BLT dan Magang Nasional, Solusi Semu di Tengah Krisis Struktural
Oleh: Pudji Arijanti
(Pegiat Literasi untuk Peradaban)
SSCQMedia.Com— Pemerintah kembali menggulirkan berbagai program stimulus ekonomi di penghujung 2025. Melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, negara mengumumkan penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp30 triliun untuk lebih dari 35 juta keluarga penerima manfaat (KPM) yang akan disalurkan selama Oktober hingga Desember 2025.
Tak hanya itu, pemerintah juga membuka program magang nasional bagi 100 ribu fresh graduate yang akan berlangsung pada Oktober dan November tahun ini (Antara, 17 Oktober 2025).
Sekilas, dua program ini tampak seperti angin segar di tengah tekanan ekonomi yang belum juga pulih. Akan tetapi, di balik angka triliunan rupiah dan jargon pemulihan ekonomi, tersimpan pertanyaan mendasar: benarkah stimulus dan program magang ini mampu menyehatkan perekonomian nasional, atau justru hanya menjadi solusi semu di tengah krisis struktural yang tak kunjung diurai?
Solusi Tambal Sulam Kapitalisme
Program stimulus ekonomi berupa BLT dan magang nasional sejatinya hanyalah bagian dari agenda quick wins pemerintah, kebijakan instan yang tampak memberi manfaat, namun tidak menyentuh akar persoalan. Pemerintah seolah berlomba menghadirkan kebijakan yang mudah diterima publik, padahal substansinya hanya bersifat reaktif dan sementara.
Problem mendasar bangsa ini adalah kemiskinan dan pengangguran struktural yang lahir dari sistem ekonomi kapitalistik. BLT hanya mengalirkan uang sesaat tanpa mengubah pola distribusi kekayaan yang timpang, sementara magang nasional sekadar menampung tenaga kerja muda tanpa memastikan ketersediaan lapangan kerja permanen yang layak.
Kebijakan semacam ini hanyalah solusi praktis-pragmatis ala kapitalisme sekuler yang memandang kesejahteraan dari sisi angka dan konsumsi, bukan dari keadilan distribusi dan keberkahan sistem. Akibatnya, setiap kali krisis datang, yang lahir hanyalah kebijakan tambal sulam yang menenangkan sementara, tetapi gagal mengubah realitas ekonomi umat yang semakin rapuh.
Solusi Hakiki: Paradigma Politik dan Ekonomi Islam
Solusi atas kemiskinan dan pengangguran tidak cukup dengan kebijakan karitatif seperti BLT atau program magang, melainkan membutuhkan paradigma politik dan ekonomi yang berasas syariat Islam.
Dalam aspek politik, negara dalam pandangan Islam berperan sebagai ra‘in (pelayan umat) yang wajib memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar setiap warga negara, yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan, dan pendidikan. Negara tidak boleh lepas tangan, apalagi menyerahkan urusan rakyat pada mekanisme pasar atau belas kasihan swasta.
Sedangkan dalam aspek ekonomi, Islam menempatkan negara sebagai pengelola sekaligus pengatur distribusi kekayaan agar tidak hanya berputar di kalangan tertentu. Harta milik umum seperti sumber daya alam, tambang, energi, air, dan hutan harus dikelola negara dan hasilnya dikembalikan sepenuhnya untuk kesejahteraan masyarakat.
Rasulullah saw. bersabda:
“Kaum Muslimin berserikat dalam tiga perkara: air, padang (tanah/penggembalaan), dan api.”
(HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Dengan mekanisme ini, lapangan kerja terbuka luas, harga kebutuhan pokok stabil, dan kesejahteraan tidak lagi bergantung pada utang riba atau subsidi sementara. Inilah sistem yang terbukti mampu melahirkan kesejahteraan hakiki di masa peradaban Islam, ketika negara benar-benar menjadi pelayan rakyat, bukan pelayan korporasi.
Pendekatan ini menghadirkan solusi jangka panjang yang bukan hanya menangani gejala kemiskinan, tetapi juga mengatasi akar persoalan ketimpangan ekonomi dan pengangguran secara menyeluruh dan berkelanjutan. Dengan paradigma politik dan ekonomi yang sesuai syariat, negara menjalankan peran sebagai pelayan umat dan pengelola sumber daya untuk kesejahteraan hakiki seluruh rakyat, bukan hanya sebagian kecil elite atau korporasi.
Untuk itu, sudah saatnya umat menyadari bahwa kemiskinan dan pengangguran bukan sekadar masalah teknis, melainkan buah dari sistem kapitalisme sekuler yang cacat dari asasnya. Selama paradigma ini dipertahankan, kesenjangan ekonomi akan terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Hanya dengan kembali kepada sistem Islam secara kaffah, di mana negara menegakkan keadilan, mengelola kekayaan rakyat dengan amanah, dan menyalurkannya untuk kemaslahatan umat, kehidupan sejahtera dan berkeadilan dapat benar-benar terwujud.
Wallahualam bissawab. [Hz]
Baca juga:
0 Comments: