Indonesia Darurat KDRT dan Kekerasan Remaja
Oleh: Rinrin Rindiani, S.P
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Ditemukan jasad wanita hangus terbakar di wilayah Sumbermanjing Wetan (Sumawe), Kabupaten Malang. Pelakunya merupakan suami siri korban. Kasus lain, seorang remaja berusia 16 tahun di Kelurahan Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, diduga mencabuli dan membunuh anak perempuan berusia 11 tahun (Bersatu, 16/10/2025). Di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, seorang ayah tega melakukan kekerasan seksual terhadap anak kandungnya sendiri. Perbuatan itu sudah berlangsung selama tiga tahun, sejak 2022 hingga 2025. “Itu sudah sekitar 30 kali,” ujar Otniel dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com pada Sabtu (18/10/2025).
Fakta-fakta di atas memperlihatkan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi persoalan serius dan mengkhawatirkan. KDRT yang kini muncul bahkan sudah sampai pada penghilangan nyawa. Menurut data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas), kasus KDRT di Indonesia pada tahun 2025 mengalami peningkatan. Tercatat pada bulan Mei terdapat 1.146 kasus dan meningkat hingga 1.316 kasus.
Selain itu, kekerasan tidak hanya terjadi pada kalangan dewasa atau pasangan suami istri, tetapi juga dilakukan oleh kalangan remaja. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa jumlah kasus perceraian karena faktor KDRT di Indonesia pada 2023 mencapai 5.174 kasus. KemenPPPA juga mencatat bahwa pada 2024 telah terjadi total 28.789 kasus KDRT. Dari total tersebut, mayoritas korban adalah perempuan sebanyak 24.973 kasus, sedangkan korban laki-laki sebanyak 3.816 kasus (Goodstats, 14/09/2025).
Tanpa disadari masyarakat, perilaku menyimpang hingga kekerasan yang dilakukan oleh kalangan remaja merupakan dampak dari keretakan keluarga, salah satunya akibat KDRT. Menteri Agama Nasaruddin Umar mengungkapkan bahwa sepanjang 2023 tercatat 840 pasangan bercerai. Mirisnya, sebagian besar perceraian terjadi pada pasangan muda dengan usia pernikahan di bawah lima tahun. Dalam masa ini, pasangan umumnya telah memiliki anak-anak kecil yang seharusnya masih sangat membutuhkan pengasuhan dari kedua orang tuanya.
Keretakan keluarga inilah yang menjadi bumerang bagi anak hingga menimbulkan trauma. Efeknya, anak cenderung bermasalah, bahkan meniru perilaku buruk keluarganya. Persoalan satu dengan yang lain saling berkaitan. Hal ini menggambarkan buruknya perlindungan negara terhadap keluarga dalam sistem yang berlaku saat ini.
Memang banyak faktor, baik internal maupun eksternal, yang menjadi penyebab kekerasan dalam rumah tangga dan di kalangan remaja. Misalnya, faktor minim ilmu, tekanan ekonomi, perselingkuhan, pergaulan bebas, media sosial, minuman keras, narkoba, dan lain-lain. Namun berbagai faktor ini hanyalah cabang masalah, bukan akar persoalan.
Jika dicermati, akar masalah sebenarnya terletak pada penerapan sistem kapitalisme beserta turunannya, yaitu sekularisme dan liberalisme. Dalam sistem kapitalisme, hidup dijadikan ajang mencari materi sebanyak-banyaknya, dan materi dianggap sebagai tolok ukur kebahagiaan. Seseorang akan merasa bahagia ketika memiliki banyak uang untuk memenuhi keinginannya. Kapitalisme bahkan memanipulasi keinginan menjadi kebutuhan, sehingga kebutuhan tampak meluas.
Contohnya, bagi sebagian perempuan, kosmetik dan barang-barang branded menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan. Maka, jika suami tidak mampu memenuhinya, istri merasa kurang. Tuntutan ini dapat memicu pertengkaran dalam rumah tangga.
Di sisi lain, dalam sistem kapitalisme, seluruh pelayanan masyarakat dijadikan ladang bisnis, termasuk kesehatan dan pendidikan. Tidak heran jika kebutuhan hidup yang tinggi membuat keluarga berpenghasilan pas-pasan sulit bertahan, hingga mudah memicu KDRT.
Adapun sekularisme, yaitu paham yang memisahkan agama dari kehidupan, menjadikan agama sebatas urusan ritual semata. Peran agama dalam rumah tangga dihapuskan. Akibatnya, suami, istri, dan anak jauh dari ketakwaan dan tanggung jawab moral. Suami tidak memahami kewajibannya menafkahi keluarga, istri tidak memahami tugasnya sebagai pengurus rumah, suami, dan anak.
Ditambah lagi dengan sistem pendidikan sekuler-liberal yang menumbuhkan kebebasan tanpa batas dan sikap individualistik. Hal ini merusak keharmonisan rumah tangga dan perilaku remaja.
Maka dari itu, meskipun telah ada UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan berbagai aturan perlindungan anak, persoalan KDRT tetap meningkat. Artinya, undang-undang ini belum menyentuh akar masalah, karena hanya menindak secara hukum tanpa mengubah sistem yang rusak.
Sudah seharusnya kita menyadari bahwa semua persoalan saat ini berakar dari sistem yang rusak. Solusinya adalah dengan mengubah sistem tersebut menjadi sistem yang sahih, yakni sistem Islam. Islam bukan hanya agama ritual, tetapi sistem hidup yang sempurna dan mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk kehidupan berkeluarga.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam (Sistem Pergaulan dalam Islam) menjelaskan bahwa pernikahan bukan sekadar hubungan seksual sebagai pemenuhan gharizah an-nau’ (naluri melestarikan jenis), tetapi juga mencakup hubungan keibuan, kebapakan, kesaudaraan, keanakan, kebibian, dan kepamanan. Ia juga menjelaskan bahwa kehidupan suami istri adalah kehidupan persahabatan sejati yang membawa kedamaian dan ketenteraman menuju jannah-Nya Allah.
Penerapan sistem Islam akan menjaga dan mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan pendidikan Islam yang membentuk individu beriman dan bertakwa, baik dalam keluarga maupun masyarakat.
Dalam sistem Islam, negara berperan sebagai ra‘in (pelindung). Negara akan menegakkan hukum dan menetapkan sanksi tegas untuk menjamin kesejahteraan serta keamanan keluarga.
Wallahualam bissawab. [My]
Baca juga:
0 Comments: