Headlines
Loading...
Di Balik Maraknya Perceraian: Keluarga Melemah, Sistem Bermasalah

Di Balik Maraknya Perceraian: Keluarga Melemah, Sistem Bermasalah

Oleh: Bunda Erma
(Pemerhati Keluarga dan Generasi)

SSCQMedia.Com – Kata kunci “cerai” menjadi salah satu pencarian tertinggi sepanjang tahun 2025. Berdasarkan Google Trends, popularitas kata kunci ini tidak surut sejak minggu terakhir Agustus dan kembali meningkat pada minggu ketiga Oktober. (Kompas.id, 7 November 2025).

Fenomena tersebut menggambarkan bahwa perceraian kini semakin akrab dalam kehidupan sosial masyarakat. Tren perceraian terjadi di berbagai kalangan, baik pasangan muda maupun mereka yang telah lama menikah, bahkan di usia senja (grey divorce). Data statistik menunjukkan jumlah perceraian di Indonesia mencapai hampir 400.000 kasus sepanjang 2024, meningkat 13,1% dibandingkan satu dekade sebelumnya. (BPHN.co.id, 16–19 November 2025).

Sementara itu, data Kementerian Agama mencatat bahwa mayoritas gugatan cerai diajukan oleh pihak perempuan. Kemandirian finansial yang semakin dimiliki perempuan diduga menjadi salah satu faktor pendorong keberanian mereka mengakhiri pernikahan yang tidak lagi harmonis.

Tingginya angka perceraian di Indonesia bukan sekadar persoalan rumah tangga, melainkan cerminan rapuhnya bangunan sosial yang berdiri di atas pondasi yang salah. Beragam faktor pemicu perceraian sesungguhnya berpangkal pada satu hal, yaitu lemahnya pemahaman masyarakat tentang hakikat pernikahan.

Dalam pandangan Islam, pernikahan adalah mitsaqan ghalidha (perjanjian yang kuat), bukan sekadar kontrak sosial atau hubungan emosional semata. Pernikahan adalah institusi yang dibangun atas dasar ketakwaan, dengan tujuan menjaga kehormatan, melanjutkan keturunan, serta mewujudkan ketenteraman hidup dalam ridha Allah Swt. Namun ketika masyarakat memandang pernikahan hanya sebagai urusan pribadi atau sarana pemenuhan hasrat dan kenyamanan semata, tidak mengherankan jika sedikit konflik langsung berujung perceraian.

Sistem kapitalisme sekuler menjadikan kebebasan individu dan keuntungan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan. Dalam pandangan ini, hubungan antarmanusia diukur dari manfaat dan kepuasan yang diperoleh, bukan lagi sebagai kewajiban dari Allah untuk membangun keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Masalah ekonomi yang menjadi pemicu perceraian juga membuktikan bahwa sistem kapitalisme yang diterapkan negara gagal menyejahterakan rakyatnya. Sistem ekonomi ini meniscayakan kekayaan berputar pada segelintir elite dan penguasa, sedangkan mayoritas rakyat dibebani pajak, komersialisasi layanan publik, hingga mahalnya kebutuhan pokok.

Di sisi lain, sekularisme menjauhkan nilai agama dari kehidupan publik. Agama dipisahkan dari pendidikan, media, dan kebijakan negara. Generasi pun tumbuh dengan cara pandang liberal: bebas mencintai, bebas menikah, dan bebas pula berpisah. Kapitalisme juga mendorong perempuan keluar dari peran utamanya sebagai pendidik generasi dengan dalih kemandirian. Padahal sistem ini hanya menjadikan perempuan sebagai tenaga kerja murah demi kepentingan pasar. Tekanan ekonomi dan peran ganda membuat banyak perempuan akhirnya memilih perceraian sebagai bentuk kebebasan.

Kondisi berbeda akan kita temui dalam kehidupan yang diatur dengan sistem Islam. Islam memandang bahwa persoalan perceraian tidak dapat diselesaikan hanya melalui konseling atau nasihat moral semata, melainkan membutuhkan perubahan sistemik yang menyentuh akar masalahnya.

Dalam Islam, ketahanan keluarga dibangun di atas tiga pilar utama: pertama, kepribadian Islam yang kokoh pada individu; kedua, masyarakat yang berlandaskan nilai Islam; dan ketiga, jaminan kesejahteraan serta perlindungan oleh negara melalui sistem politik dan ekonomi Islam.

Sistem pendidikan Islam memiliki peran sentral dalam membentuk kepribadian muslim yang kuat dan siap membangun keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan proses pembentukan iman, takwa, dan tanggung jawab sebagai hamba Allah. Dengan konsep pendidikan ini, laki-laki disiapkan menjadi qawwam (pemimpin dan penanggung jawab keluarga), sementara perempuan dipersiapkan menjadi ummun wa rabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga). Mereka memahami bahwa pernikahan adalah ibadah dan jalan meraih ketenteraman serta ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Masyarakat yang menjadikan syariat Islam sebagai standar perbuatan akan membentuk interaksi sosial yang jauh dari kemaksiatan pemicu kerusakan keluarga. Dan kesejahteraan keluarga tidak akan tercapai tanpa sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh negara.

Negara Islam (Khilafah) mewajibkan pemerintah menjamin kebutuhan dasar setiap rakyat, menyediakan lapangan kerja, serta menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok. Dengan sistem ini, suami tidak terbebani tekanan ekonomi berlebihan, istri tidak harus menanggung peran ganda, dan anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang stabil. Maka hanya dengan penerapan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan, ketahanan keluarga dapat ditegakkan dan perceraian yang bersifat sistemik dapat diminimalisasi. []

Baca juga:

0 Comments: