Headlines
Loading...
Keluarga dalam Cengkeraman Kapitalisme

Keluarga dalam Cengkeraman Kapitalisme

Oleh: Dian Harisah
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com — Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) meningkat setiap bulannya. Berdasarkan data Pusat Informasi Kriminalitas Nasional (Pusiknas) melalui laman pusiknas.polri.go.id pada 10 Oktober 2025, rata-rata kasus KDRT yang terlaporkan tiap bulan mencapai sekitar 1.000 kasus. Bahkan pada September 2025 telah menyentuh angka sepuluh ribu kasus terlapor. Masih berdasarkan sumber yang sama, mayoritas kasus KDRT dilakukan oleh orang terdekat, yakni teman dekat, suami, istri, orang tua, dan juga anak.

Makin maraknya kasus KDRT ini menunjukkan betapa rapuhnya bangunan ketahanan keluarga dalam sistem kehidupan kapitalisme. Keluarga bukan lagi tempat berlindung paling aman bagi anggotanya, tetapi justru menjadi perenggut kehormatan bahkan nyawa. Tak sedikit inses (hubungan sedarah) terjadi, ancaman dan pembunuhan dilakukan oleh anggota keluarga sendiri. Miris!

Keretakan bangunan keluarga ini berdampak secara langsung maupun tidak langsung pada perilaku remaja. Remaja dengan segala potensinya yang luar biasa, yang seharusnya mampu menorehkan prestasi, justru menjadi subjek kekerasan di lingkungan sekolah tempat mereka belajar. Remaja minim adab kian jamak ditemui, bahkan tanpa hati membunuh teman sendiri (Beritasatu.com, 15 Oktober 2025).

Mengapa semua itu terjadi? Layak untuk dipikirkan. Kasus KDRT tidak hanya terjadi di satu kota saja, tetapi marak di seluruh daerah. Semua itu berawal dari sistem kehidupan kapitalisme sekuler yang meniadakan peran agama dalam kehidupan nyata. Hal ini berdampak pada hilangnya arah, landasan, dan tanggung jawab keluarga.

Keluarga dan individu tanpa agama berarti hidup tanpa tuntunan dan petunjuk. Kehidupan sekuler seperti ini meniscayakan hilangnya takwa, baik pada individu, keluarga, maupun masyarakat. Semua hidup bebas tanpa memikirkan baik buruk, pahala dosa, dan lainnya. Dengan klaim hak asasi manusia, mereka justru mengebiri hak dan menindas yang lain.

Kapitalisme sekuler menjadikan makna kebahagiaan bersifat duniawi. Tekanan hidup yang meningkat begitu mudah memicu keretakan keluarga dan KDRT. Keluarga tak lagi menjadi peletak dasar kebaikan individu. Peran itu terkikis bahkan nyaris habis karena ayah dan ibu yang sibuk mencari nafkah tak lagi sempat mendidik generasinya.

Apalagi solusi yang diberikan negara untuk menyelesaikan problem keluarga hanya sebatas penerapan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) saja. Tentu pelaksanaan UU PKDRT ini tidak menyentuh akar masalah keluarga karena hanya menindak secara hukum tanpa mengubah sistem rusak yang menjadi penyebab utama terjadinya problem keluarga.

Ditambah lagi, pendidikan dalam sistem kapitalisme sekuler menumbuhsuburkan kebebasan tanpa batas dan sikap individualistik. Hal ini jelas merusak keharmonisan keluarga dan merusak generasi muda. Perilaku bebas di kalangan remaja menjerumuskan mereka ke dalam jurang kehancuran. Inilah cengkeraman kehidupan kapitalisme sekuler terhadap keluarga.

Berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang bertujuan membentuk individu berkepribadian Islam, bertakwa, dan berakhlak mulia. Pendidikan Islam tidak berorientasi sekadar pada aspek duniawi semata. Dengan begitu, setiap individu mampu bersikap dan mengambil keputusan yang benar terhadap setiap permasalahan hidupnya dengan cara pandang Islami. Mereka pun memahami peran dan tanggung jawabnya sebagai anak, istri, suami, maupun orang tua di masa depan.

Namun perlu diketahui, sistem pendidikan Islam tidak mungkin diterapkan tanpa adanya negara Islam yang menjalankan seluruh syariat Islam. Negara Islam inilah yang berperan menjaga penerapan aturan Islam dalam kehidupan berkeluarga, termasuk memastikan peran suami-istri berjalan baik, mencegah KDRT sejak awal, dan lainnya.

Negara Islam juga memastikan kesejahteraan dan keadilan setiap warga negaranya melalui berbagai sumber pemasukan negara, sehingga keluarga tidak tertekan secara ekonomi. Negara menjamin kebutuhan komunal masyarakat, antara lain pendidikan, kesehatan, dan keamanan, sehingga seorang ayah tidak perlu lagi menyisihkan penghasilannya untuk kebutuhan tersebut.

Negara tidak hanya mewajibkan laki-laki balig untuk bekerja, tetapi juga menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup dengan upah layak. Selain itu, negara dapat memberikan bantuan modal tanpa riba kepada warga negara yang memiliki keahlian tertentu.

Jika semua jaminan yang diberikan negara ini tidak mampu mencegah terjadinya KDRT, maka negara akan menegakkan sanksi tegas untuk menjerakan pelaku sekaligus mendidik masyarakat agar hidup sesuai dengan syariat Islam.

Wallahu a‘lam. [ry]


Baca juga:

0 Comments: