Oleh: Annisa Almahira
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Publik menyaksikan kekuatan Gen Z yang tak terbantahkan dalam menyuarakan aspirasi politik. Tidak hanya lantang bersuara di jalanan, mereka juga memegang kendali di dunia digital. Fenomena ini menjadi sorotan para pakar psikologi dan pendidikan, seperti Anastasia Satrio dan Prof. Rose Mini Agoes Salim. Menurut mereka, protes yang disuarakan melalui berbagai konten visual kreatif merupakan cara unik Gen Z dalam menghadapi tekanan. Berbeda dengan generasi lain yang cenderung menghindar, Gen Z menghadapi tekanan melalui “suara” khas: cerdas, ringkas, dan viral.
Namun di sisi lain, ada kekhawatiran yang tak bisa diabaikan. Gen Z pada usia remaja di bawah umur rentan terprovokasi karena kontrol diri yang belum matang. Hal ini diperkuat dengan kasus pelajar SMA yang membuat konten tidak etis tentang demonstrasi hingga berujung dikeluarkan dari sekolah.
Jika menggunakan lensa psikologi modern, fenomena ini hanya berfokus pada cara Gen Z mempertahankan identitas dan nilai diri. Seolah cara mereka berekspresi hanyalah persoalan manajemen emosi dan kreativitas, bukan perlawanan terhadap sistem yang menindas. Pendekatan ini, tanpa disadari, selaras dengan pola kapitalisme yang menyalurkan energi pemuda agar tetap aman, ekspresif, tetapi tidak menyentuh akar persoalan politik yang sesungguhnya.
Sistem ini menjinakkan mereka dengan mendorong energi Gen Z masuk ke ruang aman: digital, seni, dan hiburan. Media lebih senang mengangkat sisi estetik aksi Gen Z ketimbang suara politik yang menuntut perubahan mendasar. Bahkan ketika pemuda benar-benar turun ke jalan, mereka sering diposisikan sebagai pihak yang “rawan terprovokasi” atau “belum matang”.
Label semacam itu digunakan untuk mendeligitimasi perjuangan mereka. Sebagaimana dalam sejumlah kasus, tindakan anarkis oleh oknum sering dipelintir untuk menodai aksi murni pemuda dalam menolak kezaliman.
Sistem yang berkuasa tentu tidak tinggal diam. Selama protes hanya berakhir di linimasa, mereka dapat dengan mudah menyesuaikan diri, bahkan mengubahnya menjadi sesuatu yang aman bagi pasar, misalnya dengan menjual merchandise bertema protes. Dari sinilah, perlawanan berisiko menjadi dangkal dan berubah menjadi slacktivism — partisipasi terbatas pada klik dan share tanpa aksi kolektif berkelanjutan.
Inilah bahaya terbesar: fokus pada ekspresi semata dapat mengalihkan perhatian dari kewajiban mendasar untuk menolak dan mengubah kezaliman.
Islam Menyalurkan Energi Pemuda untuk Perubahan
Dalam perspektif Islam, perjuangan melawan kezaliman bukanlah sekadar ekspresi emosional yang bisa disalurkan dengan cara “aman.” Itu adalah bagian dari fitrah manusia — naluri alami untuk menolak ketidakadilan. Jauh sebelum ilmu psikologi modern lahir, Islam telah mengajarkan bahwa manusia memiliki naluri baqa (naluri bertahan) yang mendorongnya menolak segala bentuk kezaliman.
Al-Qur’an memerintahkan:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”
(QS. An-Nahl: 125)
Rasulullah saw. juga bersabda:
“Pemimpin para syuhadā’ adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan (juga) seorang laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa zalim, lalu ia memerintahkannya kepada kebaikan dan melarangnya dari kemungkaran, kemudian penguasa itu membunuhnya.”
(HR. al-Hakim)
Dengan begitu, Islam memberikan legitimasi penuh bagi aspirasi politik umat, termasuk pemuda, selama dilakukan dengan cara yang benar.
Keberanian menghadapi penguasa zalim adalah puncak keimanan. Sejarah Islam membuktikan bahwa pemuda merupakan motor utama perubahan. Rasulullah saw. dikelilingi para sahabat muda yang berani: Ali bin Abi Thalib yang masih belasan tahun, Mus’ab bin Umair yang meninggalkan kemewahan demi dakwah, Zubair bin Awwam sang pejuang tangguh, hingga Asma binti Abu Bakar yang mendukung logistik hijrah.
Mereka tidak sekadar mengekspresikan keresahan, tetapi mengarahkan energi mereka untuk menegakkan risalah Islam. Peran pemuda inilah yang menjadikan dakwah Islam tumbuh cepat dan mengguncang tatanan jahiliyah.
Kini, Gen Z memiliki potensi serupa untuk menjadi agen perubahan (taghyir). Mereka kreatif, berani berbicara, dan mampu menggerakkan opini publik. Namun tanpa arah yang jelas, potensi itu bisa menguap sia-sia. Meme viral bisa lenyap dalam hitungan hari, sementara perubahan politik yang sejati memerlukan konsistensi dan keberanian kolektif.
Kisah para pemuda di masa Rasulullah saw. seharusnya menjadi inspirasi. Mereka tidak hanya menyebarkan ide, tetapi juga turun langsung ke medan dakwah dan perjuangan. Inilah perbedaan mendasar antara “aktivisme digital” yang serba instan dengan perjuangan nyata yang memerlukan keteguhan hati dan pengorbanan.
Islam menyediakan mekanisme yang jelas: muhasabah lil hukkam, dakwah yang sistematis, dan perjuangan politik untuk menegakkan keadilan. Generasi muda diarahkan bukan sekadar untuk menolak kezaliman, tetapi juga memperjuangkan sistem alternatif yang adil dan menyeluruh.
Sejarah telah membuktikan bahwa kebangkitan umat tidak pernah terlepas dari peran pemuda. Begitu pula masa depan. Gen Z bisa menjadikan media sosial bukan hanya ruang estetik, tetapi alat dakwah. Mereka dapat menjadikan aksi turun ke jalan bukan sekadar pelampiasan emosional, tetapi bentuk muhasabah yang bernilai ibadah.
Pada akhirnya, cara Gen Z berekspresi saat ini adalah pisau bermata dua: efisien dan inovatif, tetapi juga berisiko menjadi perubahan dangkal yang sejalan dengan narasi kapitalisme. Kebangkitan umat tidak akan lahir dari viralitas semata, melainkan dari generasi yang menyalurkan energi dan kreativitas mereka ke dalam perjuangan yang berani dan substansial. [My]
Baca juga:
0 Comments: