Oleh: Nila Yustisa Paramitha, S.Ip
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — Genosida yang dilakukan oleh militer Israel sudah sangat keterlaluan. Dalam dua tahun terakhir, mereka terus melakukan penyerangan ke Gaza tanpa henti. Solidaritas internasional pun bermunculan di berbagai negara, termasuk melalui gerakan Global Sumud Flotilla yang berencana membawa bantuan kemanusiaan ke Gaza. Namun, kapal mereka dicegat oleh militer Israel. Para aktivis di kapal tersebut melaporkan bahwa mereka diperlakukan dengan kekerasan fisik dan psikologis, dipaksa berlutut, ditahan secara paksa, bahkan ada yang dideportasi. (Detik.com, 5 Oktober 2025)
Di berbagai negara Eropa, aksi protes bermunculan sebagai bentuk solidaritas terhadap Gaza dan kecaman terhadap Israel atas penangkapan flotilla tersebut. Di Indonesia, aksi serupa juga terjadi. (Merdeka.com, 4 Oktober 2025)
Aksi-aksi yang banyak dipimpin atau diikuti oleh Gen Z menunjukkan dua hal penting: pertama, adanya empati transnasional yang kuat; kedua, kemampuan mereka memobilisasi gerakan dengan cepat melalui jaringan sosial. Energi ini membuktikan bahwa narasi kemanusiaan masih memiliki resonansi luas—kekuatan moral yang dapat digunakan untuk menekan kebijakan yang menghambat bantuan kemanusiaan.
Gen Z memiliki dua modal besar dalam menggerakkan massa: kecepatan dan kredibilitas horizontal. Mereka lahir di ekosistem digital yang cair—bukan sekadar pengguna, melainkan pembentuk arus informasi. Dalam hitungan jam, pesan bisa berpindah dari ruang obrolan ke jalanan, apalagi jika disertai visual yang kuat dan narasi moral yang sederhana. Mereka mampu menjaga momentum agar tetap menjadi gerakan sadar, bukan sekadar trending topic.
Penangkapan kapal bantuan tersebut menunjukkan bahwa Israel menggunakan cara-cara ilegal yang telah dikecam oleh masyarakat dunia. Mereka bukan hanya menyerang gerakan yang mereka kambinghitamkan seperti Hamas, tetapi juga menindas para aktivis kemanusiaan.
Tindakan itu menyingkap wajah asli Zionis Israel kepada dunia. Mereka tidak pernah memahami bahasa kemanusiaan maupun diplomasi. Satu-satunya bahasa yang mereka pahami adalah peperangan. Jelas bahwa Zionis Israel adalah institusi haus perang yang mendapat dukungan penuh dari Amerika Serikat. Karena itu, meskipun dunia menyerukan pembebasan Palestina, ketika AS menolak, gugurlah opsi tersebut.
Two-State Solution
Sejak awal, PBB menjadi panggung utama bagi gagasan two-state solution (solusi dua negara). Pada 1947, melalui Resolusi Majelis Umum 181, PBB mengusulkan pembagian wilayah Palestina Mandat Inggris menjadi dua negara: satu Yahudi dan satu Arab, dengan Yerusalem di bawah administrasi internasional.
Israel menerima usulan itu, tetapi pihak Arab menolak karena pembagian tersebut dianggap tidak adil—memberikan lebih dari separuh wilayah kepada populasi Yahudi yang saat itu jumlahnya jauh lebih sedikit. Setelah Israel memproklamasikan kemerdekaannya pada 1948, perang pun pecah dan batas wilayah berubah total; negara Palestina yang diusulkan tak pernah terbentuk.
Sejak saat itu, PBB tetap menjadi ruang formal untuk menjaga gagasan dua negara tetap hidup.
Beberapa resolusi penting antara lain:
-
Resolusi Dewan Keamanan 242 (1967) dan 338 (1973) yang menegaskan prinsip “tanah untuk perdamaian” setelah Perang Enam Hari—menuntut Israel mundur dari wilayah yang didudukinya (Tepi Barat, Gaza, Yerusalem Timur, Dataran Golan, dan Sinai).
-
Resolusi 1397 (2002) yang untuk pertama kalinya secara eksplisit menyebut visi dua negara: “Israel dan Palestina hidup berdampingan dalam batas yang aman dan diakui.”
Namun, PBB tidak memiliki kekuatan politik yang cukup untuk memaksa realisasi resolusi-resolusi tersebut. Negara-negara anggota memiliki kepentingan masing-masing—terutama Amerika Serikat yang kerap menggunakan hak veto untuk melindungi Israel. Akibatnya, posisi PBB kini lebih seperti penjaga simbolik ide dua negara: terus menyerukan, tetapi tak mampu memastikan jalannya.
Solusi Islam atas Palestina
Ketidakmampuan PBB ini menunjukkan bahwa solusi dua negara tidak akan pernah benar-benar menyelesaikan masalah Palestina. Satu-satunya jalan adalah hadirnya kekuatan yang seimbang untuk menghadapi Israel dan Amerika Serikat—kekuatan superpower yang sebanding di bidang militer dan politik.
Sayangnya, kekuatan semacam itu belum ada di dunia saat ini. Israel didukung penuh oleh AS, sementara kaum muslimin tidak memiliki kekuatan global yang dapat melindungi mereka. Lebih parah lagi, negara-negara tetangga seperti Arab Saudi dan Mesir justru melakukan pengkhianatan dengan memprioritaskan kepentingan nasionalnya masing-masing. Sekat-sekat inilah yang semakin memperparah penderitaan Palestina.
Satu-satunya solusi untuk menyelesaikan persoalan Palestina adalah tegaknya institusi negara yang berlandaskan Islam—yang menjamin hak-hak kaum muslimin, melindungi darah, jiwa, dan harta mereka. Sebuah institusi sebagaimana yang pernah dibangun oleh Rasulullah Muhammad saw. di Madinah, lalu diteruskan oleh para Khulafaur Rasyidin dan khalifah setelahnya.
Gen Z yang memiliki potensi besar dalam memobilisasi gerakan massa hendaknya mengarahkan energinya untuk memperjuangkan solusi Islam yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw..
Wallahualam bissawab. [My]
Baca juga:
0 Comments: