Membasmi Miras Tanpa Menyentuh Akar
Oleh: Wulan Syahidah
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — Pemerintah Kota Bogor baru-baru ini kembali memusnahkan ribuan botol minuman keras hasil razia dari berbagai titik. Jumlah miras yang dimusnahkan mencapai 38.875 botol dari hasil operasi penertiban selama periode Juli hingga Oktober 2025. Ribuan botol miras disita dari berbagai operasi di toko, warung, dan tempat hiburan yang menjual tanpa izin (Radarbogor, 7/10/2025).
Aksi ini tentu disambut positif oleh masyarakat, terutama mereka yang resah melihat maraknya peredaran miras di lingkungan perkotaan. Botol-botol yang dipecahkan di hadapan publik menjadi simbol ketegasan aparat dalam menegakkan aturan dan menjaga moralitas kota yang dikenal religius.
Namun, jika dicermati lebih dalam, aksi pemusnahan ini sejatinya hanyalah upaya memadamkan api di permukaan, sementara bara di bawahnya dibiarkan tetap menyala. Sebab, selama sistem hukum dan ekonomi yang berjalan masih memberi ruang legal bagi produksi, peredaran, bahkan penjualan minuman beralkohol di tempat-tempat tertentu, maka razia dan pemusnahan tidak lebih dari siklus tahunan tanpa akhir. Miras akan terus hadir dengan merek baru, izin baru, dan dalih baru.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masalah miras bukan sekadar urusan perilaku individu, melainkan terkait erat dengan paradigma sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam sistem sekuler, kebebasan individu dijadikan dasar hukum, sehingga seseorang bebas mengonsumsi atau menjual miras selama tidak melanggar aturan formal. Padahal, dari miras lahir berbagai kejahatan sosial seperti kekerasan, kecelakaan, pelecehan, bahkan pembunuhan.
Akibatnya, penanganan miras kerap dipandang sebatas urusan ketertiban umum, bukan pelanggaran moral yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat. Padahal, ketika kebebasan dijadikan ukuran utama, nilai benar dan salah menjadi relatif—apa yang dianggap maksiat oleh satu kelompok bisa dianggap hak individu oleh kelompok lain.
Islam memiliki pandangan yang tegas dan menyeluruh terhadap masalah ini. Khamr disebut sebagai ummul khaba’its (induk segala keburukan) karena merusak akal—alat utama manusia untuk berpikir dan membedakan baik serta buruk. Dalam sistem Islam, pengharaman khamr tidak berhenti pada larangan individu. Negara berkewajiban menutup seluruh rantai distribusinya, mulai dari produksi, penjualan, hingga konsumsi, serta menegakkan sanksi tegas bagi pelanggarnya.
Lebih dari itu, Islam membangun kesadaran masyarakat melalui pendidikan iman, bukan sekadar ketakutan terhadap razia. Masyarakat dididik agar menjauhi miras karena kesadaran akan dosa dan tanggung jawab di hadapan Allah, bukan karena ancaman hukum dunia. Ketika negara, masyarakat, dan individu berjalan dalam kerangka iman yang sama, maka pengawasan tidak lagi bergantung pada aparat, tetapi tumbuh dari hati setiap warga.
Pemusnahan botol miras di Kota Bogor memang langkah baik, namun belum menyentuh akar persoalan. Solusi sejati bukan sekadar menggencarkan razia, melainkan mengganti sistem yang menormalisasi maksiat dengan sistem yang menegakkan ketakwaan. Hanya dengan penerapan Islam kafah, kota akan benar-benar bersih, bukan hanya dari botol miras, tetapi juga dari budaya mabuk yang lahir dari kelalaian terhadap aturan Allah.
Ketika hukum Allah ditegakkan secara menyeluruh, masyarakat tidak hanya takut berbuat dosa, tetapi juga merasa mulia saat menaati perintah-Nya. Inilah pondasi sejati bagi peradaban yang bersih dan bermartabat, di mana kebijakan pemerintah berpadu dengan kesadaran rakyat untuk menjaga kehormatan umat. [US]
Baca juga:
0 Comments: