Headlines
Loading...

Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)


SSCQMedia.Com. Jutaan anak Indonesia kini tumbuh tanpa sosok ayah yang hadir utuh dalam hidup mereka. Bukan karena sang ayah tiada, tetapi karena ayah kehilangan perannya sebagai pelindung dan pendidik. Fenomena ini disebut fatherless, yaitu kondisi ketika anak kehilangan peran ayah baik secara fisik maupun psikis.

Menurut laporan Kompas.id berjudul “Lewat Media Sosial, Dukungan untuk Fatherless Mengalir” (10/10/2025), ribuan anak Indonesia menyuarakan perasaan kehilangan sosok ayah di media sosial. Mereka berbagi kisah pilu tentang tumbuh besar tanpa dekapan, tanpa nasihat, dan tanpa contoh nyata dari figur ayah.

Kondisi ini bukan sekadar masalah keluarga, melainkan krisis sosial yang mendalam. Dalam artikel lain berjudul “Bagaimana Dampak Ketiadaan Sosok Ayah bagi Tumbuh Kembang Anak” (Kompas.id, 10/10/2025), para psikolog menjelaskan bahwa anak-anak yang tumbuh tanpa peran ayah cenderung mengalami gangguan emosi, kesulitan membangun identitas diri, bahkan rentan terhadap perilaku menyimpang.

Fenomena fatherless bukan muncul dari ruang hampa. Ia adalah buah busuk dari sistem kapitalistik-sekuler yang menjadikan manusia sibuk mengejar materi, namun miskin makna dan kasih sayang.

Ketika Kapitalisme Mengubah Ayah Jadi Mesin Penghasil Uang

Fenomena ini bukan sekadar krisis keluarga, melainkan cermin dari sistem kehidupan yang pincang. Sistem kapitalistik-sekuler telah menjauhkan ayah dari fitrah kepemimpinannya. Ayah dipaksa sibuk bekerja dari pagi hingga malam demi memenuhi kebutuhan hidup yang terus melambung. Akibatnya, anak kehilangan waktu berharga bersama figur yang seharusnya menjadi pelindung utama mereka.

Psikolog keluarga Anna Surti Ariani, dalam wawancara dengan Kompas.com (15/01/2025), menjelaskan bahwa fatherless tidak hanya berarti ketiadaan fisik, tetapi juga “ketidakhadiran emosional” seorang ayah. Ketika ayah hanya hadir secara materi, anak kehilangan teladan dan kehangatan yang membentuk kepribadiannya.

Indonesia kini disebut sebagai fatherless country, yaitu negara dengan banyak ayah, tetapi sedikit yang benar-benar berfungsi sebagai ayah sejati. Sebuah ironi di negeri yang konon menjunjung tinggi nilai kekeluargaan.

Kondisi ini menimbulkan generasi father hungry atau lapar figur ayah. Anak-anak tumbuh dengan kerinduan terhadap sosok yang seharusnya menuntun, melindungi, dan menguatkan. Mereka mencari kasih sayang ke tempat lain, di antaranya kepada teman sebaya, media sosial, bahkan dunia virtual, dan sering kali tersesat di sana.

Seperti ditulis dalam VOI.id (11/10/2025), jutaan anak menjadi fatherless karena desakan ekonomi yang membuat ayah lebih banyak di luar rumah. “Mereka hadir, tapi tak benar-benar ada,” tulis laporan tersebut dengan nada getir.

Islam Memfungsikan Ayah sebagai Qawwam

Dalam pandangan Islam, ayah bukan sekadar pencari nafkah. Ia adalah qawwam, pemimpin, pelindung, dan pendidik bagi keluarganya. Namun, sistem sekuler telah mengikis makna kepemimpinan itu.

Ayah kehilangan fungsinya sebagai penegak nilai dan penjaga akhlak keluarga. Ia menjadi lelah oleh sistem yang menuntut produktivitas tanpa memberi ruang bagi spiritualitas. Ketika waktu tersita untuk dunia kerja, anak-anak tumbuh tanpa arahan. Inilah akar dari fatherless, yaitu hilangnya makna kepemimpinan dalam keluarga akibat sistem hidup yang salah arah.

Islam tidak menutup mata terhadap pentingnya peran ayah. Dalam Islam, ayah dan ibu memiliki fungsi yang sama penting, saling melengkapi, dan saling meneguhkan.

Allah Swt. berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”
(QS. At-Tahrim [66]: 6)

Ayat ini menegaskan tanggung jawab seorang ayah untuk menjaga keluarganya, bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga secara moral dan spiritual.

Rasulullah saw. juga bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya.”
(HR. Bukhari)

Ayah tidak hanya wajib menafkahi, tetapi juga mendidik, melindungi, dan membimbing anak-anaknya menuju keselamatan dunia dan akhirat.

Dalam sistem Islam, negara berperan besar dalam menjaga keseimbangan peran keluarga. Negara wajib menjamin pekerjaan yang layak bagi para ayah agar mereka tidak terjerat lembur tanpa akhir. Negara juga wajib menyediakan sistem pendidikan dan sosial yang menopang fungsi ayah dan ibu sebagai pendidik utama.

Sistem Islam pun menjamin setiap anak memiliki figur pelindung melalui sistem perwalian. Tidak ada anak yang kehilangan arah karena kehilangan ayah.

Rasulullah saw. adalah teladan terbaik. Beliau dikenal lembut, dekat dengan anak-anak, dan penuh kasih sayang. Abdullah bin Ja‘far ra. menuturkan:

“Ketika Rasulullah saw. pulang dari bepergian, beliau selalu disambut oleh anak-anaknya. Aku pernah disambutnya dengan gendongan, lalu Fathimah digendong di belakangnya. Kami bertiga pun masuk Madinah bersama-sama.”
(HR. Muslim)

Betapa indahnya keteladanan beliau sebagai pemimpin umat yang tetap meluangkan waktu untuk anak-anaknya.

Penutup

Fenomena fatherless tidak akan pernah selesai dengan kampanye media sosial semata. Ia hanya akan sembuh bila kita berani kembali kepada sistem yang menempatkan keluarga pada fitrahnya, yaitu Islam.

Islam memuliakan ayah sebagai pelindung, ibu sebagai pengasuh, dan anak sebagai amanah. Ketika syariat Allah diterapkan, ayah akan memiliki waktu, kekuatan, dan arah untuk membimbing anak-anaknya menuju jalan takwa.

Kita tak butuh ayah yang sempurna, tetapi ayah yang selalu ada, yang hadir dengan cinta, tanggung jawab, dan iman.

Rasulullah saw. bersabda:

“Yang terbaik di antara kalian adalah orang yang paling baik perlakuannya terhadap keluarganya.”
(HR. At-Tirmidzi)

Fatherless adalah gejala dari sistem yang salah arah. Ia bukan sekadar urusan rumah tangga, tetapi persoalan peradaban. Kapitalisme menciptakan ayah yang sibuk tetapi hampa, hadir tetapi tak berarti.

Islam memanggil kita untuk menata ulang makna keluarga. Sudah saatnya para ayah kembali pada fitrahnya, menjadi pemimpin, pelindung, dan penuntun menuju surga. Karena sejatinya, kehadiran ayah bukan sekadar di rumah, tetapi di hati anak-anaknya. []

Baca juga:

0 Comments: