Bullying Tak Terkendali, Islam Solusi Hakiki
Oleh: Ani Ummu Zaza
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Dunia pendidikan kembali tersorot. Kasus bullying yang berujung tindakan kriminal mencoreng citra lembaga pendidikan. Di Aceh, seorang santri membakar asrama pesantren karena menjadi korban perundungan. Kapolresta Banda Aceh, Kombes Pol Joko Heri Purwono, mengatakan bahwa pelaku sengaja membakar gedung asrama karena sering mengalami bullying dari teman-temannya. Sementara di Jakarta, siswa SMAN 72 Kelapa Gading yang diduga menjadi korban bullying melakukan aksi peledakan di sekolah yang melukai puluhan siswa. Pelaku kini dirawat di rumah sakit terdekat (kumparan.com, 7/11/2025).
Dua kasus tersebut hanya sebagian kecil dari fenomena bullying di negeri ini. Di dunia pendidikan, perundungan tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi juga di perguruan tinggi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 141 laporan kekerasan anak sepanjang 2024, dan 35 persen di antaranya terjadi di sekolah. Pada 2023, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat sekitar 16.720 kasus bullying di sekolah. Di Jawa Timur, Lembaga Perlindungan Anak melaporkan 90 kasus perundungan pada periode Januari–Juli 2024 (Budi Purwoko, ejournal.unesa.ac.id). Data tersebut menunjukkan bahwa kasus bullying masih tinggi dan menjadi persoalan sistemik dalam pendidikan Indonesia.
Institusi pendidikan kehilangan arah dalam membentuk adab pergaulan peserta didik. Banyak siswa menjadikan bullying sebagai candaan. Ironisnya, hal ini diperparah oleh konten media sosial yang menginspirasi perilaku perundungan bahkan mendorong aksi balas dendam yang membahayakan nyawa. Kondisi ini mencerminkan rapuhnya kepribadian generasi saat ini yang tidak memiliki visi hidup yang jelas dan hanya mengikuti tren yang tidak pantas.
Jika ditelaah lebih jauh, sistem pendidikan saat ini bersifat sekuler, yakni memisahkan agama dari konsep pendidikan. Ada pendidikan agama dan ada pendidikan umum. Fokus pendidikan lebih diarahkan pada pencapaian nilai akademik demi memperoleh pekerjaan setelah lulus. Pendidikan pun jauh dari tujuan membentuk akhlak mulia.
Sebagai manusia ciptaan Allah Ta’ala, kita memahami bahwa ada sistem aturan yang paripurna, yaitu Islam. Islam tidak hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai sistem kehidupan. Konsep pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar dan terencana untuk membentuk manusia menjadi hamba Allah yang taat, dengan tujuan membentuk kepribadian Islam. Pola pikir siswa dibangun berdasarkan akidah Islam.
Islam tidak mengenal dikotomi antara ilmu agama dan ilmu sains. Semua ilmu diajarkan berbasis akidah Islam dan diarahkan untuk ketaatan. Ilmu tidak hanya dipelajari untuk kecerdasan akal, tetapi diamalkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga membentuk pola pikir dan pola sikap yang Islami.
Proses pengajaran dilakukan secara tallaqqiyan fikriyyan, yaitu memahamkan siswa secara langsung hingga mereka memahami konsep, meyakininya, dan terdorong untuk mengamalkannya. Guru memiliki kedudukan mulia karena selain menyampaikan ilmu juga menjadi teladan adab bagi siswa. Dengan demikian kemuliaan ilmu terjaga melalui adab guru dan murid. Konsep ini hanya terdapat dalam pendidikan Islam dan tidak ditemukan dalam pendidikan sekuler saat ini.
Penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Dalam sistem Khilafah, kepala negara (khalifah) bertanggung jawab mengatur urusan rakyat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus” (HR. Bukhari dan Muslim).
Negara menyediakan fasilitas pendidikan yang berkualitas dan gratis, terbuka bagi seluruh kalangan, baik laki-laki maupun perempuan, kaya maupun miskin, muslim maupun nonmuslim. Hal ini telah dipraktikkan sejak masa Rasulullah hingga masa Khilafah setelahnya. Selama berabad-abad, Islam memimpin peradaban dengan ilmu dan adab mulia sehingga melahirkan para ulama dan ilmuwan besar.
Selain melalui pendidikan, Khilafah membangun sistem informasi yang menumbuhkan nuansa keimanan masyarakat. Pembinaan ketakwaan dilakukan secara langsung melalui majelis ilmu, stasiun televisi, dan telekomunikasi. Nuansa ketaatan inilah yang menjamin keluhuran moral masyarakat dan menjaga generasi dari perilaku amoral. Kondisi seperti ini sangat mungkin terwujud kembali ketika sistem pemerintahan Khilafah ditegakkan dengan aturan Islam yang kafah. Wallahu a‘lam bishawab. [Hz]
Baca juga:
0 Comments: