Headlines
Loading...
KDRT dan Perundungan: Cermin Retak Masyarakat Sekuler

KDRT dan Perundungan: Cermin Retak Masyarakat Sekuler

Oleh: Nila Yustisa Paramitha, S.Ip
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com — Hari ini, keluarga yang nyaman dan aman bisa dikatakan “bagai gigi ayam”—sangat langka. Merebaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi tanda serius bahwa ada sesuatu yang salah dalam fondasi masyarakat kita.

Di Malang, Jawa Timur, seorang suami tega membakar istrinya hanya karena cekcok urusan rumah tangga. (BeritaSatu, 16 Oktober 2025). Masih di Jawa Timur, seorang remaja berusia 16 tahun membacok neneknya hanya karena disebut cucu pungut. (BeritaSatu, 16 Oktober 2025)
Tak kalah tragis, di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, seorang ayah berulang kali melakukan kekerasan seksual terhadap anak kandungnya sendiri. (Kompas, 18 Oktober 2025)
Bahkan di lingkungan kampus, perundungan pun berujung maut—seorang mahasiswa Universitas Udayana diduga mengakhiri hidupnya setelah menjadi korban bullying. (BBC Indonesia, 22 Oktober 2025)

Kekerasan dalam rumah tangga jarang berhenti di dalam dinding rumah. Anak-anak yang tumbuh di tengah amarah belajar bahwa kekuatan lebih penting daripada kasih sayang. Mereka menyerap kekerasan bukan hanya lewat pukulan, tetapi juga melalui cara bicara dan cara memandang orang lain. Tak heran, ketika mereka tumbuh remaja, pola yang sama terulang—dalam bentuk bullying di sekolah atau kekerasan antar teman sebaya.

Namun akar masalahnya tak sesederhana “orang tua jahat” atau “remaja nakal”. Kita hidup di zaman yang menyingkirkan agama dari kehidupan. Sekularisme membuat manusia memisahkan nilai ilahi dari cara berpikir dan bertindak. Akibatnya, pendidikan kehilangan arah moral, keluarga kehilangan kendali, dan masyarakat kehilangan empati.

Sekularisme dan liberalisme berjalan beriringan. Ketika sekularisme menyingkirkan agama dari sistem hidup, liberalisme datang membawa kebebasan tanpa batas sebagai gantinya. Keduanya sama-sama menolak batas ilahi—yang satu menghapus sumber nilai, yang lain menuhankan pilihan pribadi.

Di sekolah, moral diajarkan sebatas etika sosial, bukan ibadah. Di media, kebebasan dijunjung tanpa arah. Dalam hukum, agama dianggap urusan pribadi. Perlahan tapi pasti, masyarakat kehilangan arah nilai, dan keluarga menjadi korban pertama.

Negara pun ikut memperkuat arus ini. Sistem pendidikan, ekonomi, dan hukum diatur dengan logika sekuler: memisahkan urusan dunia dari agama. Maka jangan heran, kekerasan tumbuh di tanah yang gersang dari nilai ketakwaan. Ketika manusia kehilangan panduan wahyu, yang tersisa hanyalah hukum rimba—yang kuat menindas yang lemah, dari ruang tamu hingga ruang kelas.

Budaya liberal juga menanamkan gagasan bahwa setiap orang bebas menentukan kebenarannya sendiri. Namun tanpa iman, kebebasan justru berubah menjadi penjara baru: manusia dikuasai oleh hawa nafsunya sendiri. Itulah sebabnya banyak remaja mudah tersulut emosi, kehilangan hormat kepada orang tua, dan merasa dunia berputar di sekeliling dirinya.

Negara memang membuat hukum untuk menindak pelaku KDRT atau bullying, tetapi itu hanya mengobati luka di permukaan. Akar masalahnya tetap pada sistem yang menyingkirkan syariat dari kehidupan. Selama pendidikan, ekonomi, dan hukum tidak berpijak pada nilai Islam, kekerasan akan terus berulang.

Islam menawarkan jalan lain. Ia menata manusia, bukan sekadar perilaku. Syariat mengajarkan takwa, adab, dan tanggung jawab sejak dari rumah. Suami diposisikan sebagai pelindung, bukan penguasa. Istri dimuliakan sebagai penjaga kasih dan ketenangan. Semua diatur bukan untuk membatasi cinta, tetapi untuk melindunginya dengan takwa.

Negara dalam pandangan Islam bukan sekadar penegak hukum, melainkan penanggung jawab kesejahteraan rakyat. Pemimpin adalah raa‘in—penggembala yang memastikan setiap keluarga hidup layak. Ketika ekonomi adil dan kebutuhan dasar terpenuhi, tekanan hidup berkurang. Keluarga pun bisa fokus membangun cinta dan pendidikan, bukan sekadar bertahan hidup.

Syariat memang memiliki sanksi, tetapi tujuannya bukan untuk membalas dendam. Ia mendidik manusia agar tahu batas dan takut berbuat zalim. Pelaku kekerasan jera bukan karena takut penjara, melainkan karena sadar dosa.

Sejarah Islam mencatat hal ini dengan jelas. Pada masa Rasulullah ï·º, rumah tangga dibangun di atas keimanan, bukan gengsi. Saat terjadi perselisihan, beliau menengahi dengan kelembutan, bukan ancaman. Pada masa Khulafaur Rasyidin, negara menjaga rakyatnya dari tekanan ekonomi dan ketidakadilan. Umar bin Khattab bahkan menegur pejabat yang lalai menjamin kesejahteraan warganya, karena kemiskinan bisa menyeret manusia pada kekufuran.

Di bawah naungan khilafah, pendidikan menanamkan akhlak, bukan hanya pengetahuan. Negara menjamin keadilan dan kesejahteraan hingga keluarga hidup tenang dan masyarakat aman dari kekerasan.

Sejarah ini bukan romantisme, melainkan bukti nyata: ketika sistem Islam ditegakkan, kekerasan tidak dibiarkan tumbuh—karena iman, adab, dan tanggung jawab berjalan seiring.

Wallahualam bissawab. [My]


Baca juga:

0 Comments: