Headlines
Loading...
Rugi Rp300 Triliun, Kapitalisme Rampas Kekayaan Umat

Rugi Rp300 Triliun, Kapitalisme Rampas Kekayaan Umat

Oleh: Ummu Inqilabyy
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Presiden Prabowo Subianto, dalam pidato resmi saat penyerahan aset rampasan dari enam smelter ilegal kepada PT Timah Tbk, mengungkapkan bahwa praktik pertambangan tanpa izin telah menyebabkan kerugian negara mencapai Rp300 triliun — sebuah angka yang mencerminkan bobroknya pengawasan terhadap sumber daya strategis nasional.
(indonesia.go.id, 8 Oktober 2025)

Sungguh miris, ribuan tambang ilegal masih beroperasi tanpa sanksi tegas. Ini bukan sekadar kelalaian, melainkan kegagalan sistemik dalam mengelola kekayaan negara.

Alih-alih memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terhadap tambang ilegal, pemerintah justru membuka akses pengelolaan tambang kepada koperasi dan UMKM. Padahal, langkah populis ini berpotensi memperburuk tata kelola sumber daya jika tidak dibarengi dengan kontrol yang transparan dan akuntabel.

Selama bertahun-tahun, lebih dari 1.000 titik tambang ilegal dibiarkan beroperasi di berbagai wilayah Indonesia. Aktivitas tanpa izin tersebut menyebabkan potensi kerugian negara hingga Rp300 triliun, termasuk dari sektor timah di Bangka Belitung dan batu bara di Kalimantan.
(mininginsider.id, 18 Agustus 2025)

Selain menggerus penerimaan negara, tambang-tambang ilegal ini juga merusak lebih dari 170.000 hektare lahan, menimbulkan kerusakan lingkungan besar-besaran, serta mencerminkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum dalam tata kelola sumber daya alam.

Swastanisasi tambang adalah bentuk perampasan atas kepemilikan umum yang seharusnya dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat. Dalam perspektif syariat Islam, tambang sebagai sumber daya strategis termasuk kategori milik umum (milkiyyah ‘ammah) yang haram diserahkan kepada individu atau korporasi swasta. Praktik ini tidak hanya mencederai prinsip keadilan sosial, tetapi juga melanggar hukum syar’i yang mengatur agar kekayaan tidak berputar di antara segelintir orang kaya saja.

Penyerahan pengelolaan tambang kepada koperasi dan UMKM tanpa persiapan matang hanyalah kebijakan populis yang berpotensi menciptakan masalah baru. Dengan keterbatasan modal, teknologi, dan sumber daya manusia, mereka sangat mungkin menggandeng pihak ketiga — termasuk pemodal besar yang selama ini menjadi aktor utama dalam perusakan lingkungan. Akibatnya, standar kelayakan teknis, keselamatan kerja, hingga perlindungan lingkungan bisa diabaikan demi keuntungan sesaat, sementara kerugian sosial dan ekologis ditanggung masyarakat.

Inilah kesalahan fatal dalam tata kelola tambang Indonesia — berakar dari penerapan sistem kapitalisme sekuler yang mendorong negara melepas tanggung jawabnya. Negara bukan hanya abai dalam mengelola sumber daya alam strategis, tetapi juga terhadap risiko kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Akibatnya, kekayaan yang seharusnya dikelola untuk kemaslahatan rakyat justru dimanfaatkan demi kepentingan segelintir elite, sementara masyarakat dan lingkungan menanggung akibatnya.

Pengelolaan tambang tanpa kontrol negara bertentangan dengan prinsip keadilan dan maslahat dalam Islam. Hal itu merampas hak kepemilikan umum, menimbulkan ketimpangan sosial, dan berpotensi merusak lingkungan. Karena itu, negara berkewajiban mengatur, mengawasi, dan memastikan manfaat sumber daya alam dirasakan secara adil dan berkelanjutan, sesuai amanah sebagai khalifah di muka bumi.

Swastanisasi tambang merupakan bentuk penguasaan harta milik umum yang bertentangan dengan prinsip syariah. Sumber daya alam adalah amanah Allah yang harus dikelola oleh negara untuk kemaslahatan umat secara adil. Allah Swt. berfirman:

“Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil...”
(QS. Al-Baqarah: 188)

Mengalihkan pengelolaan tambang kepada pihak swasta berarti menyerahkan hak rakyat kepada kepentingan pribadi — suatu bentuk penindasan dan pengkhianatan terhadap amanah khalifah. Karena itu, swastanisasi tambang hukumnya haram dan wajib ditolak demi menegakkan keadilan dan kemaslahatan umat.

Hakikat pengelolaan tambang sejatinya adalah amanah besar untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, bukan ajang eksploitasi segelintir pihak demi keuntungan pribadi atau korporasi.

Ketika sumber daya alam yang menjadi milik bersama diserahkan kepada mekanisme pasar bebas dan kepemilikan swasta tanpa pengawasan ketat negara, hak rakyat untuk menikmati hasil kekayaan alam akan terampas secara sistematis. Ini bukan hanya pengkhianatan terhadap prinsip keadilan Islam, tetapi juga bentuk penindasan ekonomi yang melemahkan kedaulatan dan martabat bangsa.

Pengelolaan tambang harus dikembalikan pada fungsi negara sebagai pelindung dan pengelola harta umat, agar manfaatnya benar-benar dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya segelintir elite yang mengeruk keuntungan tanpa batas. Kesejahteraan rakyat adalah tujuan utama, bukan laba semata.

Sistem politik dan ekonomi Islam secara tegas menjamin bahwa sumber daya alam adalah milik umum yang harus dikelola sesuai syariat untuk kemaslahatan umat, bukan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu.

Negara dalam Islam berperan sebagai wakil Allah di muka bumi yang memegang amanah untuk menjaga dan mengatur kekayaan alam agar tidak disalahgunakan. Dengan landasan Al-Qur’an dan Sunnah, segala bentuk penguasaan sumber daya alam yang merugikan rakyat — seperti swastanisasi tanpa kontrol syariah — adalah haram dan bertentangan dengan prinsip keadilan (‘adl) dan kemaslahatan umat.

Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya alam hanya boleh dilakukan dalam bingkai syariah yang menjamin distribusi manfaatnya secara adil dan merata bagi seluruh kaum Muslimin.

Negara adalah pengurus umat yang memikul amanah dari Allah untuk mengelola sumber daya alam demi kemaslahatan rakyat secara adil dan bertanggung jawab. Tambang sebagai harta umum milik umat harus dikelola langsung oleh negara, terutama tambang besar yang memiliki dampak luas, sedangkan tambang kecil boleh dikelola oleh rakyat dengan pengawasan ketat negara.

Segala pengelolaan tambang harus berada di bawah kendali negara, termasuk dalam menjaga kelestarian lingkungan. Mengabaikan tanggung jawab ini berarti mengkhianati amanah Allah dan merugikan umat. Dalam Islam, negara wajib menegakkan keadilan (‘adl) dan mencegah kerusakan (mafsadah), sehingga pengelolaan tambang tidak boleh diserahkan begitu saja kepada swasta yang berpotensi menindas rakyat dan merusak ciptaan Allah. [My]

Baca juga:

0 Comments: