Headlines
Loading...
Alarm Keras dari Korban Perundungan

Alarm Keras dari Korban Perundungan

Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Seorang santri di Aceh Besar nekat membakar asrama pesantren akibat sakit hati karena menjadi korban bullying. Kemudian, seorang siswa di SMA Negeri 72 Jakarta, Kelapa Gading, diduga melakukan ledakan di sekolah setelah mengalami tekanan sosial yang berat (beritasatu.com, 8 November 2025).

Keduanya memperlihatkan satu pola, yaitu pelaku mengalami ejekan, pelecehan, dan pengucilan hingga mencapai titik ekstrem.

Masalah bullying bukan sekadar konflik antarsiswa. Masalah ini menjadi alarm bahaya yang sedang menyala. Bullying bukan hanya masalah individu semata, melainkan gejala sistemik yang memerlukan solusi menyeluruh. Bullying yang tidak tertangani akan menjadi bibit tindakan destruktif. Sebagaimana ditegaskan pemerhati pendidikan, Citra Amalia, M.Pd., penanganan bullying harus jauh lebih mendalam daripada sekadar pembinaan umum. Hal paling mendasar adalah perbaikan kurikulum pendidikan yang tidak hanya berfokus pada aspek akademis dan nilai, tetapi juga membangun karakter siswa (muslimahnews.net, 1 Oktober 2024).

Bullying sebagai Gejala Sistemik dalam Pendidikan

Bullying muncul di berbagai daerah sebagai gejala sistemik dalam pendidikan. Kasus di Aceh dan Jakarta menunjukkan bahwa korban yang merasa terpinggirkan dapat berubah menjadi pelaku ketika sistem gagal menangani konflik internal.

Lebih jauh, pengaruh media sosial memperparah situasi. Pelaku bullying atau korban yang tidak tertangani kerap menemukan “jalur” melalui dunia maya untuk melampiaskan kemarahan atau dendam.

Hal ini menandakan krisis adab serta menurunnya fungsi pendidikan formal dalam membentuk kepribadian. Di era digital, cyberbullying melalui komentar, meme, atau unggahan menghina bukan sekadar hiburan murahan. Tindakan ini merusak kepercayaan diri dan dapat memicu tindakan ekstrem. Sekolah dan masyarakat belum membekali generasi dengan kemampuan merespons konflik secara sehat.

Sistem pendidikan yang terlalu berfokus pada materi, sambil mengabaikan akhlak dan nilai ruhiyah, turut gagal membentuk kepribadian Islam yang utuh. Anak-anak yang berprestasi akademis dapat saja rapuh secara emosional dan moral. Akibatnya, baik pelaku maupun korban bullying sering tidak memiliki landasan adab dan empati yang kuat.

Solusi Islami: Pendidikan Berbasis Akidah dan Adab

Islam mengajarkan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian Islam, bukan sekadar mengejar nilai materi. Proses pendidikan harus dilakukan melalui pembinaan intensif yang membentuk pola pikir dan sikap Islami, bukan hanya fokus pada kuantitas akademik, tetapi juga kualitas maknawi dan ruhiyah.

Kokohnya akidah Islam menjadi landasan pembentukan pola pikir yang benar. Sebagaimana firman Allah:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik daripada mereka yang mengolok-olok. (TQS Al-Hujurat [49]: 11)

Dan sabda Rasulullah saw.:
Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya; ia tidak menzaliminya, tidak membiarkannya dizalimi, dan tidak merendahkannya. (HR Muslim)

Negara dalam Islam wajib menjadi penjamin utama pendidikan, pembinaan moral umat, dan perlindungan generasi dari kezaliman sosial. Negara harus mengatur konten media, melarang tayangan yang merusak adab, serta menetapkan sanksi tegas bagi pelaku kejahatan sosial, termasuk bullying.

Dengan sistem seperti ini, generasi muda akan memahami bahwa setiap ucapan dan setiap tindakan yang merendahkan memiliki konsekuensi. Pendidikan berbasis akidah, disertai adab dan akhlak, mampu menciptakan insan yang tangguh, peduli, dan berkarakter, sehingga fenomena bullying dapat ditekan bahkan dihapus dari dunia pendidikan kita.

Penutup

Bullying bukan sekadar masalah antarteman, tetapi tanda kegagalan sistem yang lebih luas. Kita membutuhkan solusi komprehensif yang berpijak pada akidah, adab, dan karakter, bukan semata prestasi duniawi. Jika kita terus membiarkan anak-anak belajar tanpa penguatan moral dan iman, maka tindakan ekstrem yang membahayakan akan terus muncul. Menyelamatkan generasi berarti mendidik jiwa, bukan hanya otak. Semoga perubahan itu dimulai dari kita semua, guru, orang tua, sekolah, dan seluruh masyarakat. [An]

Baca juga:

0 Comments: