Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — Kekerasan dalam rumah tangga kembali menyeret nurani bangsa. Sudah menjadi berita harian, kasus demi kasus terus bermunculan. Baru-baru ini publik dikejutkan oleh tragedi memilukan di Malang: seorang suami siri tega membakar dan mengubur istrinya di kebun tebu. Di tempat lain, seorang remaja berusia 16 tahun tega membacok neneknya sendiri hanya karena disebut cucu pungut (beritasatu.com, 16-10-2025).
Tak berhenti di sana, kekerasan juga merambah usia remaja. Di Grobogan, seorang pelajar SMP meninggal akibat dikeroyok teman sekolahnya. Sementara di Jakarta, seorang remaja menjadi tersangka pembunuhan bocah SD dan terancam hukuman mati (beritasatu.com, 15-10-2025).
Rangkaian fakta ini bukan sekadar berita kriminal. Ia adalah cermin retaknya ketahanan keluarga dan lunturnya nilai kasih dalam rumah tangga. Ketika keluarga kehilangan makna, generasi pun kehilangan arah.
Menanggapi maraknya kekerasan di kalangan remaja, Tia M. Khoiriyah, S.Si., praktisi pendidikan, menilai bahwa hal ini adalah tanda lemahnya kemampuan remaja dalam mengelola rasa takut dan cemas.
“Semua kasus ini mencerminkan bahwa sebagian remaja lemah dalam mengelola rasa takut dan kecemasan sehingga memilih jalan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain,” ujarnya (muslimahnews.net, 24-8-2025).
Menurut Tia, kelemahan remaja tidak muncul tiba-tiba. Itu merupakan hasil akumulasi faktor eksternal: pola asuh yang keras, lingkungan sosial yang permisif terhadap kekerasan, dan lemahnya peran negara dalam melindungi generasi muda.
“Keluarga yang gagal menjadi teladan cenderung melahirkan anak yang rapuh secara emosional,” tambahnya.
Lebih jauh, Tia menyoroti krisis tanggung jawab negara. Dalam sistem sekuler, beban hidup keluarga diletakkan sepenuhnya di pundak individu. Banyak ibu bekerja tanpa pengawasan anak, banyak ayah pergi tanpa nafkah.
“Dalam situasi seperti ini, anak kehilangan figur pengasuh yang seharusnya menjadi teladan, pemberi arah, dan sumber kasih sayang,” tegas Tia.
Menyelami Akar Ideologis: Sekularisme dan Materialisme
Jika ditelisik lebih dalam, maraknya KDRT dan kekerasan remaja bukan hanya persoalan moral atau ekonomi. Akar terdalamnya adalah sekularisme. Sistem sekuler telah menyingkirkan nilai agama dari kehidupan. Ia menumbuhkan kebebasan tanpa batas dan menyingkirkan tanggung jawab spiritual. Akibatnya, keluarga kehilangan landasan takwa dan tanggung jawab moral.
Pendidikan sekuler-liberal membentuk generasi yang bebas tanpa arah, sementara materialisme mengukur kebahagiaan dengan harta. Tekanan hidup membuat orang tua mudah lepas kendali dan remaja mudah frustrasi.
Negara hanya menindak lewat hukum positif seperti UU PKDRT, tanpa menyentuh akar masalah: kerusakan sistemik dalam cara pandang terhadap manusia dan keluarga.
Sistem pendidikan hari ini hanya mengajarkan keterampilan, bukan karakter. Ia memisahkan ilmu dari nilai. Guru sibuk mengejar target akademik, bukan pembentukan akhlak. Kurikulum tak memberi ruang bagi penguasaan tsaqafah Islam atau pembentukan kepribadian yang kuat.
Keluarga kehilangan fungsi pendidikan. Orang tua lelah bekerja, anak-anak tumbuh di bawah asuhan media sosial. Masyarakat pun membiarkan budaya kekerasan dan hedonisme berkembang tanpa kontrol. Inilah wajah generasi yang kehilangan ruh.
Islam: Solusi yang Menyembuhkan, Bukan Menambal
Islam hadir bukan sekadar memberi hukum, tetapi menata seluruh sistem kehidupan agar manusia tumbuh dalam keseimbangan. Pendidikan Islam membentuk kepribadian bertakwa dan berakhlak mulia.
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada pemberian seorang ayah untuk anaknya yang lebih utama daripada (pendidikan) tata krama yang baik.” (HR. At-Tirmidzi)
Dalam keluarga Islam, suami adalah pemimpin yang menunaikan tanggung jawab dengan kasih, dan istri adalah pendamping yang menjaga kehormatan rumah tangga.
Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Ibnu Majah)
Negara dalam Islam berperan sebagai raa‘in (pelindung rakyat). Ia memastikan kebutuhan dasar terpenuhi agar keluarga tidak tertekan secara ekonomi.
Rasulullah saw. menegaskan, “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sistem Islam, pendidikan diarahkan untuk membentuk manusia yang beriman, berilmu, dan berkepribadian Islam. Sebagaimana disebut Ustaz Ismail Yusanto dalam Bunga Rampai Syariat Islam (hlm. 91), pendidikan Islam adalah upaya sadar dan terstruktur untuk menyukseskan misi penciptaan manusia sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi.
Sementara Syekh ‘Atha bin Khalil dalam Ususu at-Ta‘lim fi Daulah al-Khilafah menegaskan, kurikulum pendidikan harus berasaskan akidah Islam dan menghasilkan manusia yang berpikir serta bersikap berdasarkan syariat.
Masyarakat Islam pun berperan sebagai penjaga moral melalui amar makruf nahi mungkar.
Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan orang yang berpegang dengan hukum-hukum Allah dan yang melanggarnya itu bagaikan kaum yang sama-sama menaiki kapal. Jika mereka membiarkan, semuanya akan tenggelam; jika mereka menahan, semuanya akan selamat.” (HR. Bukhari)
Penutup
Kekerasan, baik di rumah tangga maupun di kalangan remaja, adalah tanda kerusakan sistemik—bukan hanya kesalahan individu, tetapi kegagalan sistem yang memisahkan kehidupan dari nilai ilahi.
Islam hadir sebagai sistem yang menyatukan iman, akhlak, dan keadilan sosial. Ia menyembuhkan luka keluarga, menumbuhkan kasih, dan menuntun remaja menuju ketenangan jiwa.
Sudah saatnya bangsa ini berhenti menambal dengan hukum dan program parsial. Kita harus membangun kembali sistem kehidupan yang berlandaskan Islam, agar keluarga kokoh, remaja tangguh, dan masyarakat beradab. [ry]
Baca juga:
0 Comments: