Headlines
Loading...
Bunuh Diri, Potret Kelam Remaja Saat Ini

Bunuh Diri, Potret Kelam Remaja Saat Ini

Oleh: Komariah
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com – Gempar, seorang anak usia 10 tahun ditemukan tewas gantung diri. Di Cianjur, Jawa Barat, MAA (10), siswa kelas 5 sekolah dasar, diduga kuat melakukan bunuh diri setelah ditemukan tewas gantung diri menggunakan tali sepatu di kusen rumahnya (timesindonesia.co.id, 26 Oktober 2025).

 Pada waktu yang hampir bersamaan, di Sawahlunto, Sumatera Barat, seorang anak lelaki berinisial BE (15), siswa SMPN 7 Sawahlunto, juga ditemukan tewas gantung diri menggunakan dasi di dalam kelas. (detik.com, 29 Oktober 2025).

Serangkaian kasus bunuh diri pelajar yang terjadi belakangan ini merupakan alarm keras bagi negeri ini bahwa generasi, khususnya para pelajar, hidup dalam tekanan berat baik secara akademik, mental, maupun sosial.

Banyak kasus bunuh diri pada pelajar disebabkan oleh masalah perundungan (bullying). Tidak sedikit korban yang mengakhiri hidup karena tidak tahan menjadi sasaran perundungan. Selain itu, gangguan kesehatan mental juga menjadi pemicu yang kian mengkhawatirkan. Laporan Kemenkes melalui program pemeriksaan kesehatan mental gratis bagi pelajar menunjukkan bahwa dari 20 juta pelajar yang diperiksa, sebanyak 2 juta anak Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental, mulai dari kecemasan hingga depresi. Kemenkes juga mengungkapkan bahwa 1 dari 10 anak sekolah pernah mencoba bunuh diri akibat depresi (detik.com, 1 Agustus 2025).

Kasus bunuh diri pelajar tidak bisa dilepaskan dari sistem kapitalisme yang diterapkan dalam kehidupan saat ini. Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan, termasuk dalam pendidikan. Prestasi akademik lebih diutamakan, sementara nilai agama dan pembentukan karakter tersisihkan. Akibatnya, muncul generasi yang kering dan jauh dari nilai-nilai agama.

Faktor lain yang turut mendorong kasus bunuh diri pelajar adalah cara pandang masyarakat mengenai batas usia dewasa. Anggapan bahwa usia 18 tahun adalah batas kedewasaan membuat banyak anak yang sebenarnya sudah akil baligh tetap diposisikan sebagai anak-anak. Hal ini berdampak pada lambannya penyiapan mental, spiritual, dan tanggung jawab.

Tekanan ekonomi keluarga juga menjadi faktor pemicu. Banyak keluarga berada dalam kondisi ekonomi yang sulit, dan situasi ini memengaruhi kondisi psikologis serta mental anak.

Tidak kalah penting, paparan media sosial turut berperan. Konten negatif dari komunitas berbagi pengalaman bunuh diri, misalnya, sangat menyesatkan dan tidak jarang justru menjadi inspirasi bagi anak yang memiliki kepribadian rapuh.

Islam memandang bahwa asas pendidikan, baik dalam keluarga maupun sekolah, harus berlandaskan akidah Islam. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk generasi berkepribadian Islam, baik dalam pola pikir maupun pola sikap. Anak dalam keluarga adalah amanah dari Allah SWT yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Karena itu, orang tua wajib mendidik anak dengan pemahaman Islam agar terbentuk pribadi yang bertakwa dan tangguh menghadapi kehidupan.

Tentu saja, peran keluarga tidak cukup. Masyarakat dan negara juga wajib hadir untuk mewujudkan generasi bertakwa dan tangguh. Negara seharusnya mampu menghadirkan lingkungan sosial yang sehat baik di masyarakat maupun sekolah.

Negara menyusun kurikulum pendidikan yang berasaskan akidah Islam sehingga pembinaan peserta didik dengan pemahaman Islam menjadi hal yang mutlak. Sekolah membina akidah, akhlak, dan karakter anak dengan nilai-nilai Islam, sekaligus menempa mereka dengan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan hidup. Negara juga harus menghadirkan sistem ekonomi yang menguatkan keluarga sehingga setiap keluarga memiliki kondisi ekonomi yang layak dan stabil.

Potret kelam bunuh diri pada pelajar harus segera diatasi. Solusinya hanya dapat diwujudkan melalui penerapan Islam secara menyeluruh dalam keluarga, masyarakat, dan negara. []

Baca juga:

0 Comments: