Dari Serambi Pesantren Menuju Cahaya Peradaban
Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Setiap tahun, peringatan Hari Santri selalu menjadi sorotan masyarakat. Beragam kegiatan digelar di berbagai daerah, mulai dari upacara, kirab, lomba baca kitab, hingga festival film bernuansa keislaman. Tahun ini, tema utama yang diangkat ialah “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia.”
Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa santri adalah penjaga moral dan pelopor kemajuan bangsa. Ia mengingatkan kembali semangat Resolusi Jihad yang dipelopori KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 sebagai tonggak sejarah kiprah besar santri dalam mempertahankan kemerdekaan (Setneg.go.id, 22 Oktober 2025; Kompas.com, 25 Oktober 2025).
Namun di balik gegap gempita itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah peringatan ini benar-benar menghidupkan ruh perjuangan santri sebagai fakih fiddin dan agen perubahan, atau sekadar seremonial tahunan yang kehilangan makna?
Krisis Ideologis: Santri di Tengah Gempuran Sekularisme
Santri kini dihadapkan pada dua dunia, yakni dunia digital yang serba cepat dan dunia spiritual yang menuntut kedalaman. Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Bintan, Muhammad Lukman, menyatakan bahwa santri perlu menguasai keterampilan digital tanpa kehilangan akhlak dan adab. “Kami berupaya agar santri dapat menggunakan teknologi dengan bijak,” ujarnya (Kemenag.go.id, 18 Oktober 2024).
Senada dengan itu, pemerhati pendidikan Citra Amalia, M.Pd., menekankan pentingnya keseimbangan antara ilmu agama dan pengetahuan modern. Ia menegaskan, “Santri harus menjadi pelopor generasi yang tidak hanya mampu mengimbangi kemajuan teknologi, tetapi juga memelihara akhlak yang mulia sesuai Al-Qur’an dan Sunah” (MNews.id, 25 Oktober 2024).
Ia mengingatkan sabda Rasulullah saw., “Barang siapa yang menginginkan dunia, maka wajib baginya memiliki ilmu. Barang siapa yang menginginkan akhirat, maka wajib baginya memiliki ilmu. Dan barang siapa yang menginginkan keduanya, maka wajib baginya memiliki ilmu.” (HR Tirmidzi).
Santri seharusnya mampu menyeimbangkan dua kutub itu—dunia dan akhirat—sebagaimana doa agung dalam QS. Al-Baqarah ayat 201, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.”
Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa peringatan Hari Santri kerap terjebak pada aspek simbolik. Pujian atas peran santri di masa lalu tidak selalu diikuti dengan penguatan kebijakan yang berpihak pada pesantren dan umat Islam. Santri sering hanya dijadikan ikon moralitas tanpa diberi ruang strategis untuk menata arah bangsa.
Lebih jauh, santri kini diarahkan menjadi agen moderasi beragama dan pemberdayaan ekonomi, bukan agen dakwah yang menegakkan syariat serta membebaskan umat dari penjajahan gaya baru. Paradigma sekuler dan kapitalistik justru menyusup ke lembaga pendidikan Islam, memisahkan ilmu agama dari realitas sosial-politik.
Akibatnya, peran strategis santri dan pesantren perlahan dibajak untuk menopang sistem sekuler yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Kondisi ini sejalan dengan analisis Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si., dalam tulisannya “Khilafah Menjaga Peran Pemuda sebagai Agen Perubahan” (Muslimah News, 27 Desember 2022). Ia menilai bahwa sekularisme telah menjauhkan generasi muda dari fitrah mereka sebagai pembawa risalah Islam. “Pemuda hari ini banyak yang tersesat dari potensi besarnya. Mereka menjadi mesin ekonomi kapitalisme dan tumbal peradaban modern,” ujarnya.
Pernyataan ini menggambarkan realitas getir bahwa santri—yang seharusnya menjadi benteng terakhir moral bangsa—kini dipaksa tunduk pada logika pasar dan kepentingan politik pragmatis. Akibatnya, semangat jihad intelektual dan spiritual mereka memudar, berganti dengan slogan-slogan pembangunan yang hampa makna.
Islam sebagai Solusi dan Arah Peradaban
Islam telah menempatkan santri dan ulama sebagai penjaga peradaban. Allah Swt. berfirman, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS Ali Imran: 110).
Ayat ini menegaskan bahwa kemuliaan umat hanya akan terwujud bila mereka menjalankan peran dakwah dan perubahan. Rasulullah saw. membangun generasi santri sejati—para sahabat yang fakih fiddin dan siap menegakkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Di tangan mereka, lahir peradaban Islam yang menerangi dunia.
Dalam sistem Islam, negara menjadi penanggung jawab utama dalam mencetak generasi ulul albab, yakni para pemikir, pejuang, dan pemimpin umat. Negara tidak hanya menjamin pendidikan agama, tetapi juga membentuk kesadaran politik dan sosial berbasis akidah.
Inilah yang dulu diwujudkan para khalifah, dari Abu Bakar hingga Umar bin Khattab, yang memastikan pesantren (kuttab) menjadi pusat peradaban dan perubahan sosial.
Kebangkitan santri sejati hanya akan terwujud dalam sistem yang menegakkan nilai-nilai Islam secara kaffah. Dalam sistem Khilafah, pendidikan berfungsi menumbuhkan kepribadian Islam dan melahirkan agen perubahan yang sadar tanggung jawabnya terhadap umat.
Mereka tidak hanya ahli kitab, tetapi juga pemimpin yang berani melawan penindasan—baik dalam bentuk penjajahan fisik maupun ideologis.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi daripadanya.” (HR Baihaqi). Maka, hanya dengan Islam santri dapat kembali menjadi mercusuar peradaban—penerang di tengah kegelapan sekularisme.
Santri sejati bukan sekadar bagian dari masa lalu, tetapi obor masa depan. Mereka adalah agen perubahan, bukan pengikut perubahan. Saatnya Hari Santri tidak lagi sekadar seremoni, melainkan momentum kebangkitan intelektual, spiritual, dan ideologis menuju peradaban Islam yang kembali jaya. [My]
Baca juga:
0 Comments: