Headlines
Loading...


Oleh: Hana Salsabila A. R
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com — Publik kembali digemparkan oleh dua isu besar yang berbeda, tetapi sama-sama berakar pada satu persoalan, yaitu fanatisme. Menurut Wikipedia, fanatisme adalah paham atau perilaku yang menunjukkan ketertarikan secara berlebihan terhadap sesuatu. Fenomena ini menjadi penyakit sosial yang masih akut dan banyak dialami masyarakat, termasuk umat muslim. Dua contoh kasus berikut dapat memberi gambaran yang lebih jelas.

Kasus pertama adalah dugaan pelecehan anak oleh seorang figur publik berstatus Gus. Media sosial sempat ramai oleh kemarahan warganet setelah foto dan rekaman tindakan tersebut tersebar luas. Dalam pemberitaan kemenag.co.id (11 November 2025), Kemenag melalui Romo Muhammad Syafii merespons video viral Gus Elham yang tampak beberapa kali mencium seorang anak perempuan. “Kita sepakat dengan publik, bahwa itu tidakbParlemen DPR MPR RI, Senayan.

Kasus kedua adalah isu pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto. Pada 10 November lalu, bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan, Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar tersebut di Istana Negara. Tempo.co (10 November 2025) melaporkan bahwa keputusan ini kembali membuka diskusi publik mengenai rekam jejak Soeharto yang sarat catatan, mulai dari pelanggaran HAM hingga krisis moneter.

Kedua kasus ini memiliki kesamaan, yaitu tokohnya sama-sama figur terpandang dan dihormati. Dalam kasus pertama, gelar “Gus” membuat sebagian masyarakat menormalisasi tindakan yang seharusnya digolongkan sebagai pelecehan. Status sosial membuat sebagian orang menilai perilaku tokoh tersebut sebagai sesuatu yang wajar, padahal ia tetap manusia yang tidak luput dari salah.

Allah berfirman:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ

Katakanlah: Hai ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara yang tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat sebelumnya dan telah menyesatkan banyak manusia, serta mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus (QS Al Maidah: 77).

Kisah seperti ini lahir dari sikap ghuluw atau berlebihan. Perilaku ekstrem seperti ini tidak berasal dari ajaran Islam, tetapi tumbuh dalam pola pikir sekuler kapitalistik yang menomorsatukan dunia dan mengesampingkan aspek rohani. Ironisnya, negara tidak memberikan pendidikan yang memadai tentang bagaimana Islam memandang sikap berlebihan, sehingga masyarakat dibiarkan bingung membedakan mana kebenaran dan mana kepalsuan.

Dalam kondisi seperti itu, figur yang tampak baik di permukaan menjadi pegangan masyarakat di tengah krisis identitas. Tidak sedikit yang akhirnya memilih opsi “sedikit keburukan” daripada “tidak ada harapan sama sekali”, padahal penilaian seperti ini sangat berisiko.

Islam sangat mengutuk sikap ghuluw. Rasulullah telah memperingatkan:
Cintailah orang yang kamu cintai sekadarnya. Bisa jadi orang yang sekarang kamu cintai suatu hari nanti harus kamu benci. Dan bencilah orang yang kamu benci sekadarnya, bisa jadi suatu hari nanti dia menjadi orang yang harus kamu cintai.” (HR At Tirmidzi No. 1997)

Manusia tidak lepas dari salah dan khilaf. Karena itu, Islam menetapkan batas dalam mencintai maupun membenci seseorang. Selain itu, Islam mengajarkan tawadhu, yaitu sikap rendah hati. Sifat ini menjadi benteng agar manusia tidak merasa lebih tinggi daripada yang lain dan tidak bersikap semena-mena.

Sikap seperti tawadhu dan larangan ghuluw tentu tidak lahir dari sistem sekuler. Sistem tersebut hanya menekankan kepuasan jasmani dan kepentingan individu. Islam justru menempatkan akhlak sebagai disiplin utama yang terhubung langsung dengan akidah. Inilah yang mampu mencegah masyarakat terjatuh dalam fanatisme berlebihan.

Hanya Islam yang mengatur manusia dengan sebaik-baiknya, bahkan hingga pada urusan akhlak yang paling sederhana sekali pun. Wallahualam.[Hz]

Baca juga:

0 Comments: