Oleh: Alfi Ummuarifah
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — Dunia penyelenggara umrah di Indonesia sedang geger. Banyak pihak terkejut dan kebingungan. Pasalnya, pemerintah baru saja menyepakati perubahan besar dalam regulasi penyelenggaraan ibadah umrah.
Dalam salinan UU Nomor 14 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 2019 mengenai Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, pasal 86 ayat (1) huruf b menyebutkan bahwa perjalanan ibadah umrah dapat dilakukan secara mandiri. Padahal, sebelumnya umrah hanya bisa dilakukan melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).
Disebutkan dalam pasal tersebut bahwa perjalanan ibadah umrah dapat dilakukan:
a) melalui PPIU,
b) secara mandiri, atau
c) melalui Menteri.
(Detik.com, 22 Oktober 2025)
Sekjen DPP Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI), Zaky Zakaria Anshary, menyatakan bahwa pasal baru ini membuat para pelaku usaha travel syok. Pasalnya, untuk pertama kalinya jamaah dapat melakukan umrah tanpa melalui PPIU berizin.
Sementara itu, Dr. Iqbal Alan Abdullah, M.Sc., CMMC, menilai legalisasi umrah mandiri berpotensi membawa dampak besar dan merugikan, baik dari sisi perlindungan jemaah maupun perekonomian nasional. Sebab, sekitar 4,2 juta pekerja selama ini menggantungkan hidupnya pada sektor haji dan umrah.
Ancaman Kapitalisasi Umrah
Kekhawatiran ini bukan semata soal hilangnya pangsa pasar, tetapi juga menyangkut tergerusnya fondasi ekonomi keumatan. Dengan dibukanya peluang umrah mandiri, perusahaan besar atau marketplace global seperti Agoda, Traveloka, Tiket.com, bahkan platform asing seperti Nusuk dan Maysan, bisa langsung menjual paket perjalanan kepada jamaah Indonesia.
Mereka memiliki modal besar dan strategi bakar uang yang sulit disaingi oleh travel-travel berbasis umat.
Jika hal ini dibiarkan, bukan hanya PPIU kecil-menengah yang akan tumbang, tetapi juga rantai ekonomi domestik — mulai dari hotel syariah, katering halal, penerjemah, hingga penyedia TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) di sektor jasa — terancam lenyap.
UU PIHU yang baru memang menyebutkan dua batas pengaman, yakni penyedia layanan dan sistem informasi kementerian. Namun, muncul pertanyaan:
Siapa yang dimaksud dengan “penyedia layanan”? Apakah hanya PPIU/PIHK berizin, ataukah termasuk marketplace global?
Demikian pula, apa yang dimaksud dengan “sistem informasi kementerian”? Apakah sekadar pelaporan administratif, atau aplikasi satu pintu yang justru membuka peluang bagi perusahaan asing untuk menjual paket umrah langsung kepada jamaah Indonesia?
Jika skenario terakhir yang terjadi, maka aroma kapitalisasi umrah semakin terasa. Ekosistem umrah berbasis keumatan bisa runtuh sepenuhnya. Pengangguran menanti—di depan mata.
Politik Umrah dalam Islam
Dalam Islam, negara memang wajib menyediakan layanan umrah yang memudahkan individu untuk beribadah secara mandiri. Namun, negara tidak boleh menyerahkan urusan ini kepada pihak-pihak yang menjadikan layanan ibadah sebagai ladang bisnis, apalagi yang membuat arus ekonomi berputar hanya di segelintir orang.
Negara seharusnya mengambil alih tugas ini dengan prinsip melayani, bukan memperdagangkan ibadah. Jika ada pihak lain yang ditunjuk membantu, mereka seharusnya hanya menerima upah layanan, bukan keuntungan monopoli.
Negara juga wajib menutup celah penguasaan kapitalis atas layanan ibadah. Biaya umrah tidak boleh menjadi mahal akibat permainan harga dari pihak swasta.
Apalagi, bila perusahaan besar seperti Traveloka atau Agoda masuk ke sektor ini, bukan mustahil mereka akan menguasai pasar dan menyingkirkan lembaga-lembaga umrah berbasis umat. Kapitalis besar mendapatkan “mangsa” baru yang gurih—bisnis yang semestinya berorientasi ibadah berubah menjadi komoditas ekonomi.
Kembali ke Negara dan Syariat
Sudah saatnya kebijakan layanan umrah dikembalikan kepada negara yang berlandaskan syariat Islam. Jika diatur dengan prinsip syariah, biaya umrah justru bisa lebih murah, transparan, dan berpihak kepada jemaah.
Bagaimana dengan lapangan kerja?
Negara wajib menciptakan peluang kerja dari sektor lain yang selama ini masih dikuasai kapital asing—seperti pertambangan, industri, pertanian, dan perdagangan. Semua itu harus dikembangkan oleh negara dan diperuntukkan bagi masyarakat Indonesia.
Negara juga perlu memperbaiki iklim bisnis syariah, memberikan akses pembiayaan tanpa riba, menyederhanakan birokrasi, serta memastikan regulasi tidak berpihak pada asing dan aseng.
UU penyelenggaraan umrah yang baru ini seolah menjadi sinyal kuat bahwa kapitalisasi layanan ibadah semakin nyata. Ada indikasi keberpihakan negara kepada pihak pemodal asing.
Jika hal ini benar, maka wajah negeri ini kian tampak kapitalistik, vulgar, dan berani memihak asing. Inilah cerminan kapitalisme yang nyata dalam bidang ibadah—termasuk umrah.
Padahal, umrah dan haji adalah ibadah untuk menyambut tamu Allah, bukan ajang bisnis yang tamak dan rakus. Jika prinsip pelayanan berubah menjadi ajang komersialisasi, maka korupsi dan ketimpangan akan menjadi konsekuensi berikutnya.
Sudah saatnya negara mengambil alih kembali urusan haji dan umrah berdasarkan syariat Islam, agar pelayanan ibadah ini benar-benar kembali pada fitrahnya: melayani jamaah demi ridha Allah, bukan melayani pasar demi laba. [My]
Baca juga:
0 Comments: