Oleh: Nurul Lailiya
(Aktivis Muslimah)
SSCQMedia.Com— Salah satu hal yang menyesakkan dada adalah ketika merasakan keberadaan sosok ayah dalam keluarga yang selalu menghabiskan waktu untuk mencari nafkah dan pulang dalam keadaan lelah. Hal ini tentu saja membuat anak-anak memahami bahwa saat ayah mereka pulang adalah waktu bagi ayah untuk beristirahat. Jadi, jangankan untuk bermanja-manja atau berbagi cerita dengan ayah, sekadar mendekat pun sang anak tidak berani karena khawatir mengganggu ayah yang lelah bekerja seharian.
Hal itu hampir dirasakan oleh semua anak. Ayah-ayah mereka selalu sibuk mencari nafkah sejak pagi hingga sore, kadang ada juga yang pulang malam. Ada pula yang tidak sempat bertemu ayahnya karena saat ia belum bangun, sang ayah sudah harus berangkat kerja agar tidak terjebak macet, dan mirisnya ayah baru pulang saat anaknya telah terlelap dalam pelukan malam.
Terkadang saat ayah sudah tiba di rumah dan sang anak masih terjaga pun, ia tidak serta-merta bisa bersantai dan bercengkrama dengan keluarga. Ia harus segera bergegas mandi, salat, makan, lalu menyelesaikan tugas yang belum terselesaikan di kantor.
Kenyataan ini membuat anak-anak selalu merindukan hari Ahad atau tanggal merah, karena saat itu kantor dan sekolah libur. Di hari libur ayah tidak ke kantor, mereka pun tidak sekolah—sebuah waktu yang tepat untuk bersantai atau berekreasi bersama keluarga. Namun, rencana itu lenyap ketika diketahui bahwa ayah harus tetap lembur bahkan di hari libur. Framing bahwa ayah adalah sosok pencari nafkah semakin kuat, karena di hari libur pun ia tetap bekerja. Maka, rencana rekreasi bersama ayah gagal dilaksanakan, dan anak-anak hanya bisa bermain di rumah karena ayah tetap harus bekerja.
Perlu diketahui bahwa pengasuhan anak bukanlah semata-mata menjadi tugas dan kewajiban ibu, sedangkan tugas ayah hanya mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Tugas mengasuh anak merupakan kewajiban kedua orang tua, yakni ayah dan ibu. Dalam hal ini, anak tidak hanya membutuhkan bimbingan, kasih sayang, dan teladan dari ibunya, tetapi juga dari ayahnya. Kehadiran ayah sebagai pendidik emosional dan teladan utama bagi anak-anak berperan penting dalam perkembangan jiwa mereka.
Tagar.co edisi 8 Oktober 2025 mengutip data yang dipublikasikan oleh Kompas pada tanggal yang sama. Data tersebut menunjukkan kenyataan mengejutkan bahwa sekitar seperlima anak Indonesia, atau 20,1 persen (15,9 juta anak), tumbuh tanpa pengasuhan ayah atau mengalami keadaan yang disebut fatherless. Angka ini menunjukkan persoalan mendalam dalam struktur keluarga dan budaya kerja di Indonesia yang menempatkan ayah semata sebagai sosok pencari nafkah. Hasil survei yang sama juga menunjukkan bahwa setiap pekan, ayah menghabiskan lebih dari 60 jam untuk bekerja.
Kurangnya peran ayah secara emosional dalam perkembangan anak turut memengaruhi kondisi emosional mereka. Anak menjadi pribadi yang kurang percaya diri, menarik diri dari pergaulan, sedih, depresi, hingga mengalami kesulitan mengelola emosi dan menjadi pribadi yang kasar atau kurang sopan. Tidak hanya itu, kurangnya peran ayah juga dapat membuat mereka terjerumus pada penggunaan narkoba, seperti dilansir oleh Halodoc.com edisi 30 September 2025. Dapat dibayangkan, jika seorang anak telah terjerat narkoba maka masa depannya akan hancur bahkan nyawanya pun terancam.
Sebuah masalah besar yang dianggap sepele, karena hingga saat ini belum ada kebijakan pemerintah yang mampu menyelesaikannya. Pemerintah seolah tidak peduli terhadap keadaan rakyat, terutama generasi muda. Fokus pemerintah hanya membuat kebijakan yang menguntungkan diri sendiri dan para pemilik modal. Mereka hanya ingin rakyat bekerja keras seharian demi kelancaran ekonomi negara, sementara tanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan rakyat tidak pernah dipikirkan. Itulah hasil penerapan peraturan buatan manusia yang lemah, yakni aturan yang membebaskan hawa nafsu tanpa dasar keimanan sebagai pengendali.
Kehidupan harmonis hanya bisa diwujudkan dalam sistem bernegara yang menjadikan Islam sebagai pengatur dan pengendali. Islam menempatkan ayah dan ibu dalam peran yang sama-sama penting. Selain berkewajiban memberi nafkah, ayah juga wajib memberi teladan dalam pendidikan anak, seperti yang dicontohkan oleh Luqman dalam QS. Luqman ayat 13 yang artinya:
“Wahai anak-anakku, janganlah engkau mempersekutukan (syirik) Allah. Sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang besar.”
Islam mewajibkan setiap ayah untuk hadir sebagai sosok yang tidak hanya bertanggung jawab memenuhi kebutuhan jasmani keluarga, tetapi juga bertanggung jawab atas keimanan keluarganya. Sejak dini anak-anak harus dikenalkan kepada Allah Swt., diajarkan taat beribadah kepada-Nya, serta dijauhkan dari perbuatan syirik karena itu termasuk dosa besar.
Tidak hanya mampu memberi nasihat dan pemahaman Islam, ayah juga harus menjadi teladan dalam sikap dan perilakunya sehari-hari, mulai dari bangun pagi hingga menjelang tidur di malam hari. Hal ini dapat terwujud dengan adanya dukungan dari negara Islam (daulah) yang membuka lapangan kerja dengan upah layak bagi kepala keluarga, sehingga mereka mampu memberi nafkah untuk anak dan istrinya. Dengan demikian, keluarga dapat hidup sejahtera.
Selain itu, jaminan kehidupan yang sesuai fitrah manusia juga diberikan oleh negara. Tidak akan ada lagi kepala keluarga yang harus lembur hingga larut malam atau berhari-hari demi memenuhi nafkah keluarga yang berakibat kehilangan waktu berkumpul bersama keluarga. Bahkan bagi anak-anak yang kehilangan sosok ayah karena kematian atau perceraian, Islam tetap menjamin pemenuhan kasih sayang melalui sistem perwalian. Wali mereka wajib berperan seperti ayah kandung, mencukupi nafkah serta memberikan kasih sayang.
Itulah bukti lengkapnya aturan Allah Swt., aturan yang tidak hanya menjaga kesejahteraan fisik, tetapi juga kedamaian jiwa umat-Nya, karena aturan itu selaras dengan fitrah manusia. Sungguh, aturan ini tidak bisa ditandingi siapa pun.
Wallahualam bissawab. [Hz]
Baca juga:
0 Comments: