Headlines
Loading...

Oleh: Nirwana Sadili
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com — Suasana pagi di Madrasah Aliyah begitu cerah, dipenuhi hiruk pikuk suara siswa yang riang gembira. Sekolah yang terletak di lereng gunung itu terasa sejuk, menambah kesegaran di pagi hari. Di tengah keramaian itu, Alesha dan Nadiah, dua sahabat karib, berjalan beriringan menuju kelas mereka. Mereka sudah lama bersekolah di sana dan selalu berada di kelas yang sama. Hari itu, jam pelajaran terakhir adalah mata pelajaran kimia, pelajaran yang menguras pikiran, tetapi dua gadis ini sangat menikmatinya.

Bel pulang sekolah berdering nyaring, memecah kesunyian sore. Alesha dengan sigap memasukkan semua bukunya ke dalam tas ransel. Perutnya sudah meronta-ronta kelaparan. Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya. Ia duduk di kelas XI di salah satu Madrasah Aliyah terbaik di kotanya, dan rutinitas sekolah yang padat selalu sukses menguras energinya. Sejenak, ia membiarkan dirinya duduk, menikmati bayangan tentang makanan di rumah yang sudah terlintas di benaknya.

Alesha tumbuh dalam keluarga yang berkecukupan, semua keinginannya selalu terpenuhi. Ia tak pernah tahu rasanya menahan keinginan atau merasakan kekurangan. Rumahnya adalah istana kecil di mana ia menjadi ratunya. Sampai di rumah, Alesha mengucapkan salam.

“Assalamualaikum!” teriaknya sambil meletakkan tas di sofa dan langsung melesat ke dapur.
“Ma, Alesha lapar banget!” katanya. Namun, wajahnya langsung cemberut saat melihat lauk yang tersaji di bawah tudung saji. Alesha menatapnya dengan pandangan kecewa. Di dalamnya, ada ayam goreng—makanan kesukaan ayahnya, tetapi bukan seleranya.
“Mah, kok masak ayam lagi?” tanya Alesha dengan nada merajuk.

Dengan tersenyum, ibu memandang lembut ke arah Alesha.
“Alesha, kemarin kan mintanya dimasakin ayam goreng krispi?”
Alesha menggeleng kuat-kuat.
“Itu kemarin, Ma. Sekarang maunya daging! Daging! Kenapa sih enggak pernah ngerti?” katanya sambil menghentakkan kaki.

Wajahnya yang semula ceria berubah keruh, penuh amarah. Ibu hanya diam, menatap mata Alesha yang dipenuhi kekesalan.
“Kalau enggak suka kan tinggal bilang. Tidak perlu harus marah, Nak,” ucap ibu dengan suara lembut.

Hati Alesha yang tadinya panas mulai dingin dengan kata-kata ibu. Rasa kesal itu perlahan-lahan luntur, digantikan rasa bersalah.

Keesokan harinya, saat jam istirahat, Alesha menceritakan apa yang terjadi kemarin di rumahnya.
“Aku beneran marah, Nad,” kata Alesha dengan wajah ditekuk. “Masak Mama cuma masak ayam, padahal aku maunya daging.”
Nadiah mendengarkan dengan sabar. Setelah Alesha selesai bercerita, Nadiah menatapnya lurus-lurus.
“Alesha, kamu tahu enggak? Saudara-saudara kita di Gaza sana enggak bisa memilih mau makan apa,” ucapnya pelan, namun tegas. “Mereka bahkan berjuang cuma buat dapat makanan. Kadang, sehari cuma bisa makan sekali. Sisa-sisa makanan pun jadi rebutan. Bahkan kerak nasi yang nempel di panci bisa jadi makanan berharga, saking enggak ada apa-apa lagi.”

Nadiah terus menatap wajah sahabatnya, kemudian melanjutkan,
“Sha, tahu enggak? Abi aku cerita betapa menderitanya anak-anak di Gaza. Ada anak-anak yang duduk di dekat tong sampah, mengais sisa-sisa makanan untuk mengganjal perutnya yang kelaparan. Keadaannya sangat memprihatinkan. Mereka kekurangan gizi, bahkan kelaparan itu mengantarkan sebagian pada kematian.”

Alesha terdiam. Kata-kata Nadiah menusuk hatinya. Ia bersyukur betapa sangat beruntung bisa mendapatkan apa yang ia inginkan, sementara anak-anak seusianya di Gaza harus berjuang keras untuk sekadar bertahan hidup.

“Sha, kita itu harusnya bersyukur bisa menikmati makanan apa saja,” lanjut Nadiah dengan suara lembut agar sahabatnya tidak tersinggung. “Kita masih bisa sekolah, tidur di kasur empuk, dan berkumpul dengan keluarga. Coba bayangkan keadaan saudara-saudara kita nun jauh di sana, mereka kekurangan makanan, pakaian sangat minim, dan tidak bisa tidur nyenyak di kasur empuk. Bahkan, banyak dari mereka harus kehilangan keluarga.”

Rasa bersalah yang kemarin sempat muncul, kini membuncah lebih besar.
“Aku... aku keterlaluan, ya, Nad?” lirih Alesha.
Nadiah meraih tangan Alesha dan meremasnya pelan.
“Bukan keterlaluan, Sha. Tapi mungkin kita perlu lebih banyak bersyukur. Kita terlalu sering melihat apa yang tidak kita miliki, sampai lupa mensyukuri apa yang sudah ada di depan mata.”

Sepanjang perjalanan pulang, Alesha meresapi kata demi kata yang diucapkan Nadiah. Hatinya terasa perih, malu, dan penuh penyesalan. Kalimat-kalimat tentang anak-anak Gaza yang kelaparan, yang mengais sisa-sisa makanan di tempat sampah, terus terngiang di telinganya. Begitu pula kisah mereka yang tak bisa tidur nyenyak di kasur empuk dan harus berjuang untuk bertahan hidup.

Alesha menunduk, menyadari betapa selama ini ia telah dibutakan oleh keinginan dan kemewahan. Ia merasa hina karena pernah mengeluh hanya karena masakan ibunya tidak sesuai selera, sementara di luar sana, banyak yang bermimpi sekadar bisa makan apa saja. Dalam hati, Alesha berjanji akan meminta maaf kepada ibunya dan lebih mensyukuri setiap rezeki yang diberikan Allah kepadanya.

Sesampainya di rumah, Alesha langsung menghambur, memeluk ibunya erat-erat sambil menangis.
“Maafkan Alesha, Bu,” ucapnya lirih di antara isak tangis yang tak terbendung.

Alesha terus memeluk ibunya, mengingat betapa sering ia mengeluh dan tidak bersyukur. Ibunya membalas pelukan Alesha tak kalah erat. Air mata kebahagiaan menetes dari sudut matanya. Ia mengerti, putrinya akhirnya menyadari kesalahannya. Dalam dekapan hangat sang ibu, hati Alesha yang semula penuh penyesalan kini terasa lebih ringan. [My]

Baca juga:

1 komentar