Headlines
Loading...
Infrastruktur Jabar, Siapa yang Dilayani?

Infrastruktur Jabar, Siapa yang Dilayani?

Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Kementerian Pekerjaan Umum (PU) kembali mempercepat pembangunan 15 bendungan baru di Indonesia. Salah satunya berada di Kabupaten Bogor, wilayah yang dikenal sebagai Bumi Tegar Beriman. Bendungan tersebut bernama Bendungan Cijurey. Proyek ini menelan dana Rp3,7 triliun dan ditargetkan beroperasi pada 2028. Bendungan ini digadang mampu menekan risiko banjir bandang serta mendukung program swasembada pangan nasional.

Selanjutnya, Jawa Barat juga bersiap membangun jalan tol baru di Kota Bandung. Nilainya mencapai Rp8,3 triliun, dengan konstruksi yang direncanakan mulai pada 2026. (ayobandung.com, 18 November 2025)

Menteri PU menegaskan bahwa Bendungan Cijurey bukan sekadar proyek fisik. Ia menyebut bendungan ini sebagai pengendali banjir, penyedia air baku, peningkat potensi listrik, dan penguat produktivitas pertanian yang “mendukung program swasembada pangan nasional yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto.”

Deru proyek mengisi ruang publik dengan optimisme. Namun, benarkah optimisme itu berdiri di atas kepentingan rakyat?

Infrastruktur sebagai wajah sebuah peradaban harus mempermudah kehidupan, membuka peluang, dan melahirkan manfaat ekonomi. Namun fakta hari ini menunjukkan bahwa pembangunan sering berjalan tanpa arah yang jelas. Pembangunan sering bergerak lebih cepat daripada konsep kebermanfaatannya.

Pembangunan fisik memang terus melaju, tetapi apakah ia menjawab kebutuhan publik? Atau hanya memoles angka-angka yang memuaskan laporan capaian pembangunan?

Ketika Kapitalisme Menarik Arah Pembangunan

Kita perlu jujur melihat akar masalahnya. Selama arah pembangunan berada dalam kerangka kapitalisme sekuler, orientasi pembangunan tidak akan pernah murni untuk rakyat. Proyek besar, jalan tol, bendungan megah, dan kereta cepat menjadi alat memuluskan kepentingan korporasi besar.

Kita menyaksikan fakta yang berulang. Banyak infrastruktur berdiri megah tetapi tidak berfungsi. Ada bandara yang sepi. Ada pelabuhan yang tak terpakai. Ada gedung megah yang kosong seperti kuburan. Lalu kita bertanya, siapa sebenarnya yang menikmati hasil pembangunan ini?

Lebih jauh, konsep good governance yang diagungkan dalam kapitalisme tidak membuat negara menjadi pelayan rakyat. Justru sebaliknya, negara berubah menjadi pelayan korporasi. Negara memfasilitasi proyek besar yang menguntungkan investor, bukan kebutuhan publik.

Contohnya ada di hadapan kita. Pembangunan beberapa bandara yang belum dibutuhkan masyarakat berakhir sepi dan menjadi beban keuangan daerah. Bandara Kertajati pernah disebut sebagai megaproyek tanpa penumpang. Untuk siapa bandara itu? Jawabannya jelas: korporasi.

Demikian pula proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB). Proyek ini membebani keuangan negara dan rakyat, padahal kereta konvensional masih layak dan berfungsi dengan baik. Proyek ini melayani siapa? Lagi-lagi, korporasi.

Sementara itu, jalan tol terus membentang. Namun, jalan umum di banyak daerah tetap rusak parah. Jalan desa yang menjadi akses utama masyarakat dibiarkan berlubang seperti perangkap. Konsep good governance kembali menunjukkan wajah sebenarnya. Infrastruktur yang tidak menghasilkan cuan tidak akan masuk prioritas.

Maka, untuk apa lagi berharap pada kapitalisme? Sistem yang melahirkan ironi demi ironi ini tidak akan membawa rakyat pada kesejahteraan hakiki.

Solusi Islam: Jalan yang Tegas, Jelas, dan Terpercaya

Islam menawarkan sistem pembangunan yang berbeda secara fundamental. Islam memandang infrastruktur sebagai pilar peradaban, bukan komoditas. Infrastruktur harus menjadi alat pelayanan, bukan alat komersialisasi.

Dalam Islam, negara berkewajiban menyediakan infrastruktur yang mendukung kehidupan rakyat. Rasulullah saw. dan para khalifah mencontohkan hal ini. Negara memprioritaskan pembangunan yang menyelamatkan dan memudahkan rakyat.

Nabi saw. bersabda, “Tidak ada bahaya dan tidak boleh saling membahayakan.”
(HR Ibnu Majah, Ahmad, dan ad-Daruquthni)

Hadis ini menjadi dasar bahwa negara harus mencegah bahaya, termasuk dengan membangun jalan, jembatan, dan fasilitas penting lainnya. Khalifah bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.

Nabi saw. bersabda, “Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus.”
(HR Bukhari)

Dalam Islam, negara tidak boleh membiarkan rakyat menanggung kesulitan akibat minimnya infrastruktur. Jika dana Baitulmal mencukupi, negara membiayai seluruh pembangunan. Jika dana tidak mencukupi, negara dapat memungut dharibah (pajak temporer) secara adil. Jika dalam kondisi darurat, negara boleh meminjam, tetapi tanpa riba dan tanpa ketergantungan asing.

Islam mengatur dengan rinci. Infrastruktur mendesak tidak boleh ditunda. Infrastruktur yang tidak mendesak tidak boleh dibangun jika membebani keuangan negara, seperti KCJB yang bukan kebutuhan rakyat.

Sejarah membuktikan ketangguhan konsep ini. Pada masa Sultan Abdul Hamid II, jalur Kereta Api Hijaz dibangun pada 1900 untuk memudahkan perjalanan jemaah haji. Proyek ini bukan proyek pencitraan. Ia menjawab kebutuhan umat dan melayani publik, bukan konglomerat.

Allah Swt. berfirman,
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan bagi mereka berkah dari langit dan bumi.”
(QS Al-A’raf: 96)

Islam telah membuktikan kemuliaannya selama 13 abad. Infrastruktur menjadi jalan membuka kesejahteraan. Negara berjalan sebagai pelayan rakyat, bukan alat para pemodal.

Akhirnya, pilihan ada pada kita. Tetap melaju dengan sistem kapitalisme yang terus memproduksi ironi, atau kembali menegakkan sistem Islam yang menjadikan infrastruktur sebagai rahmat bagi seluruh rakyat?

Wallahu’alam. []

Baca juga:

0 Comments: