Headlines
Loading...

Oleh: Ummu Faiha Hasna
(Pena Muslimah Cilacap)

SSCQMedia.Com — Sistem kapitalisme yang hari ini menguasai dunia telah membentuk cara pandang masyarakat terhadap kehidupan, termasuk dalam masalah rezeki dan ekonomi. Kapitalisme memisahkan agama dari urusan ekonomi sehingga ukuran keberhasilan hanya dilihat dari materi dan keuntungan.

Dalam sistem ini, manusia dituntut bekerja tanpa henti demi keuntungan segelintir pemilik modal. Sementara itu, akses terhadap kekayaan dan sumber daya dikuasai oleh sekelompok kecil. Akibatnya, muncul dua kelompok ekstrem dalam masyarakat: sebagian sibuk mengejar dunia hingga melupakan Allah, sementara sebagian yang lain jatuh dalam keputusasaan, pasrah terhadap keadaan, bahkan malas berusaha lalu membungkus sikapnya dengan istilah “tawakal”. Inilah yang membentuk kesalahpahaman tentang konsep tawakal.

Banyak orang mengira bahwa tawakal berarti menyerahkan diri kepada Allah tanpa usaha. Padahal sikap seperti itu bukanlah tawakal, melainkan ketergantungan kepada manusia (muttakilun).

Kapitalisme mendorong lahirnya generasi yang kehilangan daya juang. Sebab ketika akses pekerjaan sempit, harga kebutuhan tinggi, dan peluang usaha terbatas, lebih mudah bagi sebagian orang untuk bersandar pada bantuan sosial, utang, atau belas kasihan orang lain. Mereka menyebut diri bertawakal, padahal sejatinya terjebak dalam mentalitas pasif yang justru bertentangan dengan ajaran Islam.

Berbeda halnya dengan konsep tawakal yang dipraktikkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan, ketika Umar melintasi sekelompok orang, beliau bertanya kepada mereka, “Siapakah kamu?” Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang yang bertawakal (mutawakkilun).” Maka Umar pun menegur mereka dengan tegas, “Tidak, bahkan kamu adalah orang-orang yang mengandalkan pemberian manusia (muttakilun). Maukah kamu jika aku beritahukan siapa orang yang benar-benar bertawakal? Dia adalah seseorang yang menabur benih di tanah, kemudian berserah diri kepada Tuhannya.”

Kisah ini mengandung pelajaran penting bahwa tawakal sejati bukanlah meninggalkan usaha, melainkan melakukan ikhtiar maksimal lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah.

Para ulama menjelaskan bahwa kegiatan ekonomi seorang muslim harus melalui tiga tahapan yang selalu diiringi dengan tawakal.

Tahapan sebelum melaksanakan kegiatan, di sinilah seorang muslim mengambil sebab-sebab material: menyiapkan perencanaan, keterampilan, dan sumber daya. Tawakal mendorongnya untuk berani melangkah setelah melakukan persiapan yang matang.

Tahapan pelaksanaan, seorang muslim bekerja sesuai ketentuan syariat, tetapi hatinya tetap bergantung kepada Allah. Ia tidak menyandarkan keberhasilan pada kecerdasan (intelligence), kekuatan (strength), atau koneksi (connections) semata, melainkan menyadari bahwa semua berjalan atas izin Allah.

Tahapan setelah pelaksanaan, jika hasilnya sukses, tawakal menjaganya dari kesombongan. Ia sadar bahwa keberhasilan adalah karunia Allah, bukan semata hasil ilmu atau usahanya. Berbeda dengan Qarun yang congkak seraya berkata, “Sesungguhnya aku diberi harta ini karena ilmu yang aku miliki.” (TQS Al-Qashash: 78).

Kesombongan Qarun justru menghantarkannya kepada kebinasaan. Sebaliknya, jika usahanya gagal, tawakal membuat seorang muslim tetap tegar, tidak putus asa, dan tidak minder. Sebab, ia yakin bahwa yang terjadi adalah qadha dan qadar Allah, dan kebaikan selalu ada pada pilihan Allah.

Inilah perbedaan antara sistem kapitalisme dan sistem Islam. Sistem kapitalisme mencetak manusia yang rapuh, bergantung pada belas kasihan orang lain, atau sebaliknya menjadi sombong dengan harta dan kekuatannya. Sistem ini gagal memberikan keseimbangan antara ikhtiar dan iman karena orientasi hidup diarahkan kepada keuntungan materi.

Sementara itu, sistem Islam sebagaimana dicontohkan pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berhasil meluruskan pemahaman umat bahwa tawakal adalah energi spiritual yang menggerakkan kekuatan material.

Pada masa Umar, negara menata ekonomi dengan adil dan produktif. Tanah-tanah diberikan kepada rakyat agar dapat dikelola, bukan dikuasai segelintir pemilik modal. Baitulmal mengelola kekayaan umat untuk kemaslahatan bersama sehingga rakyat tidak terjebak pada ketergantungan, tetapi terdorong untuk aktif berusaha. Negara hadir untuk membuka peluang kerja, mengelola sumber daya, dan menjamin kebutuhan dasar rakyat.

Setiap individu diarahkan agar berusaha dengan benar sesuai tuntunan Islam. Dengan begitu, tawakal tumbuh secara sehat; rakyat bekerja keras, namun hatinya tidak tertipu oleh dunia karena sepenuhnya menyandarkan hasil kepada Allah.

Walhasil, kapitalisme telah melahirkan masyarakat dengan pemahaman yang rusak tentang tawakal, sehingga menumbuhkan sikap malas, fatalis, atau sombong. Akan tetapi, Islam dengan teladan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menunjukkan bahwa tawakal sejati adalah keseimbangan antara usaha maksimal dan ketundukan hati kepada Allah.

Dengan konsep ini akan lahir masyarakat yang mandiri, produktif, dan beriman, bukan masyarakat yang diperdaya oleh sistem yang zalim seperti kapitalisme.

Wallahu a‘lam.
[ry]


Baca juga:

0 Comments: