Ketika Peluh Seorang Perempuan Menjadi Cermin Riayah Bangsa.
Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Pagi belum sepenuhnya terang ketika langkah perempuan itu menapaki tanah berembun di kaki Gunung Karamat. Usianya telah senja, rambutnya memutih, namun tekadnya sekuat karang.
Setiap hari, ia berjalan kaki sejauh lima kilometer dari rumahnya di Cikole menuju ladang tempatnya bekerja. Dengan tangan renta, ia mencabuti rumput liar dan merawat sayur-sayuran yang bukan miliknya—semata demi sesuap nasi.
Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi, berkesempatan menemuinya pada Kamis, 2 Oktober 2025. Ia menyebut perempuan itu sebagai sosok tangguh yang patut dihormati atas kegigihannya mencari nafkah di usia lanjut (bapenda.jabarprov.go.id, 02/10/2025).
Namun di balik kekaguman itu, terselip getar halus dalam hati siapa pun yang mendengar kisahnya. Mengapa, di tanah yang katanya kaya, seorang ibu harus memikul beban seberat itu seorang diri?
Kisah ini bukan sekadar potret ketangguhan. Ia juga cermin luka tentang negara yang kadang hanya mampu berdecak kagum, tetapi belum sungguh hadir di tengah derita rakyatnya. Apakah kerja keras di usia senja cukup disambut dengan tepuk tangan semata? Ataukah justru itu tanda bahwa negara belum sepenuhnya menunaikan amanahnya?
Fakta ini menyentak nurani. Ketika seorang perempuan tua harus menaklukkan lima kilometer setiap hari demi bertahan hidup, itu bukan sekadar kisah inspiratif, melainkan alarm sosial. Negara seolah lupa bahwa kesejahteraan bukan hadiah, melainkan hak rakyat.
Sistem kapitalisme yang menjerat negeri ini membuat rakyat terus berlari di tempat. Pemerintah lebih sibuk menjual citra “apresiasi kemanusiaan” daripada menyelesaikan akar masalah. Mereka mengabadikan peluh rakyat dalam kamera, tetapi lupa menghapus air mata di pipinya.
Inilah wajah ketimpangan struktural: rakyat bekerja keras demi bertahan hidup, sementara penguasa sibuk mempertahankan kursi.
Ketika Derita Jadi Panggung Citra
Kisah perempuan Cikole ini memperlihatkan bagaimana derita bisa dijadikan panggung pencitraan.
Apresiasi memang baik, tetapi tanpa perubahan nyata, itu hanya hiasan kosong. Pemerintah seharusnya tidak berhenti pada empati simbolik, melainkan bergerak menuju solusi sistemik.
Islam mengingatkan bahwa pemimpin adalah ra‘in (pengurus) bagi rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda,
“Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim)
Kepemimpinan bukan tentang citra, melainkan tentang ri‘ayah (pengurusan) yang nyata. Ketika rakyat harus berjalan jauh demi sesuap nasi, itu tanda ada amanah yang belum ditunaikan.
Ketika Islam Menjawab dengan Sistem
Islam bukan hanya mengatur ibadah, tetapi juga menata kehidupan sosial dan ekonomi. Dalam sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah, kesejahteraan bukan jargon, melainkan kewajiban negara.
Khilafah memiliki Baitulmal—lembaga yang mengelola kekayaan umat secara adil. Dana ini berasal dari zakat, jizyah, kharaj, dan hasil pengelolaan sumber daya alam. Semua itu digunakan untuk menjamin kebutuhan rakyat, membiayai pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Khalifah memastikan laki-laki mendapat pekerjaan layak, sementara perempuan tidak dipaksa mencari nafkah di usia senja. Jika ada yang miskin, negara menanggungnya dengan zakat atau harta Baitulmal hingga ia keluar dari kemiskinan.
Inilah bentuk nyata keadilan sosial, bukan sekadar pujian terhadap ketangguhan individu.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, pernah ada seorang wanita tua yang kekurangan makanan. Umar turun langsung membawa gandum di pundaknya tanpa menyuruh prajuritnya. Ketika sahabat menawari bantuan, Umar berkata,
“Apakah engkau mau memikul dosaku di akhirat kelak?”
Begitulah wajah sejati pemimpin yang hadir, bukan sekadar kagum. Islam mengajarkan bahwa pemimpin sejati bukan yang banyak memberi pidato, tetapi yang ringan melangkah menanggung beban rakyatnya.
Allah Swt. berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.”
(QS Al-Anbiya [21]: 107)
Maka, seharusnya sistem Islam pun menjadi rahmat yang nyata bagi rakyat, bukan sekadar kisah indah di atas penderitaan.
Penutup
Kisah perempuan tangguh di Cikole seharusnya tidak lagi menjadi kisah yang dipuja, melainkan dijadikan cermin bagi pemerintah untuk berbenah.
Kita tidak butuh pemimpin yang sekadar memuji rakyatnya kuat. Kita butuh pemimpin yang membuat rakyatnya tidak perlu lagi berjalan sejauh lima kilometer hanya untuk bertahan hidup.
Sebab sejatinya, kesejahteraan bukan hasil perjuangan individu semata, melainkan buah dari sistem yang adil, yaitu sistem yang menempatkan manusia sebagai amanah, bukan alat pencitraan.
Dan sistem itu hanya akan terwujud ketika hukum Allah Swt. ditegakkan sepenuhnya di muka bumi. [My]
Baca juga:
0 Comments: