Oleh. Emniswati
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — Di bawah langit yang menyala, aku mengais sisa nasi dari periuk raksasa. Jari-jariku yang mungil berlari cepat, seolah setiap butir yang menempel adalah doa yang harus kuselamatkan. Dari balik pagar, kulihat piring-piring kaleng terulur bersama tatapan penuh rindu pada sesuap makanan.
“Kak …, masih ada?” bisik seorang gadis kecil, suaranya lirih bagai daun kering tertiup angin.
Aku terdiam sejenak, mataku berkaca, lalu berbisik nyaris patah, “Hanya sedikit … tapi untukmu.”
Ibunya lalu memeluk bahu gadis itu, mencoba tersenyum di tengah getir yang menyesak. “Terima kasih, Nak. Semoga Allah memberkahi hatimu,” ucapnya, lirih namun penuh makna.
Aku menunduk, menahan tangis yang hampir pecah. Di tengah riuh lapar dan penantian, aku merasa ada cahaya kecil: keyakinan bahwa sebutir nasi mampu menyalakan harapan. Dan dalam tatapan kami yang saling bertaut, aku tahu—meski hidup kami koyak oleh derita, kami akan tetap bertahan, bersama-sama, dalam genggaman doa yang tak pernah padam.
Aku menoleh ke sekeliling. Wajah-wajah letih berderet bagai untaian doa yang panjang. Ada mata yang merah karena tangis yang terlalu sering tertahan, ada bibir yang pecah-pecah karena dahaga, dan ada tubuh kecil yang merapat ke pangkuan ibunya, mencari hangat yang mungkin sudah lama hilang. Aku merasakan dadaku sesak, bukan hanya karena lapar yang mengiris, tetapi karena melihat mereka yang harus menanggung luka yang sama sepertiku.
Di kejauhan, suara-suara anak lain bercampur antara harap dan kecewa. “Kak, tolong aku … aku belum makan sejak pagi.”
Aku menoleh, dan pandangan mataku bertemu dengan seorang bocah lelaki, mungkin seusiaku, matanya cekung namun masih berkilat oleh semangat hidup. Aku ingin berlari memeluknya, ingin kuberikan semuanya, tapi aku tahu—aku sendiri pun hanya memiliki sisa yang sedikit. Betapa pedih rasanya ketika kebaikan yang ingin kubagi justru terkunci oleh kenyataan yang pahit.
Hari-hari di tempat ini bukan sekadar menunggu makanan, tetapi menunggu kabar baik yang tak pernah tiba. Kami terbiasa dengan perut kosong, tapi tidak pernah terbiasa melihat saudara sendiri kelaparan. Setiap butir nasi, setiap tetes air, setiap senyum tipis—semuanya adalah tanda bahwa kami masih bertahan.
Aku sering mendengar orang-orang dewasa berbisik, “Kapan semua ini berakhir?” dan hatiku selalu menjawab lirih, “Entah … tapi kami tak boleh menyerah.”
Malam hari adalah saat yang paling sunyi, sekaligus paling bising di dalam hati. Kami berbaring di atas tanah keras, hanya beratapkan langit yang penuh luka. Angin malam membawa dingin yang menggigit, namun juga membawa doa-doa yang naik dari mulut kami yang kering.
Aku sering menatap bintang dan bertanya, “Apakah ada yang mendengar kami? Apakah ada yang peduli pada kami?”
Lalu aku mengingat senyum gadis kecil siang tadi, dan aku tahu: harapan itu belum mati.
Saudara-saudaraku di sini adalah cermin bagi hatiku. Setiap kali melihat mereka, aku merasa seolah sedang melihat diriku sendiri. Lapar kami sama, haus kami sama, luka kami sama. Inilah yang membuatku ingin berdiri, walau kakiku goyah. Aku ingin bersuara, meski tenggorokanku kering. Aku ingin menulis cerita ini dalam setiap hela nafasku, agar dunia tahu: kami masih ada, kami masih hidup, dan kami butuh dibela.
Aku percaya, meski kecil, kisahku bisa menjelma menjadi jeritan yang lebih besar. Aku ingin kata-kata ini menembus hati orang-orang yang kenyang di luar sana, yang mungkin lupa bahwa ada saudara mereka yang menahan perih. Aku ingin dunia tahu, bahwa kami tidak meminta banyak—hanya sebutir nasi, seteguk air, dan sehelai doa yang tulus.
Aku ingin menggenggam tangan gadis kecil itu kembali, lalu berbisik padanya, “Kita akan kuat. Kita akan tetap bersama.”
Keyakinan itu membuatku percaya, persaudaraan adalah kekuatan yang tak bisa dikalahkan oleh lapar atau takut. Ketika satu di antara kami jatuh, yang lain akan mengulurkan tangan. Saat satu di antara kami menangis, yang lain akan menghapus air mata itu. Dan ketika satu di antara kami berdoa, doa itu akan menjadi doa kita semua.
Hari ini aku tidak hanya menulis untuk diriku. Aku menulis untuk setiap anak yang menahan lapar, untuk setiap ibu yang menahan tangis, dan untuk setiap ayah yang menahan luka di hatinya. Tulisan ini adalah saksi, agar dunia tahu: kami masih di sini, kami masih menunggu, dan kami masih percaya pada janji Allah bahwa setelah kesulitan akan datang kemudahan.
Sampai saat itu tiba, aku akan terus mengais sisa-sisa nasi, menyelamatkan setiap butir seakan itu adalah cahaya. Aku akan terus menatap saudara-saudaraku dengan mata yang penuh cinta, sebab hanya itulah yang kupunya.
Dan aku akan terus berkata pada diriku sendiri, “Aku tidak sendiri. Kami bersama. Dan selama kami bersama, harapan tidak akan pernah mati.”
Selama kita mau berbagi, sekecil apa pun itu, harapan akan selalu hidup.
Pelalawan, 26 Agustus 2025 [My]
Baca juga:

0 Comments: