Headlines
Loading...
Bunuh Diri, Puncak Gangguan Mental Generasi

Bunuh Diri, Puncak Gangguan Mental Generasi

Oleh: Q. Rosa
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com — Bunuh diri menjadi problem yang terus mengalami tren kenaikan. Problem mental generasi saat ini berada pada puncak kekhawatirannya. Jika pada awalnya mereka hanya mengalami depresi ringan, seiring waktu kondisi itu memburuk akibat kurangnya perhatian orang tua, meningkatnya individualisme masyarakat, kurikulum pendidikan yang menitikberatkan pada prestasi akademik semata, serta negara yang abai terhadap kebutuhan lingkungan yang aman dan nyaman bagi generasi (termasuk lingkungan media sosial). Semua ini membuat generasi kita tidak tumbuh sehat secara mental.

Temuan berikut membuat kita harus ekstra hati-hati dalam menjaga anak-anak dan meningkatkan kewaspadaan.
Dante Saksono Harbuwono mengungkapkan data mengkhawatirkan dari program pemeriksaan kesehatan jiwa gratis yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan. Ia menyatakan, “Dari laporan yang kami terima dalam pemeriksaan kesehatan jiwa gratis dan telah menjangkau sekitar 20 juta jiwa, terdapat lebih dari dua juta anak yang mengalami gangguan kesehatan mental,” ujar Wakil Menteri Kesehatan. (Republika.co.id, 30/10/2025).

Kasus bunuh diri dua siswa SMP di Sawahlunto dalam satu bulan terakhir menunjukkan fenomena gelembung yang siap meledak jika tidak segera ditangani. Indonesia dengan bonus demografinya diharapkan memperoleh generasi emas pada tahun 2045. Namun, semua itu bisa tinggal harapan bila generasi yang digadang-gadang tersebut justru mengalami problem mental akut.

Gangguan mental ini merupakan buah dari penerapan sistem kehidupan kapitalisme-sekuler, yang memaknai kebahagiaan hanya dengan standar materi, baik berupa tampilan fisik maupun harta. Sistem ini menafikkan peran agama sebagai pengendali pikiran dan perilaku manusia. Akibatnya, manusia—termasuk generasi muda—hidup hanya untuk memenuhi hawa nafsu, mengejar dunia yang fana dengan rakus dan tanpa kendali.

Kondisi ini menjadikan mental manusia rentan. Ketika apa yang mereka inginkan tidak sesuai ekspektasi, langkah hidup menjadi limbung, mental jatuh, depresi, hingga memilih bunuh diri.

Generasi pun menjadi korban. Pendidikan mental dasar yang semestinya dibentuk oleh orang tua sejak dini terabaikan akibat beban ekonomi dan tuntutan pekerjaan. Hubungan keluarga pun meregang dan memunculkan disharmoni.

Sementara itu, generasi yang sangat menguasai teknologi dapat mengakses media sosial tanpa pengawasan sejak dini. Mereka akhirnya tidak mampu membedakan konten positif dan negatif. Secara naluriah, konten negatif lebih menarik, sehingga lebih banyak diakses oleh anak-anak. Dari sinilah pemahaman dan mental mereka terbentuk—lahirlah fenomena generasi stroberi: mudah baper, lemah literasi positif, fomo, yolo, self-hatred, dan berbagai kondisi lain yang sering tidak disadari oleh orang tua, dunia pendidikan, maupun negara.

Wajar bila kemudian ditemukan fakta bahwa OPENAI mengungkapkan lebih dari satu juta pengguna ChatGPT setiap minggu mengirim pesan yang mengandung “indikasi eksplisit perencanaan atau niat bunuh diri”. Temuan ini disampaikan melalui blog resmi perusahaan pada Senin (27/10), sebagai bagian dari pembaruan tentang penanganan percakapan sensitif. (Mediaindonesia.com, 28/10/2025).

Ini artinya, mental generasi sudah berada pada kondisi genting dan membutuhkan penanganan segera.

Islam Membentuk Generasi Tangguh

Islam menjadikan akidah sebagai dasar pendidikan, baik di keluarga, sekolah, maupun seluruh jenjang pendidikan. Hal ini menjadikan generasi memiliki kemampuan bertahan dalam menghadapi setiap kesulitan hidup.

Tujuan sistem pendidikan Islam adalah membentuk pola pikir dan pola sikap Islam sehingga terbentuk kepribadian Islam pada diri siswa. Konsep inilah yang akan melahirkan generasi tangguh—memiliki kematangan berpikir, kedewasaan sikap, serta kemampuan adaptif terhadap perkembangan zaman dan kecanggihan teknologi.

Kurikulum pendidikan Islam memadukan penguatan kepribadian Islami (karakter) dengan penguasaan ilmu pengetahuan. Akumulasi dari kecerdasan intelektual, mental, dan spiritual ini menjadikan generasi memiliki life skill syar’i untuk menghadapi berbagai persoalan kehidupan.

Penerapan Islam kaffah oleh negara (khilafah) akan mampu mencegah terjadinya gangguan mental pada generasi. Negara berperan merancang kurikulum berbasis Islam, menyediakan guru-guru berkualitas dengan kepribadian kuat dan amanah, mengontrol ketat konten di media sosial, serta menerapkan sanksi tegas bagi pihak mana pun yang merusak generasi.

Negara juga akan mewujudkan kebaikan pada aspek nonklinisi seperti jaminan kebutuhan pokok, keluarga harmonis, sistem ekonomi yang mendukung pembiayaan pendidikan, serta jaminan pekerjaan bagi penanggung jawab nafkah keluarga—yakni suami—sehingga para ibu dapat fokus menjalankan peran strategis dalam membentuk calon pemimpin masa depan. [US]


Baca juga:

0 Comments: