Headlines
Loading...
Palestina Bukan Sekadar Isu Kemanusiaan

Palestina Bukan Sekadar Isu Kemanusiaan

Oleh. Ummu Faiha Hasna
(Pena Muslimah Cilacap)

SSCQMedia.Com — Gambaran suram terhampar dari jalur Gaza. Manajer Komunikasi Dana Anak-anak PBB (UNICEF), Tess Ingram, memberikan kesaksian pedih. Beliau menggambarkan Gaza City yang sebelumnya menjadi tempat perlindungan terakhir bagi warga di Gaza Utara, kini berubah menjadi kota yang mencekam. Beliau mengatakan Gaza City diliputi ketakutan, pengungsian, dan pemakaman. (Inilah.com, 5/9/2025)

Selain itu, beliau memperingatkan bahwa serangan Zionis yang semakin gencar dapat menyebabkan bencana besar bagi hampir satu juta penduduk yang masih bertahan di kota itu. Beliau menegaskan hal tersebut akan menjadi tragedi yang tak terbayangkan dan mengajak dunia mengerahkan segala daya untuk mencegahnya.

Selama sembilan hari berada di Gaza, Ingram melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana keluarga-keluarga melarikan diri dari rumah mereka hanya dengan pakaian di badan. Mereka adalah pengungsi yang kini harus mengungsi lagi.

Betapa rapuhnya situasi di sana. Kondisi itu membuat ribuan anak kehilangan lebih dari separuh jalur pertolongan untuk melawan kelaparan. Dari 92 pusat perawatan gizi rawat jalan yang didukung UNICEF, hanya 44 yang setidaknya masih beroperasi. UNICEF pun terus mendesak agar aturan militer ditinjau kembali supaya anak-anak terlindungi sesuai hukum internasional.

Siapa pun yang menyaksikan pembantaian Zionis atas Gaza pasti akan membenarkan apa yang dikatakan Manajer Komunikasi UNICEF: Gaza bukan lagi kota, melainkan tempat pemakaman anak-anak. Ingram hanya sembilan hari berada di Gaza. Apalagi warga Gaza sendiri, khususnya anak-anak, yang telah lama menghadapi penjajahan Zionis sejak invasi ke Palestina pada 1948.

Dunia sejatinya tidak buta. Dunia mengetahui bahwa Zionis adalah pendatang di Palestina; mereka merampas, membunuh, bahkan melakukan tindakan yang menyerupai genosida terhadap warga Palestina untuk menguasai tanah itu. Dunia juga mengetahui bahwa penjajahan Zionis telah membuat anak-anak kehilangan hak-hak mereka, termasuk hak hidup. Namun saat ini banyak negara memilih diam. Empati yang ditunjukkan seringkali hanya berupa retorika kosong.

Lalu bagaimana mungkin Zionis diminta meninjau kembali aturan mereka agar anak-anak dilindungi sesuai hukum internasional, sementara tujuan nyata mereka tampak sebagai upaya penghapusan terhadap umat Islam di Palestina? Lembaga internasional termasuk UNICEF seringkali berhenti pada kecaman dan seruan tanpa aksi nyata. Ada anggapan bahwa lembaga-lembaga internasional hari ini menjadi perpanjangan tangan kekuatan adidaya, sehingga tindakan mereka terbatas.

Yang lebih menyakitkan, penguasa negeri-negeri muslim tampak menutup rapat pintu perbatasan, terutama di Rafah, dan enggan mengerahkan bantuan militer atau langkah nyata lain. Meskipun banyak massa global menggelar aksi di depan pintu perbatasan Rafah, penguasa negeri muslim belum menunjukkan langkah signifikan. Ada kesan bahwa mereka lebih takut kehilangan kekuasaan dibanding menyelamatkan anak-anak kaum muslimin di Gaza.

Fakta ini menegaskan bahwa masalah Palestina bukan sekadar isu kemanusiaan, melainkan masalah politik yang membutuhkan solusi hakiki. Islam memberikan solusi syar'i untuk menumpas penjajahan, di antaranya melalui jihad sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam QS. Al-Baqarah ayat 190: “Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, dan jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

Penerapan syariat jihad fi sabilillah dipandang oleh penulis sebagai upaya menjaga kehormatan dan keselamatan kaum muslim, termasuk anak-anak. Memang, jihad telah dilakukan oleh para mujahidin di Palestina, namun kekuatan mereka tidak sepadan dengan militer Zionis yang mendapat dukungan dari negara-negara adidaya. Lembaga internasional dan kekuatan politik regional pun belum mampu atau belum mau mengimbangi dukungan itu. Akibatnya, perjuangan seringkali tampak sendirian dan tidak seimbang; peperangan baru dapat adil jika berlangsung antarnegara dengan kekuatan sepadan.

Negara yang mampu menyatukan kekuatan militer kaum muslimin di seluruh dunia hanyalah Daulah Islam. Dalam sejarah, negara warisan Rasulullah yang dijaga oleh para khalifah selama lebih dari 1.300 tahun menjadi perisai pelindung kaum muslim. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya imam atau khalifah adalah perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah dan berlaku adil, baginya pahala; jika ia memerintahkan selain itu, ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR. Muslim)

Sejarah mengenang tokoh-tokoh seperti Shalahuddin Al-Ayyubi yang membebaskan Palestina dari tentara Salib tanpa kompromi. Shalahuddin menghadapi tentara Salib di Perang Hittin hingga Allah menganugerahkan kemenangan kepadanya. Begitu pula Sultan Abdul Hamid II yang memberi ultimatum kepada Theodore Herzl ketika menuntut tanah Palestina bagi bangsa Yahudi.

Kehadiran mereka sebagai kepala negara Islam pernah menjaga Palestina dari musuh-musuh Allah. Namun, Daulah Islam runtuh pada masa modernisasi yang dipelopori tokoh-tokoh tertentu, sehingga umat kehilangan wadah politik yang kuat.

Untuk itu, umat harus berjuang bersama partai-partai Islam yang ideologis dan istikamah dalam mendakwahkan syariat Islam secara menyeluruh di bawah naungan negara Islam. Dengan demikian, jihad dan upaya menegakkan kembali kedaulatan kaum Muslim akan memiliki kekuatan terorganisir untuk mengusir penjajah dari tanah para nabi.

Wallahu a‘lam. [US]

Baca juga:

0 Comments: