Syariat Menjadi Solusi Nyata
Islam menawarkan solusi yang menyentuh akar masalah, bukan hanya gejalanya.
Islam menolak riba dalam bentuk apa pun. Allah berfirman:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 275)
Rasulullah saw. juga bersabda:
“Rasulullah melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulisnya, dan dua saksinya.”
(HR. Muslim, No. 1598)
Islam tidak menolak aktivitas ekonomi, namun mengatur agar harta berputar secara adil. Negara dalam sistem Islam (Khilafah) menempatkan ekonomi sebagai sarana pemerataan, bukan alat eksploitasi.
Negara wajib menyediakan lapangan kerja, menjamin kebutuhan pokok warga, dan melarang praktik yang merugikan rakyat, seperti riba dan judi.
Dalam sejarah, Khilafah Islamiyah menegakkan sistem ekonomi yang berkeadilan.
Rakyat miskin mendapat dukungan tanpa bunga, bukan pinjaman berbunga tinggi.
Rasulullah saw. mengajarkan gaya hidup sederhana, jauh dari konsumtif, sebagaimana sabdanya:
“Berbahagialah orang yang diberi petunjuk untuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan merasa puas dengan apa yang Allah berikan.”
(HR. Muslim, No. 1054)
Kondisi masyarakat saat ini menunjukkan betapa pentingnya kembali pada sistem hidup yang berlandaskan syariat. Dakwah untuk menguatkan akidah dan menjauhkan umat dari riba harus diperluas, terutama di kalangan muda. Mereka harus diajak berpikir bahwa utang konsumtif bukan solusi, melainkan jebakan yang mematikan masa depan.
Islam mengajarkan produktivitas, kerja keras, dan qana‘ah (merasa cukup). Dengan penerapan syariat secara menyeluruh, masyarakat akan terbebas dari belenggu riba dan penipuan finansial. Negara Islam tidak akan membiarkan satu pun warganya terjerat utang karena gaya hidup.
Penutup
“Bank Emok” bukan sekadar masalah ekonomi, tapi cermin ketergantungan masyarakat pada sistem yang salah. Literasi finansial penting, tetapi perubahan paradigma hidup jauh lebih penting. Kita perlu kembali pada nilai Islam. Nilai yang menuntun manusia untuk hidup sederhana, produktif, dan bertanggung jawab. Karena sejatinya, kesejahteraan bukan soal banyaknya uang, tetapi tenangnya hati. Dan hati tak akan pernah tenang selama hidup bergantung pada sistem yang Allah murkai. [My]
Baca juga:
0 Comments: